“Bah, kalau Abah mengeluh sakit, pergi saja ke dokter yang lebih berhak menanganinya. Kalau badan Abah pegal, pergi ke tukang pijat. Kalau datang ke sini, saya hanya bisa melayani bagian saya, yaitu soal agama, kan begitu, segala sesuatu itu ada tempatnya, masing-masing pekerjaan ada ahlinya, jangan dicampur-campur,” kata UTS.
“Terus katanya orang yang sakit banyak yang ke sini, terus sembuh?” Kabayan menyela.
“Sama saja, saya cuma ngasih saran minum Kojima. Kalau kemudian menjadi sehat, ya Alhamdulillah,” jawab UTS lagi. “Yang datang kan sama seperti Abah ini, mengeluh ini itu, badan nggak enak dan sebagainya. Memangnya ada yang perlu operasi dibawa ke sini? Kan enggak….”
“Iya yah, ini kan pesantren, bukan rumah sakit!” kata Kabayan.
“Nah itu…” sambung UTS. “Saya hanya menyarankan. Setelah itu, silakan dicoba. Ingat tiga ramuannya, korma, jinten, madu, digabung dengan tiga hal lainnya, usaha, doa, dan serahkan pada yang Maha Kuasa!”
“Ya sudah atuh Ustad, saya pamit dulu. Maaf sudah mengganggu waktunya…” kata Abah.
“Nggak apa-apa Bah, saya senang sudah dikunjungi Abah. Saya sendiri sebagai yang lebih muda malah belum pernah silaturahim ke rumah Abah. Soal Kojima tadi silakan ke koperasi pesantren saja, jangan yang itu…” kata UTS sambil menunjuk Kojima yang dimasukkan ke dalam saku kemeja Abah.
Abah tersipu malu, “Maaf, replek….” Ia menaruh saset Kojima itu ke meja, lalu pamitan.
Di luar, Abah melirik si Kabayan. “Sana beli Kojima di koperasi, beli yang botol paling gede!”
“Duitnya, Bah?” tanya Kabayan.
Abah mendelik, “Jangan sampai saya menyesal tidak menikahkan si Iteung dengan Ustad Tatang Somad dulu ya!”