Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kerja Sampingan ala Kakha Kaladze, dari Sepakbola, Bisnis, hingga Politik

2 April 2021   11:29 Diperbarui: 2 April 2021   11:35 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kakha Kaladze saat berseragam AC Milan (Foto: thesefootballtimes.co)

Para penggemar AC Milan dan penonton Serie A tahun 2000-an pasti mengenal satu nama ini, Kakhaber Kaladze alias Kakha Kaladze. Pemain belakang ini mengabdi lebih dari sembilan tahun bersama I Rossoneri, berdampingan dengan kapten dan legenda Milan, Paolo Maldini. Apalagi nomor mereka berdekatan, Maldini mengenakan nomor 3, dan Kaladze diserahi nomor 4.

Kaladze lahir di Samptredia, Georgia, pada 27 Februari 1978. Saat itu, Georgia masih merupakan bagian dari Uni Soviet sebelum menyatakan kemerdekaannya tahun 1991. Ia lahir dari keluarga sepakbola. Ayahnya, Karlo Kaladze adalah presiden klub lokal, Lokomotiv Samptredia (saat ini bernama FC Samptredia) yang berlaga di kasta ketiga liga Uni Soviet waktu itu.

Ketika Georgia melepaskan diri dari Uni Soviet diikuti dengan pembentukan liga sepakbola sendiri, seorang legenda sepakbola Georgia, David Kipiani yang menjadi pelatih klub Dinamo Tbilisi mengajak Kakha untuk bergabung. Tahun 1993, Kakha resmi mengikat kontrak profesionalnya dengan juara Erovnuli Liga (kasta tertinggi dalam liga sepakbola Georgia).

Di Dinamo Tbilisi itulah Kaladze yang tadinya bermain sebagai striker, pindah ke belakang dan menjadi bek tengah, posisi yang ternyata sangat pas dengannya. Reputasi dan pengalaman Dinamo Tbilisi sebagai klub papan atas (pernah dua kali juara Soviet Top League tahun 1964 dan 1978) ikut mematangkan kemampuan Kaladze.

Meski Dinamo Tbilisi memiliki reputasi besar, setelah Georgia merdeka, lingkup liga mereka mengecil karena tak lagi bersaing dengan klub-klub besar Rusia. Wajar jika klub ini menjadi langganan juara Liga Georgia terus-menerus, alias seng ada lawan. Karena itu, Kaladze merasa karirnya tidak berkembang, hanya jago kandang.

Tahun 1998, ia pun memutuskan hijrah ke Ukraina, negara yang juga merupakan pecahan Uni Soviet. Ia bergabung dengan klub juara di sana, Dynamo Kyiv. Tiga musim di sana, Kaladze tak pernah absen mengangkat trofi Ukrainian Premier League. Catatannya cukup apik, 104 laga dan menyumbang 9 gol.

Penampilannya yang apik itulah yang kemudian membuat AC Milan kepincut. Ia dipinang Milan pada tengah musim, tepatnya Januari 2001, ketika Milan masih dilatih oleh Alberto Zaccheroni. Zaccheroni sendiri dipecat dan digantikan sementara oleh Cessare Maldini.

Bapaknya Paolo Maldini itu terpaksa menggeser posisi Kaladze menjadi gelandang bertahan sebelah kiri, karena posisi bek tengah yang biasa ditempatinya sudah penuh dengan nama-nama besar, ada Sang Kapten Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, Roque Junior, Luigi Sala, dan juga Michele Ferri. Barulah musim berikutnya ia dikembalikan ke belakang, bergantian antara menjadi bek tengah maupun bek kiri.

Sejak itu, Kaladze nyaris selalu menjadi pilihan para pelatih Milan. Hanya musim 2003-04 saja ia banyak menganggur karena Milan kedatangan Alessandro Nesta dari Lazio yang 'mengganggu' posisi Kaladze waktu itu. Ia bahkan dikabarkan akan hengkang dari Italia dan menuju London. Chelsea menjadi calon tujuannya. Meski ia sudah setuju, kepindahannya tak pernah terjadi. Ia tetap di Milan hingga tahun 2010.

Bersama dengan Milan, Kaladze total memainkan 284 laga dan sumbangan 13 gol. Ia ikut mengangkat trofi Serie A tahun 2003-04, Coppa Italia 2002-03, UEFA Champions League musim 2002-03 dan 2006-07, UEFA Supercup 2003 dan 2007, dan FIFA Club World Cup 2007. Sayangnya, tahun 2010, Milan tak memperpanjang kontraknya, Kaladze pun meninggalkan San Siro dan bergabung dengan Genoa selama dua musim sebelum memutuskan untuk pensiun tahun 2012.

Beralih ke Bisnis dan Politik

Tahun 2008-an, ketika usianya 30 tahun, Kaladze sudah berpikir bahwa karir sepakbolanya akan segera berakhir. Apalagi di Milan pun, ia sudah mulai jarang diturunkan. Ia harus mempersiapkan diri untuk memasuki masa pensiun.

Kaladze tidak berpikir untuk menjadi pelatih setelah pensiun. Ia ingin menjadi pebisnis. Karena itu, ia mulai merintis usaha sebelum benar-benar pensiun. Pilihannya jatuh ke usaha restoran. Ia membuka Budha Bar di Kyiv Ukraina tahun 2008. Setelah itu, membeli restoran legendaris Gianinno yang didirikan Gianinno Bindi (1899) dan meraih Michelin Star di bawah pengelolaan Davide Oldani dan Roberto Molinari.

Masih di tahun yang sama, Penghasilannya dari sepakbola kemudian dibawa ke kampung halamannya di Georgia. Ia mendirikan Kala Capital dengan fokus pada bisnis energi di Georgia, Italia, Ukraina, dan Khazakstan. Ia memilih Zurab Boghaideli sebagai orang kepercayaannya. Boghaideli adalah mantan Perdana Menteri Georgia tahun 2005-2008.

Ini jelas usaha sampingan yang tak main-main. Jauh mengalahkan penghasilannya sebagai pemain sepakbola. Karena itulah, ketika pensiun dari sepakbola di Genoa tahun 2012, Kaladze kembali ke kampung halamannya. Ia sudah punya nama besar sebagai pesepakbola (empat kali meraih gelar pemain sepakbola terbaik Georgia tahun 2001, 2002, 2003, 2006, dan juga 2011), selain itu, duitnya sebagai pebisnis juga sudah sejibun.

Modal itu kemudian dibawanya saat terjun ke dunia politik. Ia bergabung dengan Kartuli ocneba -- Demok'rat'iuli Sakartvelo (Georgian Dream -- Democratic Georgia), sebuah partai oposisi baru yang didirikan konglomerat Bidzina Ivanishvili. Kaladze ditunjuk sebagai Sekjen partai itu. Partai baru bermodal tebal itu kemudian memenangkan pemilu tahun 2012, dan Kaladze terpilih menjadi anggota Parlemen Georgia.

Bukan itu saja, Kaladze juga diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri Georgia di bawah kepemimpinan PM Giorgi Kvirikashvili. Jabatan lain yang diserahkan padanya pada waktu itu adalah Menteri Energi Georgia. Bayangkan saja, tiga jabatan langsung dipegangnya saat itu!

Tapi untuk jabatan Menteri Energi, ini banyak dipermasalahkan. Bukan apa-apa, saat itu Kala Capital miliknya menguasai 45 persen saham SakHidroEnergoMsheni, perusahaan konstruksi pembangkit listrik tenaga air di Georgia. Ini bukan kerja sampingan, tapi sudah mengarah pada konflik kepentingan. Kaladze terpaksa menjual sahamnya kepada GMC Group, tapi tetap saja dianggap masih ada 'simpanannya' di sana.

Pusing dengan tudingan itu, tahun 2017, Kaladze mengundurkan diri sebagai Menteri Energi. Apa yang dilakukannya kemudian? Orang Indonesia mungkin tertawa mendengarnya. Jika di Indonesia yang lazim adalah mundur (selesai atau pensiun) dari menteri dan nyalon Gubernur seperi Anies Baswedan atau Khofifah Indar Parawansa, Kaladze malah lebih 'turun' lagi. Ia mundur dari menteri dan nyalon jadi walikota!

Tapi jangan kaget dulu, karena ia mencalonkan diri sebagai Walikota Tbilisi yang tak lain adalah ibukota Georgia. Jadi ya kurang lebih seperti Anies Baswedan. Bedanya, DKI Jakarta setara dengan provinsi, Tbilisi tetap berstatus kota, meski kotanya besar. Kaladze pun terpilih dengan mengantongi 51 persen suara pemilih. Ia kemudian dilantik menjadi Walikota Tbilisi sejak 13 November 2017 hingga saat ini.

Dari Kaladze, para pemain (dan pensiunan pemain) sepakbola di Indonesia mungkin bisa belajar mempersiapkan masa depannya setelah tak aktif lagi di dunia sepakbola. Lupakan soal penghasilan Kaladze dari sepakbola yang memang besar (tahun 2010 saja, penghasilannya mencapai 1,2 juta Euro).

Catatan pentingnya adalah bagaimana ia mengelola uang itu. Ia pandai mengelolanya, mencari investasi yang menguntungkan, dan juga mengelola nama besarnya sebagai pemain sepakbola ketika dibawa ke ranah politik.

Sementara di Indonesia, kisah yang paling sering terdengar adalah bagaimana para mantan pemain sepakbola yang berpenghasilan lebih dari cukup saat aktif, kemudian hidup menderita setelah pensiun. Kalaupun mengelola bisnis, hanya bisnis kecil dengan skala 'cukup untuk makan' saja. Paling beruntung kalau pensiun menjadi pengamat sepakbola atau jadi pelatih.

Adakah yang beralih ke dunia politik seperti Kaladze? Terakhir yang terdengar adalah Atep Rizal, pemain yang besar di Persib Bandung. Usai dilepas Persib dan pensiun di Mitra Kukar (2019), nama Atep muncul sebagai calon Wakil Bupati Bandung dalam Pilkada 2020. Ia berpasangan dengan pengusaha Yena Iskandar Masoem. 

Sayangnya, pasangan itu gagal karena hanya meraih sekitar 10 persen suara saja. Bisa jadi kekalahan Atep bukan karena namanya yang kurang terdengar, tapi karena pengalamannya yang masih miskin di dunia politik. Entahlah. 

****

Referensi: (1) (2) (3) (4) (5) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun