Jauh sebelum menyelesaikan pendidikan S1 saya, di Universitas Hasanuddin Makassar, saya sudah nyambi kerja. Ada yang statusnya paruh waktu dan ada juga yang penuh. Sesuai dengan minat dan jurusan saya, Jurnalistik, umumnya pekerjaan yang saya ambil itu ya berhubungan dengan media massa.
Tahun 97 ketika saya masuk tahun ketiga kuliah, beruntung mendapatkan kesempatan untuk menjadi kontributor (koresponden) majalah remaja ibukota untuk liputan sekitar Makassar. Kebetulan, majalah itu masih sekeluarga dengan Kompasiana, majalah HAI, yang sekarang sudah berhenti cetak dan masuk jalur daring.
Tentu saja bisa disambi, karena tak setiap hari. Mingguan seperti jangka waktu terbit majalahnya pun tidak. Kalau ada permintaan liputan, baru bergerak. Atau kadang membuat liputan mandiri yang itu juga belum tentu akan dimuat. Tak apa, namanya juga belajar.
Pulang KKN tahun 98 bersamaan dengan bergulirnya reformasi dan mulai tumbuhnya media-media cetak baru seiring dengan dilonggarkannya --sampai akhirnya dicabut---ketentuan mengenai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), saya bergabung dengan sebuah tabloid lokal. Tak pake acara melamar, karena pengelolanya salah satu dosen saya, dan banyak jajaran redaksinya adalah para senior saya di kampus. Posisi saya juga masih belum lulus, meski tak ada lagi kuliah, tinggal nulis skripsi yang mendadak malasnya minta ampun.
Sajian tabloid itu adalah ekonomi dan bisnis. Sebuah bidang yang bukan habitat saya. Saya tak punya bekal pengetahuan soal itu. Karena hanya menjadi anak bawang dengan liputan ringan, saya mulai berpikir untuk pindah haluan ke media yang lebih sesuai.
Tapi dosen saya yang juga pimred melarang. Setelah diskusi panjang, akhirnya saya dipercaya untuk membuat 'adik' dari tabloid itu. Berbekal pengalaman menulis yang berkaitan dengan remaja, saya mengusulkan membuat tabloid remaja. Dan disetujui.
Syaratnya, saya mengurus sendiri SIUPP-nya, mencari pasukan sendiri, mengelola isinya sendiri, dan hanya akan dibekali modal cetak. Tanpa gaji dulu. Akhirnya lahirlah Tabloid Warna Remaja, tahun 1999. Saya memegang jabatan Redaktur Pelaksana, Pimrednya ya dosen saya itu, meski saya mengomandoi semua operasional.
Tujuh orang teman, yang kebanyakan adik angkatan di kampus direkrut. Saya jelaskan, tak ada gaji. Itu kerja 'sukarela' meski penerbitannya resmi, dicatat oleh negara. Tak ada yang keberatan, semua semangat. Maka terbitlah edisi perdana. Sampulnya diisi foto seorang gadis SMA nan ayu, hasil hunting saya dan fotografer saya. Tak dinyanya, si gadis kelak menjadi salah satu selebriti terkenal di tanah air yang wara-wiri membintangi banyak sinetron; Lyra Virna.
Sayangnya, meski sambutan pasar lumayan bagus karena kita bergerilya menjualnya ke sekolah-sekolah (SMA) se-Sulawesi Selatan, umur tabloid itu tak panjang. Biaya cetak dan operasional tak tersedia lagi. Investor yang berjanji menyuntikan dana, tak kunjung menepati janjinya. Tabloid itu bubar dengan menyisakan kebanggaan bagi seluruh pasukannya, termasuk saya sendiri.
Selesai dengan tabloid itu, dan masih belum lulus kuliah, saya diajak banting setir, meski tak terlalu tajam. Ada tawaran untuk menjadi analis media pada sebuah LSM media yang mendapatkan suntikan dana dari luar negeri untuk proyek-proyek demokratisasi media. Yang mengajak, tak lain adalah 'anak buah' di tabloid remaja tadi.
Bersamanya, saya menjadi ujung tombak kegiatan LSM itu. Pekerjaannya membuat analisis berbagai jenis berita dan beragam media. Selain itu menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi jurnalis berbagai tema dengan beragam pendana dari luar.