-----
Balai Desa Cugenang ramai. Bukan oleh masyarakat yang ingin mengurus berbagai keperluan administrasi, tapi ramai-ramai mau menggulingkan Haji Samud yang menjabat lurah alias kepala desa. Haji Samud dituduh sudah menyelewengkan bantuan kambing dari pemerintah. Bukannya dibagikan, malah dipelihara sendiri.
Haji Samud terpojok di ruang pertemuan. Para pegawainya, mulai dari sekretaris desa, kepala urusan, sampai Ki Umuh, penjaga balai desa ikut menonton. Bukannya membantu atasannya itu.
Orang-orang pada ngomong bersamaan, tak jelas. Semuanya sudah keburu esmosi, maunya didenger omongannya, tapi nggak mau mendengar omongan yang lain, apalagi omongannya Haji Samud.
Prit-prit... terdengar bunyi peluit yang nyaring. Darman meminjam peluitnya Hansip Oding untuk menenangkan massa. Semua mendadak diam dan melirik pada Darman. "Jangan pada berebutan gitu dong ngomongnya. Satu-satu biar jelas. Coba baris dulu dari yang paling tua sampai yang paling muda. Yang tua sebelah kiri yang lebih muda sebelah kanan!"
Orang-orang lalu mulai membentuk barisan, berdiri di samping tembok sambil bertanya siapa yang lebih tua atau lebih muda. Ada dua orang yang masih belum sepakat soal siapa yang lebih muda dan lebih tua. Mang Jemon dan Mang Aday. Darman mendekati mereka dan bertanya.
"Ini, saya sama si Aday ini kan sama umurnya, tanggal lahirnya di KTP juga begitu!" kata Mang Jemon.
"Ya sudah, Mang Aday lahirnya jam berapa?" tanya Darman.
"Kata ibuku, almarhum, aku lahir subuh, setelah adzan..." jawab Mang Aday.
"Nah, berarti aku lebih tua, aku lahir sebelum adzan subuh!" kata Mang Jemon.