Buat soal dan tugas harus lebih kreatif, meski tetap tak menjamin itu hasil karya mahasiswa sendiri (urusan itu serahkan saja sama Tuhan, repot kalau mendadak mengambil alih tugas malaikat juga). Husnudhon saja.
Sementara, tugas dosen bukan itu saja. Selain pendidikan, harus juga tetap menjalankan dua aspek tridharma lain; pengabdian dan penelitian. Kegiatan pengabdian di masa pandemi lebih susah, penelitian pun banyak terkendala.
Untunglah, kemampuan menulis --meski sekadarnya, cukup membantu. Jelang semester baru, ketika mata kuliah yang akan diampu sudah diumumkan, saya niatkan untuk menulis buku ajarnya.Â
Semester ini, ada satu mata kuliah 'baru' yang saya ampu; Dasar-Dasar Periklanan. Maka, sambil mempersiapkan bahan ajar (tentu saja dengan membaca berbagai sumber), saya juga menyusunnya menjadi buku ajar.
Karena mata kuliah yang baru saya ampu, saya tak punya banyak bahan, jadi hampir dikatakan dari nol. Mulai dari menyusun kerangka, mencari sumber, hingga menuliskannya. Pontang-panting mengejar tenggat waktu.Â
Niatnya ingin selesai sebelum perkuliahan dimulai, tapi apa daya, tetap saja molor. Naskah baru jadi setelah kuliah perdana dimulai. Padahal naskah itu harus diolah oleh penerbit, dari layout hingga pencetakannya. Untung saja, sudah punya penerbit langganan, jadi tak bertele-tele, naskah jadi, diperiksa sebentar, langsung 'tayang.'
Itulah kenapa saya tak lagi sempat menulis di Kompasiana, meski kadang ada godaan untuk 'rehat' dan menulis untuk Kompasiana dulu. Tapi bagi saya, itu seringkali berbahaya, karena bisa membelokkan mood.Â
Apalagi kalau kemudian ditambah godaan menulis fiksi yang seringkali lebih mengasyikkan --karena tak perlu berpusing-pusing riset dan baca buku rujukan.
Alhamdulillah, buku sudah beres. Sudah digunakan oleh mahasiswa pula. Urusan mengajar tinggal jalan, karena bahan sudah lengkap hingga akhir semester lagi. Paling butuh sedikit modifikasi untuk presentasi saat kuliah.
Banyak kolega yang bingung, bagaimana saya bisa menulis buku secepat itu. Saya jawab, rumusnya cuma dua, niat dan melaksanakan niat itu. Kalau niat sudah kuat --termasuk niat untuk mewujudkannya---maka yang lain bisa diatasi. Itu saja. Bukan soal hebat-hebatan. Toh saya yakin yang lain juga bisa, apalagi kan tiap dosen punya mata kuliah andalan yang mungkin sudah diampu bertahun-tahun lamanya. Masak iya tak punya bahan untuk ditulis?
Dan, tulisan ini juga bukan untuk gaya-gayaan. Selain diniatkan sebagai pembuka untuk aktif lagi di Kompasiana, sekalian saja mungkin untuk menginspirasi dosen atau pengajar yang lain untuk berkarya. Lalu pertanyaan berikutnya, kalau naskahnya sudah jadi, bagaimana menerbitkannya?Â