Ada pemandangan menarik dalam laga sepakbola Turkey Super Lig antara Besiktas dengan Antalyaspor, Minggu 26 Februari lalu. Puluhan anggota tim SAR masuk ke Vodafone Stadium yang berlokasi di Istanbul itu. Tapi tak ada bencana atau situasi genting yang harus mereka tangani, mereka justru dihadirkan oleh panpel pertandingan Besiktas --yang direstui oleh klub- justru untuk mendapatkan penghormatan dari para penonton atas kerja keras mereka menangani gempa yang terjadi di Turki hampir dua minggu sebelumnya.
Sebelum penghormatan itu, para pemain Besiktas seperti Tayyib Talha Sanuc, Romain Saiss, Cenk Tosun, hingga pemain asal Inggris eks Tottenham Hotspurs, Delle Ali, berlatih dengan menggunakan atasan bertuliskan nama-nama wilayah yang terkena dampak gempa Turki-Suriah 6 Februari lalu.
Tidak hanya berhenti di situ, tepat pada menit ke-empat lewat 17 detik, pertandingan dihentikan. Lalu mendadak saja ribuan penonton yang hadir melemparkan berbagai benda ke arah lapangan. Bukan botol minuman, koin, bantu, kursi, atau petasan, atau benda-benda berbahaya lainnya sebagai tanda kemarahan, tapi benda-benda yang bahkan takkan melukai siapapun --termasuk pemain---jika terkena lemparannya sekalipun. Sebagian besar benda yang dilemparkan itu berupa boneka mainan berbahan lembut dengan berbagai bentuk dan ukuran; dari yang segenggaman tangan hingga yang nyaris seukuran tubuh manusia. Ada juga penonton yang melemparkan syal, topi kupluk, sarung tangan, dan sebagainya yang juga sama-sama tak membahayakan. Alhasil, nyaris sekeliling pinggir lapangan dipenuhi oleh boneka-boneka itu.
Pemilihan waktu di menit 04.17 itu bukannya tanpa makna. Angka itu merujuk pada jam dan menit terjadinya guncangan pertama gempa besar itu. Setelah aksi lempar boneka itu usai, 'tontonan' masih berlanjut. Petugas pertandingan, bahkan para pemain dari kedua klub bekerja bakti menyingkirkan benda-benda itu, setidaknya sampai di luar garis lapangan. Barulah pertandingan itu dilanjutkan kembali. Hasil 0-0 di akhir pertandingan tampaknya tak membuat pendukung Besiktas berang, juga tak membuat kubu Antalyaspor girang. Tampaknya, bagi mereka, hasil pertandingan itu tak ada artinya dengan situasi yang sedang mereka hadapi hari-hari ini, bahkan mungkin esok dan lusanya.
Antara Donasi dan Aksi Politis
Kubu Besiktas, menamai aksi itu sebagai 'Mainan Teman Saya.' Mainan-mainan itu memang dikumpulkan, kemudian akan dibagikan kepada anak-anak yang terdampak bencana alam masif itu. Kelihatannya, aksi itu semata aksi donasi kemanusiaan biasa.
Tapi tidak semua orang berpandangan sama. Banyak kalangan yang menyebutnya itu lebih kental nuansa politisnya. Siapa lagi kalau bukan para pendukung Presiden Tayyip Erdogan. Memang bukan semata tuduhan kosong. Buktinya, dalam keriuhan aksi lempar mainan itu, sayup-sayup terdengar teriakan-teriakan anti pemerintah Turki yang mengarah pada satu pesan yang sama: meminta Tayyip Erdogan --Presiden Turki---untuk mundur dari kekuasaannya selama 20 tahun (termasuk saat ia menjabat Perdana Menteri sejak 2003). Erdogan dianggap tidak mampu mengatasi dampak gempa yang terjadi di bagian selatan dan tenggara negaranya yang menelan korban jiwa lebih dari 50 ribu orang itu.
Gempa besar itu tampaknya bukan hanya meruntuhkan banyak bangunan dan menelan banyak korban jiwa, tapi juga ikut menggoyahkan persepakbolaan Turki, bahkan ikut menggetarkan panggung politik.
Dalam sepakbola, pernah berhembus wacana penghentian liga. Tapi itu tidak --atau setidaknya belum terjadi hingga pekan ke-22. Meski begitu, dua klub sudah menyatakan mundur dari liga beberapa hari setelah gempa terjadi, yakni Gazianstep dan Hatayspor. Dua klub itu memang bermarkas di kota yang dekat dengan episentrum gempa. Di Gazianstep, bukan hanya korban jiwa yang banyak, gempa itu juga menghancurkan Kastil Gazianstep, bangunan historis berusian 2.200 tahun yang menjadi simbol kebanggaan kota. Sementara Hatayspor, kehilangan salah satu bintang mereka, yakni Christian Atsu yang ditemukan tewas di bawah reruntuhan bangunan.
Liga Super Turki memang masih berlanjut, tapi suara-suara politis mulai terdengar. Aksi Besiktas dan penggemarnya tadi --diluar teriakan-teriakan politisnya---bisa juga dibaca sebagai sindiran pada Erdogan yang dianggap tidak berdaya layaknya boneka mainan. Barangkali memang benar, karena jika memang tujuan kemanusiaannya yang utama, mungkin bukan boneka yang 'disumbangkan' tapi kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh 1,5 juga orang terdampak yang menghadapi kekurangan bahan pokok juga ketidakjelasan masa depannya. Â
Karena itulah para pendukung Erdogan dengan segera menyebutnya sebagai aksi yang mengotori sepakbola. Memang rada-rada Jaka Sembung bawa golok, karena tuduhannya datang dari politisi, bukan pegiat sepakbola.
Di sepakbolanya sendiri terjadi anomali, pendukung Fenerbahce --sesama klub Istanbul selain Besiktas, menyindir Erdogan dengan menyebut 'duapuluh tahun kebohongan dan kecurangan.' Bukan langsung kepada Erdogan, tapi pada pendukung dan klub Konyaspor saat keduanya bertanding sehari sebelum laga Besiktas-Antalysapor itu. Sebagai informasi, Konyaspor selama ini dianggap sebagai klub yang pro-pemerintah (Erdogan). Lucunya, Erdogan sendiri selama ini terang-terangan sebagai penggemar Fenerbahce. Bukan saja rajin nonton langsung, bahkan hampir setiap musim, pemain Fenerbahce sering diundang ke istana menemuinya.
Sulit (Mustahil)-nya Menjauhkan Politik dari Sepakbola
Gelaran Piala Dunia Qatar yang baru saja usai, masih menyisakan cerita tentang infiltrasi politik ke dalam sepakbola. FIFA boleh saja mengklaimnya bebas politik, meski kenyataannya ya tak sungguh-sungguh bebas. Apalagi sang tuan rumah sendiri, punya isu terkait politik yang sensitif. Di satu sisi menghalangi masuknya isu LGBTQ yang disebut politis, di sisi lain juga tutup mata ketika isu Palestina muncul di pinggir lapangan.
Di Inggris pun demikian, mengaku sepakbolanya apolitik, tapi terang-terangan memberi ruang pada kampanye gerakan LGBTQ (dengan bahasa 'kesetaraan' atau 'sepakbola untuk semua') dan juga isu-isu terkait rasisme (seolah anti rasisme, tapi letoy ketika aksi rasisme muncul). Bahkan Roman Abramovich mantan pemilik Chelsea pun ditendang karena alasan apalagi kalau bukan karena politik.Â
Di negeri kita? Apa iya kita masih bisa mengatakan sepakbola kita bebas politik ketika dua menteri aktif menjadi pucuk pimpinan organisasinya? Apalagi salah satunya menteri olahraga.
Baiklah, saya tak mau debat soal itu. Bisa panjaaaang, dan leeebaaar.... Tak ada habisnya. Realitanya, takkan mudah --kalau tak bisa disebut mustahil---menjauhkan sepakbola dari politik, karena bagaimanapun, sepakbola terlalu seksi untuk tidak dilirik kepentingan politik alias dipolitisasi. Entah itu politisasi yang bener-bener urusan politik (tunggu sebentar lagi, akan banyak politisi yang menyapa para penggemar sepakbola di negeri ini), atau juga politik kepentingan lainnya, termasuk yang paling jelas tentu saja politik ekonomi dan ekonomi politik.
Balik lagi ke Turki, ketika hajatan-hajatan lain masih dibatasi atau dilarang, sementara pertandingan sepakbola diizinkan, tak ayal lagi, sepakbola langsung menjadi panggung menyuarakan aspirasi politik. Entah itu yang terang-terangan seperti yang dilakukan pendukung Fenerbahce, atau yang simbolis seperti yang dilakukan Besiktas. Atau jangan-jangan mundurnya Gazianstep dan Hatayspor juga bentuk protes politik karena merasa tidak diperhatikan?
Wallahualam.... Â Kita pun tak tahu akan berakhir seperti apa nantinya, apakah Erdogan akan mundur atau tidak lagi terpilih di pemilu mendatang. Kalaupun itu terjadi, bisa jadi bukan karena aksi para pendukung sepakbola itu secara langsung, hanya saja suara itu tersalurkan atau digemakan dari pinggir lapangan sepakbola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H