Mohon tunggu...
Alirman Djamereng
Alirman Djamereng Mohon Tunggu... Sales - Flowman but not Superman

Berusaha konsisten untuk menulis yang bermanfaat...alirmandjamereng73@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Malaikat Iseng (Episode 9)

3 Mei 2022   10:42 Diperbarui: 3 Mei 2022   10:45 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sholat Jumat terakhir Ramadhan lalu saya laksanakan di Masjid Tanah Abang Lantai atas Pusat grosir terbesar di Indonesia, ditengah kewajiban mengantar belanja kebutuhan (baca -keinginan) lebaran. Seperti biasa saya hanya mengikuti dari belakang dan sesekali meraba bahan baju koko yang terpajang rapi. Sapaan " boleh, kak" berkelindan di telingaku membuat jiwa serasa muda perkasa dengan gaya tentengan kantong plastik hitam.

Di tengah eforia lautan manusia yang larut dalam pajangan baju, celana, dalaman sampai jajanan gorengan dan es teh, tiba tiba mata saya tertuju pada sosok memakai gaun putih bersinar agak jauh di sela kios mukena serba 50 ribu. Wajahnya yang bercahaya juga menatap ke saya seakan mengajak, memanggil untuk mendekat. Saya serasa mengenalnya...

"Betul, dia sahabat malaikat saya yang sudah lama tidak menemuiku. Entah marah atau mengganggap saya tidak layak lagi untuk ditemui". Tanpa berpikir panjang segera saya berlari menghampiri, bermanuver di sela bokong bokong kaum ibu yang asyik menawar. Namun dia menghilang dari tempatnya. Ekor mata saya menangkap sosoknya berjalan menjauh di antara jualan kaftan dan mukena Syahrini yang sudah tidak trend lagi. Saya pun kembali mengejarnya tapi sekejap dia menghilang lagi ke arah blok 6 tempat jualan hijab dan daster Bali. Cepat sekali seakan melesat, membuatku putus asa di antara sapaan, "boleh kak, murah kak dan cari apa kak?".

Sambil menahan nafas tersengal akibat umur yang tak lagi muda, saya terhenti di kios penjual gordin yang agak sepi. Saya menyerah mengejarnya dan berpikir dia sudah tidak sudi menemui saya. Mungkin saya dianggap sudah berlumur dosa sehingga tidak layak dijadikan sahabat seperti dulu. Bermacam sakwasangka berkeliaran dalam pikiran menyatu dengan keringat para pemburu baju, mukena, jilbab, jeans bahkan taplak meja.

Sekilas di gantungan kain meteran yang terpajang rapi, saya melihat secarik kertas yang berisi tulisan. Menyolok, sepertinya sengaja ditinggalkan oleh seseorang. Saya mengambil dan membacanya pelan...

SAHABATKU.

Dulu...

Keluhanmu sangat bising ketika masjid ditutup dan ibadah dilarang. Namun lihat, tetap saja kosong, sepi ketika semua pintu pintu masjid dibuka lebar.

Dulu...

Targetmu khatam selama Ramadhan, tapi satu juz pun tak terjangkau kala kantormu mulai aktif dan undangan berbuka bersama berdatangan.

Dulu...

Niatmu menganggap ini adalah Ramadhan terakhirmu, tapi apa daya duniamu seakan masih panjang dan nikmat.

Sahabatku...

Ini hari hari menjelang akhir Ramadhan, dan saya mendapatimu asyik berburu si SURGA BELANJA...

Berharap kita masih sering bersua seperti dulu...

"Mau berapa meter, Uda?", tiba-tiba menyadarkan saya dari lamunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun