"Itu karena mungkin Romo hanya mendengar hal-hal yang baik dari guru-guru atau juga Romo Germogen..." tukas Soso. "Apa yang Romo takutkan sebetulnya sedang terjadi di sini, dan tak banyak disadari oleh guru-guru..."
"Apa itu?"
"Atheisme!" jawab Soso. "Banyak siswa yang masih pergi berdoa, entah itu harian, mingguan, atau ketika hari besar. Tapi mereka tak benar-benar berdoa..."
Romo Serafim mengernyitkan dahinya. "Kamu yakin penyebabnya adalah itu, bukan karena anak-anak itu sedang turun imannya?"
Soso mengangguk. "Semakin banyak materi yang tidak berkaitan dengan agama masuk ke dalam kurikulum, semakin kuat dorongannya...." katanya, "Anak-anak mulai merasa bahwa ini bukan lagi sekolah agama, tapi sekolah sekuler, bahkan murtad, karena lebih menganggung-agungkan Tsar ketimbang Tuhan. Doa-doa diselipi doa untuk Tsar..."
"Berarti bukan atheisme dong, hanya protes biasa!" kata Romo Serafim.
"Mungkin terlihat begitu," kata Soso, "Tapi Romo pasti tahu, tak semua siswa yang datang ke sini membawa pemahaman agama yang baik sebelumnya. Ketika itu tidak didapatkan di sini, itulah yang terjadi!"
"Apa yang menurutmu salah?"
"Teladan Romo. Tak ada lagi guru yang bisa dijadikan teladan di sini..."
Romo Serafim diam sejenak.
Soso memanfaatkannya untuk memasukkan hasutan lain, "Romo tahu kan kalau saya aktif di paduan suara? Itu juga sekarang sudah banyak berubah. Sekarang bukan lagi untuk memuji Tuhan. Lirik-lirik yang disenandungkan mungkin sama, tapi tujuannya beda. Bukan lagi untuk berdakwah, tapi untuk mencari tambahan penghasilan, dan juga untuk mencari nama di depan para pejabat kota dan gubernuran!"