Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cermis: Truk yang Nyasar ke Hutan

18 Februari 2021   23:19 Diperbarui: 18 Februari 2021   23:39 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi: tribunnews.com

"Bangun Gun, molor wae!" bentak Sarip.

Gunadi yang memang sedari tadi tertidur langsung mengusap wajah dan mengucek matanya. "Sudah sampai?" tanyanya sambil celingak-celinguk memandang ke luar truk. Gelap. Gerimis pula.

Sarip menunjukkan ponselnya, pentunjuk di peta digital itu sudah menulis, 'Anda sudah tiba di tujuan. Tempat yang Anda tuju berada di sebelah kanan jalan.' "Tinggal cari pasnya. Sana keluar!" kata Sarip.

Gunadi meraih bungkusan rokok di dashboard truk mengambil isinya sebatang, menyulutnya, membenahi topinya, mengambil senter kecil di boks penyimpanan, lalu turun dari truk. Ia menyeberangi aspal yang mulus itu. Ia terkagum-kagum dengan hal itu, "Jalanan ke sini semakin bagus saja, sudah di-hotmix. Padahal sebulan lalu masih aspal siram dan bolong-bolong..." pikirnya.

Dari tempatnya berdiri, dia melihat sebuah bangunan besar yang remang-remang. Ia rasanya sering mampir ke wilayah situ, tapi belum pernah melihat bangunan itu. Tapi suasana siang dan malam memang sering membuat pemandangan berbeda. Bisa saja sebuah bangunan yang biasa ia lihat di siang hari, akan terlihat berbeda di malam hari.

Di pojokan dekat bangunan itu, ia melihat sebuah bangunan kecil, seperti pos satpam. Terlihat ada orang di dalamnya. Gunadi segera mendekatinya, dan mengetuk kaca. Lelaki yang berada di dalam bangunan kecil itu menatapnya dengan wajah datar.

"Saya mau antar barang, untuk PT Adireja!" kata Gunadi.

Lelaki itu berdiri dan membuka pintu pos, lalu berjalan menyeberangi lapangan menuju bangunan besar itu. Gunadi memberi kode pada Sarip untuk mendekatkan truk. Truk pun dibawa masuk ke lapangan di depan bangunan itu.

Tak lama beberapa orang lelaki keluar dari bangunan itu. Sementara Gunadi langsung mengambil kunci dan membuka pintu boks mobil. "Semua barangnya untuk ke sini!" katanya pada orang-orang itu. Tapi tak seorang pun yang berbicara padanya, dan juga tak berbicara pada sesama mereka. Mereka diam-diaman, seperti orang yang sedang marahan, atau mungkin juga malas karena disuruh lembur menunggu kiriman itu.

Meski rada-rada sebel karena tak dianggap, Gunadi nggak mau ambil pusing. Ia hanya berdiri menjagai pintu, dan membiarkan orang-orang itu menurunkan lalu mengangkut peti-peti yang dibawa truk boks itu. isinya apa, Gunadi tak tahu, tak perlu tahu, dan juga tak mau tahu. Bukan urusannya.

Yang jelas, kalau semua barang ini sudah selesai diturunkan, ia bisa pulang ke kampungnya. Sudah tujuh hari-tujuh malam ia dan Sarip berkeliling mengantarkan barang-barang, dan ini adalah tempat terakhir dimana semua barang diturunkan. Ia tinggal menelpon bosnya, istirahat dua hari di rumahnya, lalu kembali bekerja.

Rutinitas yang membosankan sebetulnya. Satu-satunya hiburan adalah jalanan. Baginya, sejak kecil, menyusuri jalanan dengan mobil --mobil apa saja---itu sangat menyenangkan. Makanya, selepas SMA, bukannya meneruskan kuliah, Gunadi malah belajar menyetir, lalu jadi kenek truk, dan akhirnya diterima kerja di perusahaan ekspedisi barang.

Sarip itu, sudah dua tahun menjadi partnernya. Sebetulnya secara resmi, Gunadi adalah sopir, tapi di jalan, mereka biasa bergantian. Toh, Sarip juga memintanya begitu, katanya sambil melancarkan bawa truk, karena ia hanya punya SIM untuk mobil biasa setelah sempat narik angkot di kampungnya dulu, kampung tetangga Gunadi.

Setelah semua barang diturunkan dan diangkut, Gunadi segera menutup pintu boks dan menuju kabin lagi. "Bawa suratnya, minta satpam tandatangan!" katanya kepada Sarip, 'asistennya' secara usia hampir sepantaran, mungkin Sarip lebih tua dua tahunan.

Sarip mengambil kertas-kertas di atas dashboard, turun dari truk dan berlari ke pos satpam. Tak lama ia sudah kembali. "Baru jadi satpam aja sombongnya minta ampun!" gerutu Sarip saat masuk lagi ke dalam truk dan duduk di belakang kemudi.

"Kenapa?" tanya Gunadi.

"Ditanya ini itu nggak menjawab, hanya menggeram saja, ham-hem-ham-hem nggak jelas, kayak kucing mau beranak!" jawabnya sambil menghidupkan mesin, lalu truk memutar di dalam lapangan depan gedung itu dan keluar. "Langsung balik Gun?" tanya Sarip lagi.

"Iya lah, nanti di rumah saja laporan sama bosnya. Lagian dah malem, mana mau juga dia ngangkat telepon!" jawab Gunadi sambil memperhatikan jalanan yang sepi. Ia mencoba mengira-ngira posisi truk itu. "Aku kok jadi pangling daerah sini ya..." katanya sambil melirik Sarip.

"Sama," jawab si Sarip. "Tapi kan nggak mungkin salah. Pake maps bener, terus alamatnya ketemu, barang diambil. Apa karena jalanannya sudah dihotmix, jadi beda ya?" ia balik bertanya tanpa melirik Gunadi.

"Bukannya sebulan lalu kita lewat jalur Karajenan ini?" tanya Gunadi lagi.

"Iya, tapi yang ini beneran beda. Dulu kan kita mampir di warung soto yang rame itu. Nah dari tadi aku liat-liat, nggak ketemu-ketemu. Apa masih di depan ya? Harusnya kan begitu belok dari jalur gede langsung ketemu warung itu! Memangnya ada dua jalan Karajenan?"

"Au ah.. coba aja buka maps lagi..." kata Gunadi.

"Ya kalo Karajenan cuma satu, harusnya kan nggak susah. Lurus aja terus, pertigaan pertama belok kiri kan sudah jelas, arah ke rumah!" jawab Sarip.

"Udah lah sini hapenya, penasaran aku!" kata Gunadi.

Sarip menyerahkan hapenya. Gunadi segera membuka aplikasi peta digital itu. Alangkah kagetnya ketika ia melihat aplikasi yang masih terbuka itu dan menunjukkan jalur yang berkelok-kelok. Aplikasi itu masih aktif, menunjuk ke alamat bangunan di Karajenan.

"Ini belum dimatikan dari tadi?" tanya Gunadi.

"Ya sudah lah, waktu nyampe, kamu ngasih kode masuk ke parkiran juga sudah dimatikan!" kata Sarip.

"Tapi ini masih aktif!" kata Gunadi.

Sarip melirik dan hendak mengambil hape dari tangan Gunadi, tapi tiba-tiba truk yang dikendarainya menghantam sesuatu yang sangat keras. Mesin dan lampu mobil mendadak mati. Sarip berusaha menghidupkannya lagi.

Saat mesin kembali menyala, begitupun dengan lampu depan. Alangkah kagetnya mereka, karena tak ada jalanan aspal mulus seperti tadi. Jangankan hotmix, jalan batu pun bukan. Itu jalan tanah. "Kok jadi ke sini kita?" tanya Sarip bingung.

Gunadi segera meraih senter dan membuka pintu lalu melompat turun. Tapi tubuhnya langsung terguling, karena nyaris tak ada pinggiran rata di pinggir truk. Tubuhnya nyungsep ke parit tanpa air yang hanya basah karena hujan. Di sekeliling mereka gelap gulita.

Sarip menyusul turun, dan ia menemukan bemper truknya menghantam gundukan tanah. Tak ada jalanan di situ. Ia buru-buru mendekati Gunadi. "Di mana kita Gun?" tanyanya.

Gunadi menggeleng. Mereka mengelilingi truk, menyenter ke sana-sini, dan mereka tak menemukan jalanan aspal. Jalur yang dilalui truk mereka juga sangat sempit, mustahil bisa nyaman sampai ke situ.

Gunadi teringat sesuatu, ia segera merogoh kunci dan membuka boks truknya. Dengan senternya ia menyorot ke dalam, dan menemukan tumpukan peti-peti. Padahal, tadi, peti-peti itu sudah diangkut keluar, dan seharunya boks itu kosong melompong!

*****

Cerita Mistis Lainnya: (1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun