"Masalahnya kan itu tanahnya milik perseorangan, bukan tanah wakap seperti masjid yang sekarang. Jadi kalau empangnya dijual, ya otomatis bangunan di atasnya juga jadi milik yang bersangkutan!" imbuh Mang Odon. "Salah sendiri, kenapa dulu waktu dijual nggak kamu beli. Kalau kamu beli kan bisa kamu pertahankan tajugnya!"
"Mahal Mang... situ kan airnya bagus, selain dilewati irigasi, juga ada mata airnya!" kata Mang Sadut.
"Nah itu. Kalau miskin tuh nggak usah aneh-aneh. Masih ada masjid juga mending. Apalagi ini masjidnya jauh lebih baik!" timpal Mang Odon lagi.
"Saya kan cuma nyambung si Kabayan saja Mang," Mang Sadut rada keki diserang terus sama Mang Odon. "Saya juga nggak bisa apa-apa, tajug-nya sudah nggak ada. Cuma memang, saya juga suka sama tajug itu. Itu aja!"
"Kamu juga Kabayan, suka ada-ada aja!" Mang Odon melirik Kabayan. "Yang lalu biarlah berlalu. Kenangan biar jadi kenangan. Kita harus melangkah ke arah yang lebih baik. Jangan terjebak nostalgia. Mentang-mentang kamu dulu pedekate sama si Iteung saat taraweh di tajug itu kan?"
Kabayan menggeleng, "Enggak ah, bukan soal itu..." jawabnya.
"Terus?" tanya Mang Odon.
"Di tajug itu enak tidur. Lampu minyak remang-remang, udaranya nggak siang nggak malem dingin. Beda sama masjid sekarang, karena terlalu terang, sakit mata, ngantuk dikit ketahuan..." jawab si Kabayan.
Mang Sadut dan Mang Odon jengkel, "Kirain ngomongin tempat ibadah, taunya ngomongin tempat tidur!"
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H