Film Maleficent, yang dirilis pada tahun 2014, bukan hanya menghidupkan kembali kisah klasik Sleeping Beauty, tetapi juga menawarkan perspektif baru yang kuat dengan pendekatan feminisme. Disutradarai oleh Robert Stromberg dan dibintangi oleh Angelina Jolie sebagai Maleficent, film ini memberikan pandangan mendalam tentang karakter antagonis yang selama ini dianggap jahat. Dengan menggali latar belakang dan motivasi Maleficent, penonton diajak untuk melihat cerita dari sudut pandang yang berbeda, menantang stereotip gender dan norma sosial yang ada.
1. Latar Belakang Cerita
Dalam versi klasik Sleeping Beauty, Maleficent digambarkan sebagai penyihir jahat yang mengutuk putri Aurora karena tidak diundang ke pesta kelahirannya. Namun, dalam Maleficent, kita diperkenalkan kepada sosok Maleficent sebagai peri yang kuat dan berani, memiliki hubungan mendalam dengan alam. Cerita dimulai dengan masa kecilnya di hutan magis, di mana dia hidup damai sebelum dikhianati oleh manusia bernama Stefan, sahabatnya. Pengkhianatan ini menjadi titik balik dalam hidup Maleficent, mengubahnya dari sosok penuh cinta menjadi karakter yang diliputi dendam.
2. Reinterpretasi Karakter Maleficent
Salah satu elemen paling menarik dari Maleficent adalah cara film ini menggambarkan tokoh utamanya. Maleficent bukan sekadar antagonis; dia adalah korban dari pengkhianatan dan ketidakadilan. Dalam banyak dongeng klasik, perempuan sering kali digambarkan sebagai sosok pasif yang menunggu penyelamatan dari pangeran. Namun, Maleficent menunjukkan bahwa perempuan dapat mengambil alih kendali atas nasib mereka sendiri. Dia tidak hanya bereaksi terhadap tindakan orang lain, tetapi juga membuat keputusan aktif yang mempengaruhi jalannya cerita.
Film ini juga menggambarkan kompleksitas emosi Maleficent. Dia mengalami cinta, kehilangan, dan akhirnya penebusan. Ketika dia mengutuk Aurora, itu bukan sekadar tindakan kejahatan; itu adalah ungkapan rasa sakit dan kekecewaan akibat pengkhianatan Stefan. Melalui lensa feminisme, kita dapat melihat bahwa tindakan Maleficent dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya sebagai seorang perempuan yang dikhianati dan disakiti oleh laki-laki.
3. Tema Persahabatan dan Cinta
Film ini juga mengeksplorasi tema persahabatan dan cinta dengan cara yang berbeda. Alih-alih menggambarkan cinta romantis sebagai kekuatan utama, Maleficent menyoroti cinta antara dua perempuan: Maleficent dan Aurora. Saat Aurora tumbuh dewasa, dia tidak hanya menjadi objek dari kutukan Maleficent tetapi juga menjadi subjek dari hubungan yang lebih dalam. Cinta mereka berkembang seiring waktu, menunjukkan bahwa ikatan antar perempuan dapat menjadi sumber kekuatan.
Cinta antara Maleficent dan Aurora adalah bentuk cinta yang tidak bergantung pada laki-laki atau hubungan romantis. Ini mencerminkan gagasan feminis bahwa perempuan dapat saling mendukung dan memperkuat satu sama lain tanpa harus bergantung pada pria untuk validasi atau kebahagiaan mereka.
4. Kritik Terhadap Patriarki
Maleficent juga menyajikan kritik tajam terhadap sistem patriarki. Dalam film ini, pengkhianatan Stefan terhadap Maleficent mencerminkan bagaimana laki-laki sering kali mengeksploitasi perempuan untuk keuntungan pribadi mereka. Stefan berusaha meraih kekuasaan dengan mengkhianati sahabatnya demi mendapatkan mahkota. Ini menunjukkan bahwa dalam banyak budaya, ambisi laki-laki sering kali datang dengan mengorbankan perempuan.
Selain itu, kerajaan tempat cerita berlangsung juga mencerminkan struktur patriarkal di mana keputusan penting diambil oleh laki-laki tanpa mempertimbangkan suara perempuan. Ketika Aurora terjebak dalam konflik antara dua dunia manusia dan peri dia harus menemukan cara untuk mengatasi batasan-batasan yang ditetapkan oleh kedua belah pihak. Ini mencerminkan perjuangan perempuan dalam menghadapi norma-norma sosial yang membatasi mereka.
5. Ekofeminisme dalam Maleficent
Aspek menarik lainnya dari film ini adalah tema ekofeminisme yang muncul sepanjang cerita. Maleficent adalah penjaga hutan magis, simbol dari alam dan semua makhluk hidup di dalamnya. Ketika dia dikhianati oleh manusia, hutan mulai menderita akibat eksploitasi manusia terhadap alam. Ini menciptakan paralel antara penindasan perempuan dan eksploitasi alam.
Film ini menunjukkan bahwa ketika perempuan disakiti atau dikhianati, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu tersebut tetapi juga oleh lingkungan sekitar mereka. Dengan demikian, Maleficent menyampaikan pesan bahwa perlindungan terhadap alam dan hak-hak perempuan saling terkait; keduanya membutuhkan perhatian dan penghormatan.
6. Kesimpulan
Maleficent adalah contoh brilian tentang bagaimana sebuah dongeng klasik dapat direinterpretasikan untuk menyampaikan pesan-pesan feminis yang kuat. Melalui penggambaran karakter Maleficent sebagai sosok kompleks dengan latar belakang emosional yang mendalam, film ini menantang stereotip gender tradisional dan memperlihatkan kekuatan serta ketahanan perempuan.
Dengan menyoroti tema persahabatan antara perempuan, kritik terhadap patriarki, serta hubungan antara penindasan perempuan dan eksploitasi alam, Maleficent berhasil menyajikan sebuah narasi yang relevan dengan isu-isu sosial kontemporer. Film ini tidak hanya menghibur tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan kembali peran perempuan dalam masyarakat serta pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan alam.
Melalui lensa feminisme Maleficent memberikan harapan bahwa cerita-cerita klasik dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman modern tanpa kehilangan esensinya. Ini adalah pengingat bahwa setiap individu memiliki kekuatan untuk menentukan nasib mereka sendiri,sebuah pesan penting bagi semua generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H