Premier League sudah memasuki paruh kedua musim. Manchester City sementara kukuh menjadi juara paruh musim, menggusur 'gelar' juara Natal dari tangan Liverpool. Sementara di papan atas masih saling sikut, susul-menyusul dan saling mencuri kesempatan, di papan bawah, tampaknya lebih 'tenang' tak terlalu banyak riak. Fulham, West Brom, dan Sheffield United yang berturut-turut berada di posisi 18 ke bawah terpaut cukup jauh dari posisi aman yang sementara diduduki oleh Brighton.
Sheffield United alias The Blades yang baru saja melewati gonjang-ganjing kepemilikan, antara Kevin McCabe dan Pangeran Abdullah dan Kevin McCabe, dan dimenangkan oleh pangeran Saudi itu, tampaknya sulit mengulang kesuksesan mereka musim lalu. Musim 2019/2020, The Blades yang baru kembali ke Premier League setelah 12 tahun, mampu bertahan dengan meyakinkan, finis di urutan ke sembilan. Sebuah prestasi yang baik bagi anak asuh Chris Wilder itu.
Masuknya dana dari Pangeran Arab tahun 2013 berhasil menyelamatkan pedang yang nyaris berkarat itu. Penunjukkan Chris Wilder, mantan pemain The Blades sebagai pelatih berhasil mengasah lagi pedang itu. Makin lama-makin tajam. Buktinya, seratus poin berhasil dikantongi The Blades di League One (kasta ketiga sepakbola Inggris) musim 2015-16. Selain gelar juara, mereka juga naik kelas ke Championship.
Tiga tahun berselang, mereka naik kelas lagi ke Premier League. Di musim pertamanya kembali ke kasta tertinggi ini, bukan hanya posisi akhir yang menggembirakan, tapi julukan sebagai 'Pemenggal Raksasa' yang dulu pernah disandang The Blades, kembali muncul. Musim lalu, banyak klub-klub besar yang tumbang ditebas pedang dari Yorkshire ini; Everton, Arsenal, Spurs, dan Chelsea adalah diantaranya. Kurang dua poin saja di akhir musim bagi mereka untuk naik kelas ke pentas Eropa!
Tapi musim ini, bayang-bayang turun kelas malah terlihat lebih jelas. Jangankan naik kelas ke pentas Eropa, bertahanpun rasanya sangat berat. 8 poin dari 20 laga dengan dua kali menang dan dua seri saja, jelas sebuah pencapaian yang sangat mengecewakan. Padahal, materi pemain mereka kurang lebih masih sama dengan musim lalu. Badai cedera pun tak menimpa. Satu-dua pemain absen, hal biasa.
Chris Wilder, sang pelatih, sudah berusaha untuk mengasah kembali pedangnya. Setelah selalu kalah tanpa menyarangkan gol ke gawang lawan, pada tiga pertandingan terakhir mereka di liga mulai membuahkan hasil. Kemenangan pertama musim ini akhirnya tiba di kandang sendiri, Bramall Lane, ketika menjamu Newcastle United. Satu gol dari McGoldrick sudah cukup untuk membungkus tiga poin yang sangat berarti itu.
Pertandingan berikutnya, masih di kandang, McGoldrick kembali bikin gol ke gawang Spurs. Sayangnya, sebelum gol itu, Aurier dan Kane sudah mencatat gol, dan Ndomble menambah satu gol lagi, lima menit setelah gol McGoldick. Mereka takluk 1-3.
Sepuluh hari berselang, 27 Januari 2020, mereka harus bertandang ke markas Manchester United yang sedang di atas angin. Tak ada yang berani menjagokan The Blades. Tapi yang terjadi kemudian, semua orang kaget, Manchester Merah tumbang. Dua gol Kean Bryan dan Oliver Burke hanya dibalas oleh satu gol Harry Maguire.
Setan Merah, dan Ole, mungkin lupa. Dalam pertandingan sebelumnya di Bramall Lane, The Blades berhasil menyarangkan dua gol dari kaki David McGoldick, jumlah gol terbanyak The Blades dalam satu pertandingan di musim ini. Hanya saja, satu gol Anthony Martial dan dua dari Marcus Rashford menyelamatkan mereka saat itu. Musim sebelumnya, Setan Merah juga nyaris ditebas The Blades, meski akhirnya berakhir imbang 3-3.
Dari dua korban The Blades musim ini, Newcastle dan Manchester United, luka menganga tampaknya lebih dirasakan oleh Setan Merah. Luka itu sebetulnya bisa saja cepat sembuh, jika hanya urusan poin. Berdoa saja musuh sekota mereka juga berhasil ditebas The Blades, persaingan akan tetap terbuka. Pun jika City tetap menang, MU tak perlu berkecil hati. Perjalanan masih panjang.
Hanya saja, luka peninggalan The Blades itu meninggalkan borok dan bernanah. Lukanya dihinggapi lalat rasisme. Dua pemain mereka, Axel Tuanzebe dan Anthony Martial, dirundung dengan serangan berbau rasis di media sosial mereka. Siapa pelakunya? Yang pasti bukan para pendukung The Blades atau suporter tim lain. Serangan itu justru datang dari para pendukung mereka sendiri yang kecewa dengan penampilan kedua pemain itu.
Ada yang aneh memang, kenapa serangan rasis itu juga 'pilih kasih' kepada Tuanzebe dan Martial saja. Kenapa misalnya, Paul Pogba, Wan-Bissaka, Mason Greenwood, dan Marcus Rashford --pemain-pemain United yang tampil malam itu dan sama-sama berkulit gelap-- tidak menjadi sasaran serangan. Apakah yang lain itu tampil baik? Tidak juga. Bahkan Bruno Fernandes yang biasanya 'bagus sendiri' juga melempem dalam pertandingan itu.
Lepas dari itu, serangan kepada Tuanzebe dan Martial itu bisa benar-benar menjadi borok dan nanah yang lebih sulit disembuhkan dari luka gores yang ditinggalkan oleh The Blades. Tuanzebe dan Martial mungkin bisa menerima jika hanya dicaci maki karena bermain buruk. Malah bisa jadi itu menjadi cambuk agar mereka memperbaiki diri. Tapi kalau hati dan rasa mereka sebagai manusia yang dilukai, sulit untuk bisa sembuh dengan cepat.
Lagian, rasis kok pilih-pilih, kalau main bagus lupa sama ras, kalau buruk ras dibawa-bawa. Situ sehat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H