Selain itu, katanya, saya dianggap 'dipercaya' sebagai pelabuhan curhat. Layaknya bank di Swiss, saya bisa menyimpan semua titipan nasabah tanpa rewel. Dan terutama, saya tak pernah membocorkan curhatan seseorang kepada orang lain, apalagi teman dekat yang bersangkutan. Pokoknya, kata mereka, curhat kepada saya dianggap sangat aman.
Soal itu mungkin ada benarnya. Saya memang tak pernah menceritakan curhatan seseorang pada orang lainnya --apalagi orang dekatnya. Saya selalu menutup dan menyimpannya sendiri.Â
Bagi saya, rahasia orang lain --yang dibagikan pada saya---harus menjadi rahasia saya juga. Kecuali, orang itu mengizinkannya. Itupun --meski diizinkan---saya juga tak pernah dengan sengaja membukanya jika tak punya alasan untuk melakukannya.
Punya Banyak Cerita
Gara-gara sering dicurhati itu, dari semasa di SMA, kuliah, kawan kerja, bahkan sekarang juga sesekali dicurhati mahasiswa/i, saya jadi punya banyak koleksi 'masalah kehidupan.' Dari masalah asmara, keluarga, kerja, bahkan hingga urusan politik segala macam.
Buat apa? Tadinya saya juga tak tahu gunanya apa. Tapi belakangan, saya menyadari bahwa, koleksi 'masalah' dari kawan-kawan itu ada gunanya juga. Banyak bahkan.
Pertama, saya juga belajar dari masalah-masalah itu. Entah itu belajar menghadapinya --jika kemudian saya mengalaminya. Atau sebaliknya, belajar untuk mencegah agar masalah itu tak terjadi pada diri sendiri. Hingga akhirnya menyadari bahwa, tak ada orang yang bebas dari masalah. Besar-kecilnya masalah sangat tergantung dari cara memandangnya. Dan yang penting, selalu ada jalan untuk menyelesaikannya, meski memang tak selalu mudah.
Kedua, sebagai seorang yang hobi menulis --termasuk cerpen dan novel---masalah-masalah yang dihadapi kawan-kawan saya itu, justru seringkali menjadi inspirasi saya menulis cerita. Yup, sudah banyak saya menulis cerpen bahkan novel yang didasari oleh 'masalah' yang dialami kawan-kawan yang curhat kepada saya itu.
Curhatan Jadi Karya
Ketika saya menulis --terutama novel---berdasarkan curhatan kawan, tentu saja saya tak menyebutkan namanya. Bahkan identitas lain seperti latar belakang, suku, pendidikan, dan sebagainya, juga saya ubah. Tujuannya adalah supaya siapapun yang membacanya --apalagi teman-teman dekat saya atau si 'pemilik masalah' itu, tidak menyadari atau menghubungkannya dengan seseorang.
Seringkali, hanya si 'pemilik masalah' itulah yang menyadarinya. "Kok kayak masalahku sih?" komentarnya. Itupun kalau ia membacanya. Kalaupun iya, dan saya mengakuinya, mereka takkan keberatan, karena rahasianya tetap aman.
Selain itu, dari sisi penceritaan, seringkali masalah yang dialami oleh seseorang --secara nyata---saya anggap tak cukup 'berat' sehingga saya harus menambahkan masalah lain. Nah, masalah tambahan itu, diambilkan dari masalah yang dialami oleh kawan lainnya.
Dalam sebuah tokoh yang saya ciptakan, seringkali ia mengalami tumpukan masalah atau komplikasi masalah yang aslinya berasal dari kumpulan masalah-masalah orang yang berbeda-beda, entah mereka saling kenal maupun tidak. Jadinya, tokoh ciptaan saya itu, sering diakui oleh banyak orang, "Kok bagian ini kayak masalahku, tapi yang lain bukan..."