Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Adolf Hitler Ternyata Masih Hidup dan Berkuasa

1 Maret 2021   02:37 Diperbarui: 1 Maret 2021   04:22 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet."

Begitulah pujangga Inggris William Shakespeare berkata. Kutipan itu hampir sama populernya dengan kisah yang ditulisnya, Romeo and Juliet.

Tapi apa iya nama itu benar-benar 'tak penting' seperti yang dikatakan Shakespeare? Bisa ya, bisa juga tidak. Banyak kasus unik, menarik, lucu, bahkan mengenaskan akibat sebuah nama. Padahal lazimnya, nama yang melekat pada diri kita, bukanlah sesuatu yang kita pilih sendiri, melainkan pemberian dari orang tua kita.

Di Indonesia misalnya, sempat ramai seorang lelaki asal Banyuwangi, Jawa Timur yang bernama Tuhan. Tak ada nama belakang maupun depannya. Kisahmnya mencuat ke media tahun 2015 saat lelaki ini berusia 42 tahun. Ketua MUI Jawa Timur saat itu sampai memintanya untuk berganti nama. Entah apa Mas Tuhan ini jadi ganti nama atau tidak.

Eh, tahun 2019, ditemukan lagi Tuhan yang lain, seorang lelaki dari Jember, juga sebuah kabupaten di Jawa Timur. Tuhan yang ini kelahiran 1966. Pak Tuhan yang ini, lebih dikenal sebagai Pak Farid oleh warga, diambil dari nama anak sulungnya, Farida. Juga tak jelas, apakah ia juga diminta ganti nama atau tidak.

Soal ganti nama ini kan juga bukan persoalan yang mudah di Indonesia. Apalagi jika sudah sampai tercatat di akta, ijazah dan dokumen negara lainnya. Prosesnya harus melewati pengadilan. Ambil contoh misalnya, aktor Dede Yusuf. Sejak memulai karirnya sebagai aktor di dua film 'Catatan Si Boy' (1 & 2) ia sudah menggunakan nama 'panggung' itu. Namanya makin melambung ketika membintangi serial TV Jendela Rumah Kita yang ditayangkan di TVRI tahun 1989-90.

Dede Yusuf ternyata 'bermasalah' dengan namanya. Bukan karena aneh, tapi soal pencatatan yang tidak konsisten. Di surat-surat pentingnya, ada yang ditulis Yusuf Macan Effendi yang merupakan nama pemberian orang tuanya, pasangan Tammy dan Rahayu Effendi, ada juga yang tertulis Dede Yusuf Effendi.

Saat menjadi bintang film, nama itu barangkali tak terlalu penting, tapi saat Dede Yusuf mulai masuk dunia politik, hal itu mulai 'merugikan' dirinya. Sebagai calon Wagub Jawa Barat mendampingi Ahmad Heryawan (Aher) tahun 2008, ia masih menggunakan nama aslinya hingga terpilih dan menjabat hingga tahun 2013.

Di ujung masa jabatannya, ketika melirik menjadi calon Gubernur periode 2013-18, ia mulai berpikir untuk mengganti namanya. Bisa jadi pertimbangannya adalah soal popularitas. Sebagai Dede Yusuf, namanya dikenal, tapi sebagai Yusuf Macan Effendi? Tak banyak orang tahu. Ia pun kemudian mengajukan penggantian namanya, dan akhirnya disetujui oleh pengadilan tahun 2012 sehingga namanya menjadi Dede Yusuf Macan Effendi. Nama itu yang kemudian dipakainya mencalonkan diri sebagai gubernur Jabar berpasangan dengan Lex Lesmana. Sayangnya, malah tak hoki, ia gagal.

Di kampung saya pun demikian. Seorang lelaki yang terlahir dengan nama Ahmad Hidayat, saat muda dikenal seantero kampung dengan sebutan Mad Max --saat film yang dibintangi Mel Gibson itu populer di awal tahun 1980-an. Sayang dengan popularitasnya, saat bersiap mencalonkan diri sebagai caleg DPRD Jawa Barat tahun Ahmad Hidayat pun mengajukan penggantian nama ke pengadilan. Pengadilan memutuskan namanya menjadi H. Mad Max Ahmad Hidayat, tahun 2012. Nama itu dipakainya saat nyaleg. Sayangnya gagal. Belakangan ia malah menjadi kepala desa di Desa Karangampel, Kec. Baregbeg, Kabupaten Ciamis, hingga saat ini. Panggilannya ya itu, Haji Mad Max!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun