"Tapi ini ada lebihan uang pulsa Kang, bisa dipake jakat! Onlen, lebih gampang, tinggal klik-klik, beres..." kata Ubed lagi.
"Memangnya transfer duit, pake onlen segala!" kata Mang Odon, "Nggak apdol ah, kan kudu ada niat dan akadnya, biar jelas saya bayar buat siapa saja!"
"Bener Bed, kan kalau di kampung ada pengurusnya, ada hitung-hitungan siapa yang akan menerimanya, baik warga maupun amil atau panitianya," Kang Jana menyela, "Kalau bayarnya onlen, kita nggak tahu, siapa panitianya, siapa yang nanti akan menerimanya."
"Jadi nggak boleh bayar jakat onlen Kang?" tanya Ubed.
"Bukannya nggak boleh. Kalau di perkotaan mungkin cocok, apalagi di perumahan-perumahan mewah. Di masjid sudah banyak yang bayar, di sekitarnya nggak ada orang miskinnya. Jadi perlu disebarkan ke tempat yang lain. Sementara kalau kita kan, antara yang mampu bayar dengan yang nggak mampu hampir berimbang, jadi baiknya bayar di sini saja..." jawab Kang Jana.
"Prinsipnya itu bukan hanya kewajiban, jakat itu kan juga untuk ikut membahagiakan sesama di sekitar kita. Jadi utamakan yang dekat dulu..." lanjut Kang Jana. "Kalau orang di sini bayar jakat onlen semua, terus orang seperti Ki Emed, Nini Edoh, dan orang-orang tua yang sudah pikun dan hidup sendirian di kampung kita, siapa yang ngasih? Masak harus nunggu pembagian jakat dari tempat lain!"
Ubed mengangguk-angguk, "Terus ini buat apa dong duit lebihan pulsa saya ini?"
"Kalau itu, misalnya susah dicairkan atau diambil, ya sedekahkan saja, onlen!" jawab Kang Jana.
"Alaah, gaya-gayaan sedekah onlen. Habis itu, pas kuota internetmu habis minta lagi sama orang tuamu. Sama aja yang sedekah bukan kamu!" kata si Kabayan.
Ubed cengengesan. "Tau aja Kang Kabayan!"
*****