Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Menampung Curhat, Memulung Kisah, Merangkai Cerita

28 Mei 2021   08:03 Diperbarui: 29 Mei 2021   01:00 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya tentu saja, karena selain menggabungkan banyak masalah dan dimasukkan ke dalam satu atau beberapa tokoh, saya juga seringkali menambahkan dengan masalah yang saya karang sendiri, atau bahkan juga masalah saya sendiri, hehe....

Seni Menggabungkan Masalah Hasil Curhatan

Menggabungkan masalah hasil curhatan ke dalam 'masalah' seorang tokoh fiktif ciptaan sendiri ternyata mengasyikkan. 

Saya menganggapnya sebagai sebuah seni. Layaknya seni instalasi dari barang bekas. Tambal-sulam, reka bentuk, olah rasa, olah cipta, dan sebagainya.

Kunci utamanya bukan soal itu sebetulnya, tapi bagaimana menjaga agar orang yang curhat kepada saya sebelumnya, tidak merasa ditelanjangi di depan umum. 

Caranya ya itu tadi, tidak hanya menceritakan masalah (dari dia saja), tapi juga menjaga agar siapapun pembacanya, tidak menghubungkannya dengan si 'pemilik masalah' yang sebenarnya.

Untuk ini, saya lebih suka jika ada pembaca yang beranggapan bahwa masalah yang dihadapi si tokoh, terutama jika tokohnya adalah cowok adalah masalah saya sendiri. Biar saja pembaca menganggapnya itu sebagai 'masalah atau pengalaman pribadi' saya. Padahal kan, sebanyak apapun masalah yang kita punya, untuk menjadikannya sebuah cerita utuh dan panjang seperti novel, seringkali dianggap kurang.

Kebiasaan ini --mendengarkan dan menampung curhat---kemudian mengalihkannya ke dalam bentuk karya, ternyata juga jadi daya tarik tersendiri bagi pencurhat berikutnya. 

Sudah banyak yang tahu, kalau curhat kepada saya, ada kemungkinan akan 'dipakai' untuk bahan cerita saya. Tapi karena itulah, semakin banyak pula yang ingin curhat.

Mungkin bener teori psikologi yang mengatakan bahwa seseorang selalu membutuhkan 'pengakuan dosa' karena tak bisa menahan atau menyimpannya sendiri. Tapi tidak semua 'pendosa' berani mengaku di depan umum secara terang-terangan. Selalu ada kelegaan saat seseorang mendengarkan 'pengakuan dosanya' dan menceritakannya kepada orang lain, tanpa harus membuka identitasnya (Bayangkan saja pengakuan dosa di gereja dalam tradisi Kristen).

Itu pulalah mungkin yang membuat profesi saya sebagai pemulung dan pengolah curhat ini selalu menarik dan tak pernah kekurangan 'pasien.' Apa salahnya kan? Namanya simbiosis mutualisme, dia lega, saya punya bahan cerita. Kalau karyanya sudah jadi, biasanya jadi bahan renungan atau bahkan tertawaan, "Kok bisa ya aku dulu begitu..."

BTW, hingga saat ini, sudah ada setidaknya lima novel saya (yang diterbitkan) yang isinya adalah 'kumpulan curhat.' Masih banyak yang lain sebetulnya, tapi ada yang belum diterbitkan, ada pula yang memang belum selesai penulisannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun