Setiap sore, warung Bi Darsih rame oleh para pembeli yang bersiap memasak untuk buka puasa. Nyi Iteung kali itu juga mampir. Bukan untuk berbelanja lengkap, hanya untuk membeli terasi colek Cirebon untuk nyambel.
Sudah lama terasi Cirebon dianggap sebagai yang terbaik karena bahan-bahannya asli, sehingga rasanya lebih mantap ketimbang terasi buatan pabrik besar yang dikemas kecil-kecil mirip permen. Begitupun aromanya yang sangat kuat.
Dulu ada ungkapan 'sepandai-pandainya' orang menyimpan terasi, pasti akan tercium juga. Itu bener, kalo yang disimpen adalah terasi Cirebon. Mau dibungkus pake apapun, tetap saja aromanya akan keluar. Beda dengan terasi 'permen' tadi, hanya akan tercium kalau plastiknya sudah dibuka.
Iteung tak suka dengan terasi itu, apalagi suaminya, si Kabayan. "Sambel terasi nggak tercium terasinya itu sama dengan solat magrib jamaah tapi imamnya nggak baca patihah dan surat keras-keras!" katanya.
Ungkapan yang diambil dari ceramah UTS, Ustad Tatang Somad, yang sebetulnya sedang menjelaskan soal sholat, bukan soal terasi. "Kalau sedang jadi imam sholat magrib, isya, atau subuh, baca yang keras dan seindah mungkin, jangan malu-malu. Tujuannya agar orang tahu, kalau sedang menunaikan sholat wajib, terus dia bergabung berjamaah. Jangan bisik-bisik, itu ibarat bikin sambel terasi tapi terasinya nggak tercium alias sedikit, nggak apdol!"
"Masih setia dengan terasi colek, Teung?" tanya Bi Darsih yang melayaninya.
Iteung mengangguk, "Masih lah Bi, selain lebih mantap, juga lebih awet. Awet rasanya, awet baunya, dan awet juga terasinya, soalnya dikasih sedikit saja langsung terasa!" jawabnya.
"Saya mah sudah lama berhenti, Ceu Iteung..." Neng Mimin yang sedang belanja di situ juga ikut nimbrung. "Selain terlalu kuat, juga jarang masak yang pake terasi. Jadi belinya yang bungkusan aja kalau perlu, praktis dan irit..."
"Neng Mimin mah pinter kalau dalam urusan ngirit..." timpal Bi Darsih. "Belanja tak pernah banyak-banyak, mau puasa nggak puasa sama saja..."
Neng Mimin tersenyum, "Bukan  ngirit atau nggak mau banyak, Bi, tapi secukupnya. Apalagi saya kan masih baru berkeluarga, belum punya anak, jadi ya di rumah hanya berdua. Buat apa belanja banyak-banyak kalau malah nggak habis..."
"Tapi susah kalau bulan puasa. Biasanya pengeluaran malah nambah, karena selalu pengen makan dan minum yang aneh-aneh..." Bi Dodoy ikut nimbrung.
"Kalau saya sih enggak Bi," jawab Neng Mimin, "malah rasanya lebih irit dari biasanya..."
"Kok bisa, memangnya kalau mau buka nggak tergoda beli yang lain-lain?" tanya Bi Dodoy lagi.
"Nah itu, karena biasanya menu sahur dan buka saya selalu lengkap, dari pembuka, makanan utamanya, hingga penutupnya, ada buah plus camilan juga kalau masih pengen. Masaknya sedikit saja, tapi lengkap. Jadi nggak terlalu sering tergoda untuk beli dari luar. Kalaupun tergoda menu di luar, ya kita coba bikin besoknya..." jawab Neng Mimin.
"Bener juga ya..." kata Bi Dodoy, "Saya sering tergoda jajanan, hari ini beli gorengan banyak, ditambah cendol dua bungkus. Padahal sudah masak juga yang lain-lain. Akhirnya keburu kenyang minum cendol dan makan gorengan, yang lainnya jadi males. Disimpan buat sahur sudah nggak enak, jadinya malah mubazir nggak habis..."
"Nah itu, bulan puasa itu borosnya karena nafsu lihat makanan dan minuman, padahal kalau sudah buka mah sedikit saja sudah selesai. Sementara kalau makan sahur, yang paling bagus menyajikan masakan segar. Tak usah banyak-banyak, asal segar pasti nikmat," tambah Neng Mimin, "Seringnya kan sahur pake makanan sisa buka, udah nggak seger, malah bisa bikin sakit. Akibatnya menjelang buka jadi nafsu liat makanan yang macem-macem! Beli atau masak banyak, nggak habis, dipaksa buat dimakan sahur, terus aja berulang, puasa nggak nikmat, boros juga karena banyak yang terbuang!"
"Saya coba praktek ah. Habis anak-anak dan suami saya juga begitu, jadinya isi warung sering diobrak-abrik karena pengen ini-itu, tapi setelah dibuatin malah nggak habis..." kata Bi Darsih si pemilik warung. "Kamu cuma beli terasi aja Teung?" tanyanya pada Nyi Iteung.
Iteung mengangguk. "Iya lah, saya kan lebih irit lagi dari Neng Mimin. Ke sini kalau perlu beli terasi dan ikan peda saja, itu juga nggak tiap hari..."
"Memangnya suami Ceuceu nggak bosen?" tanya Neng Mimin.
Iteung menggeleng, "Saya yang bosen, bosen sama masakan yang itu-itu saja, dan lebih bosen lagi minta uang belanja sama dia..."
Bi Dodoy tertawa, "Malah enak kan ngatur keuangannya kalau begitu, nggak pusing mikirin buat menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran?"
Iteung mengangguk, "Iya lah Bi, karena nggak ada yang masuk, ya otomatis nggak ada yang keluar. Kalau ada yang harus dikeluarkan ya nyuruh dia ngasih pemasukan dulu. Gitu aja..."
"Terus kalau kamu bosen dengan makanan di rumah?" tanya Bi Dodoy.
"Gampang, saya sih tinggal pulang ke rumah Abah dan Ambu, numpang makan di sana..." jawab Nyi Iteung, lalu pamitan.
Bi Dodoy berbisik, "Kuat ya dia punya suami kayak gitu..."
Neng Mimin berdehem, "Maghrib masih lama, jangan sampai ada yang batal duluan!"
Bi Dodoy menutup mulutnya, "Ups... maaf keceplosan..."
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H