Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (70) Tebar Pesona

5 Februari 2021   23:27 Diperbarui: 6 Februari 2021   00:55 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (69) Anak-anak Hilang

Perjalanan ke Rustavi bersama bapaknya kali ini tidak terlalu menggairahkan Soso seperti perjalanannya thun lalu bersama si Said. Dulu niatnya bener-bener liburan. Tapi kali ini lebih seperti urusan keluarga. Ia harus membayar utang bapaknya pada Pak Devdariani, bapaknya si Said yang dipakai biaya pengobatan kaki bapaknya.

Ada dendam pada orang-orang yang membuat Pak Beso terluka itu. Tapi ia tak tahu siapa orang-orang itu, walaupun pasti itu orang Rustavi Stali, perusahaan baja punya orang-orang Rusia itu. Masih bagus juga bapaknya kemudian dibebaskan oleh polisi, jadi urusannya tidak berkepanjangan.

Entahlah, kebenciannya pada Rusia makin memuncak akhir-akhir ini. Tapi ia tak tahu harus menumpahkannya pada siapa, apa, dan dengan cara apa. Segala sesuatu yang berkaitan dengan 'Rusia' entah itu negara ataupun orang, selalu menarik perhatiannya. Makanya kemarin ketika teman-temannya di pabrik sepatu Adelkhanov dituduh mencuri --seperti juga bapaknya---ia langsung merasa terpanggil untuk melibatkan dirinya.

*****

Baru berselang setahun saja ia mengunjungi Rustavi, Soso merasa kota itu semakin banyak perubahannya. Rasanya semakin banyak gedung, semakin banyak orang, dan kota itu terlihat semakin ramai. Ramai tapi nyaris tanpa jiwa.

Beberapa kota sudah dikunjunginya dua tahun belakangan ini, dan ia selalu menemukan masalah-masalah yang terlihat tenang tanpa riak, tapi berarus ganas di bawahnya. Tiflis, Rustavi, Batumi, bahkan Gori, kampung halamannya sendiri. Hanya di Poti saja suasanya yang agak berbeda. Poti, di tangan Niko Nikoladze, sangat terasa hidup, sangat 'Georgia' meski ia sendiri tak pernah bisa menggambarkan seperti apa sih 'Georgia' yang sesungguhnya itu, baik di masa lalu, maupun di masa depan.

Negaranya itu sudah tak pernah berbentuk utuh sejak lama. Georgia nyaris seperti sebuah mitos, antara ada dan tiada. Menyebut 'Georgia' itu sebetunya yang mana, Imereti, Kartli, Kakheti, Ajaria, Guria? Mana pula yang disebut dengan 'Georgia' utuh itu. Siapa pula orang 'Georgia' itu? Bukankah ia sendiri, termasuk bapaknya dan beberapa generasi sebelumnya juga tak pernah tahu bentuk 'Georgia' itu.

Yang ada hanyalah potongan-potongan, 'Georgia' Imereti, 'Georgia' Kartli-Kakheti, dan seterusnya yang pernah menjadi bagian dari Otoman lah, bagian dari Persia lah, dan ia sendiri lahir sebagai 'Georgia' Rusia.

Kalau saja ia mengikuti gagasan kemerdekaan Georgia 'versi' Pangeran Ilia Chavchadze misalnya, apakah orang Guria (termasuk Batumi di dalamnya) masih merasa perlu 'bergabung?' bukankah mereka sudah sangat lama, dan sudah sangat nyaman bergabung dengan Otoman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun