Ketika menunggu lahirnya sang buah hati tak disangka ada pertunjukan wayang golek di stasiun TVRI. Terlintas memberikan nama buat Sang Anak yaitu Mas Karebet yang tidak lain nama kecil Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya, sorang Sultan Pajang yang terkenal. Namun, nama itu terlalu menampilkan satu identitas budaya.Â
Dalam benak ada harapan besar ketika sang anak dewasa bisa manggung melanglang buana dalam perjalanan sejarah kehidupannya. Tidak melupakan jati dirinya sebagai orang yang terlahir dari trah bangsa nusantara tetapi bisa berkarya global di manapun sepanjang mentari bisa terbit. Â
Maka Sang Anak akhirnya memiliki nama Averoos Jamus Kalimasada. Sebuah nama indah perpaduan trah bangsa nusantara. Sementara Averoos mencermikan semangat masa keemasan kebudayaan islam di abad pertengahan. Dalam pelafalan orang Spanyol menjadi Averoos yang mewakili klan bangsa eropa.Â
Itulah harapan dari nama sebagai doa dan pandangan visioner orangtua yang dilekatkan kepada anaknya. Sejak awal sudah dilekatkan perpaduan kebudayaan yang kelak akan menjadi bekal dalam pergaulan bersama trah generasi dari bangsa lain.
Terkait dengan kebudayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari kata "Budaya" yang memiliki arti pikiran atau akal budi. "Berbudaya" artinya memiliki budaya sedangkan "Kebudayaan" adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Â
Sehingga menjadi sangat mungkin hadirnya ragam budaya sesuai dengan hasil olah akal dan kreativitas kolektif masyarakat dalam merespon segala tantangan dan atau wujud aktualisasi pikiran dan olah rasa. Karena keberagaman budaya itulah maka ada kalanya jika tidak dikelola dengan semangat persatuan, kebudayaan bisa menjadi sumber konflik.Â
Adanya perbedaan adat istiadat dan tradisi serta keyakinan yang tidak dibingkai dengan spirit tepo seliro dan kelenturan komunikasi maka tidak jarang budaya menjadi sumber bencana kemanusiaan. Â Itulah yang digambarkan Samuel Huntington dengan teori clash of civilization.
Bhinneka Tunggal Ika Perekat Nusantara
Sebuah anugerah, ternyata teori clash of civilization tidak terjadi di NKRI. Bangsa ini yang dikaruniai keragaman adat istiadat dan kebudayaan telah menjadi contoh dunia terkait proses kerekatan sosial antar etnik/suku bangsa. NKRI dijadikan role model bagaimana keragaman itu menjadi indah dan harmoni dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Â
Sungguh patut kita syukuri memiliki founding father yang sangat visioner. Mereka memiliki mata lahir dan batin yang awas. Sehingga memiliki kemampuan dalam mengelola keragaman menjadi energi persatuan yang luar biasa. Â
Bukan tidak ada persolaan dan terjadi begitu saja persatuan NKRI dapat terwujud. Â Tetapi melewati perjalanan sejarah kebangsaan yang mendaki dan terjal. Hingga akhirnya seluruh Jong yang ada di nusantara berikrar dalam sumpah pemuda. Satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air yaitu Indonesia.
Tinggal kita sekarang generasi penerus yang harus mampu mempertahankan, merawat dan mengembangkan energi keragaman ini menjadi produk kebangsaan yang lebih produktif. Â
Setiap generasi memiliki tantangan dan permasalahannya sendiri. Kita saat ini menghadapi permasalahan bencana kemanusiaan dan perubahan lingkungan. Kondisi ini menuntut peran generasi sekarang untuk untuk melipatgandakan energi keragaman NKRI dalam menjawab tantngan tersebut. Bangsa Nusantara dituntut utuk mengambil peran yang lebih progresif dalam mewujudkan tatanan dunia yang damai dan sentosa. Â
Kejahatan kemanusiaan atas nama agama, perbedaan pandangan politik atau etnis yang terjadi di berbagai belahan dunia, tengah menunggu peran anak-anak bangsa nusantara untuk terlibat aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Â
Poltik bebas aktif yang dianut NKRI jangan hanya jadi jargon tanpa makna. Warisan tata kelola kebhinekaan yang sudah diajarkan leluhur bangsa nusantara bisa dijadikan modal untuk turut aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Merawat Kebhinekaan
Sedari kecil anak-anak sudah diajarkan untuk mengenal dan memahami beragam budaya dan etnis yang ada di NKRI. Momentum hari kartini biasanya dijadikan sarana untuk menginternalisasikan budaya bangsa nusantara kepada para pewarisnya. Â
Pakaian sunda, batak, papua, dayak, madura menghiasi ruang dan sudut sekolah. Anak-anak diperkenalkan dengan keragaman budaya setiap etnis nusantara.Â
Mereka bercengkrama, bercanda ria dan saling mengagumi keanekaragaman aksesoris dan cara berpakaian setiap etnis. Â Bahkan sekarang di beberapa kabupaten/kota sudah mewajibkan satu hari dalam seminggu memakai baju adat daerah. Seperti di Bandung misalnya, setiap hari rabu siswa memakai baju pangsi pakaian khas suku sunda.
Tidak hanya pakaian. Masyarakat suku sunda juga memiliki seni budaya yang menarik dan sarat makna filosofis. Kebudayaan wayang golek, alat musik angklung dan Pencak Silat.Â
Ketiga produk budaya suku sunda itulah yang sering diajarkan dan ditampilkan dalam berbagai event resmi di pendopo atau dijadikan saran hiburan ketika ada hajatan desa  atau pesta pernikahan.Â
Tentu tidak hanya 3 kesenian itu yang dimiliki suku sunda. Ada juga tarawangsa, jaipongan, sekatenan dan masih banyak lagi. Â
Itu semua menunjukan betapa kreativitas masyarakat suku sunda yang sangat besar. Tanah sunda yang mendapat julukan tanah parahyangan dengan alam yang indah dan subur tentu menjadi pemicu lahirnya kesadaran akal budi dan rasa yang melahirkan banyak produk kebudayaana. Â
Hal yang sama terjadi di semua suku bangsa di bumi nusantara. Dari Aceh sampai Papua hadir banyak ragam kebudayaan yang menghiasai dan mengiringi perjalanan waktu anak-anak bangsa nusantara dalam memakmurkan tanah airnya.
Internalisasi Budaya Nusantara
Ada banyak cara untuk melakukan internalisasi budaya dan kesenian kepada anak-anak. Yang paling mudah dan gampang membiasakan diri setiap orangtua si anak untuk memperdengarkan atau menunjukan kesenian dan atau pertunjukan seni budaya kepada anak-anak. Â
Kalau orangtuanya sendiri peduli dan bahkan menggemari ragam budaya daerahnya tentunya akan menjadi model pembelajaran yang paling ideal. Guru untuk digugu dan ditiru. Masalah akan menjadi lain ketika orangtuanya tidak pernah memberikan gambaran atau menyenangi kebudayaan daerahnya.
Maka jangan salahkan anak-anak kita menjauh dan malah menggemari dan mengagumi budaya bangsa lain. Karena para orangtuanya tidak pernah memberikan contoh dalam mengapresiasi kebudayaan daerahnya. Â
Bentuk mengapresiasi tentu sangat beragam cara dan perwujudannya. Mulai melihat pertunjukan budaya, menghadiri pagelaran kesenian maupun menonton youtube/medsos pertunjukan kesenian atau hiburan bernuansa kedaerahan bersama keluarga.
Sementara proses formal tentu dilakukan di sekolah. Muatan lokal dalam pembelajaran seni dan budaya di setiap sekolah tentu memiliki misi dalam memperkenalkan budaya kepada siswa.Â
Beragam tugas dan praFktikum seni budaya bertujuan agar siswa memahami dan bisa menyelami filosofis seni dan budaya yang diwariskan nenek moyangnya.Â
Itulah sebenarnya inti pembelajarn budaya. Selain siswa trampil dalam memperagakan aneka gerak dan memainkan benda budaya, yang tidak kalah pentingnya adalah falsafah budaya itu sendiri. Â
Bagaimana dan untuk apa leluhur kita semua menghasilkan produk seni budaya tersebut. Pendalaman filosofis baik dari budaya tutur ataupun budaya kebendaan akan sangat terpatri kalo ditularkan kepada siswa dengan cara-cara pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Â Â
Libatkan seluruh panca indra siswa untuk mengamati, mempraktikkan dan mempelajari aneka budaya daerahnya. Sehingga para siswa dapat memperoleh insight dan inspirasi dari proses pembelajaran budaya tersebut.Â
Ujung dari pembelajaran budaya tersebut baik yang diajarkan orangtuanya di rumah maupun proses pembelajaran formal di sekolah adalah agar para siswa memiliki kecintaan dan inspirasi dalam menghaluskan sisi kejiwaannya dan menstimulus kinerja otak kanan. Â Ujungnya tentu agar siswa memiliki aneka kreativitas dalam menyelesaikan aneka problem kehidupan yang semakin komplek. Â
Ketika seni budaya nusantara disenangi dan dijadikan bagian dari kehidupan kita saat ini, tentunya akan menjadi modal sosial yang besar dalam merawat dan mengembangkan energi Bhinneka Tunggal Ika. Â
Ini menjadi sangat penting, karena inilah modal utama NKRI tegak berdiri sampai saat ini. Bhinneka Tunggal Ika sebagai energi dan ruh persatuan yang hakiki bagi keberlanjutan dan semangat utama dalam kontrak sosial NKRI. Kareananya mari kita rawat energi keberagaman ini meskipun hanya dengan menyematkan semangat tersebut pada sebuah nama anak sebagai Sang Pewaris waktu perjalanan bangsa Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H