Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Catatan 90s: (9) Kapal-kapal Laut Bernama Gunung-gunung

26 Januari 2021   16:55 Diperbarui: 26 Januari 2021   17:03 1608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KM Lambelu (Foto: niaga.asia)

Apakah benar nenek moyangku seorang pelaut? Entahlah. Mungkin saja kalau terus dirunut sampai beberapa generasi ke atas. Seingat saya, kalau sampai generasi keempat sebelum saya, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, rasanya tak ada yang menjadi pelaut.

Dari pihak bapak, kakek seorang petani, ke atasnya juga katanya begitu. Tinggal di Ciamis utara yang lebih berupa pegunungan, dan jauh dari laut. Dari pihak ibu, kakek petani dan usaha angkutan. Ke atasnya sama. Dan hampir semuanya tak banyak yang berurusan dengan laut.

Bapak saya pernah berurusan dengan laut waktu jadi sukarelawan di masa konfrontasi Malaysia, dan bertugas di sekitar kepulauan Riau yang dekat-dekat dengan Malaysia. Itupun tak lama, selesai balik ke Bandung dan jadi PNS di lingkungan Kodam Siliwangi.

Kakek dari Ibu juga pernah berurusan dengan laut. Ia menunaikan ibadah haji saat perjalanan masih ditempuh menggunakan kapal laut selama berbulan-bulan. Konon untuk beribadah haji waktu itu, dari berangkat sampai kembali bisa sampai setengah tahun. Itupun kalau balik. Sebagian lagi tak selamat. Ada yang dimakamkan di Tanah Suci. Ada pula yang dilarung ke laut jika meninggal dalam perjalanan.

Setelah itu, dari lingkaran keluarga dekat giliran saya yang berurusan dengan laut, itu juga tak jadi pelaut, hanya saja kuliah di kota yang berada di tepi laut, di Makassar. Urusan penting saya dengan laut adalah urusan mudik ke kampung dan balik ke Makassar.

Mudik pertama saya, tahun 1996 --setelah dua tahun tak mudik---jadi pengalaman pertama naik kapal laut milik Pelni. Kapal yang saya tumpangi adalah KM Kambuna. Tak jauh-jauh, dari Makassar ke Surabaya saja dengan waktu tempuh hampir 24 jam. Padahal bisa saja saya lanjut ke Tanjung Priok Jakarta, jarak ke kampung lebih dekat. Tapi belum berani lama-lama. Pun banyak tawaran mampir dari kawan-kawan di Jawa Timur.

Barulah balik dari kampung ke Makassar, naik kapalnya dari Jakarta. Giliran KM Ciremai yang saya tumpangi. Dua hari dua malam --setelah singgah di Surabaya dulu---untuk sampai di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar.

Setelah itu, makin sering naik kapal laut. Beberapa diantaranya adalah KM Kambuna, KM Kerinci, KM Umsini, KM Lambelu, KM Bukit Siguntang, KM Sirimau, dan lainnya, lupa. Tempat tujuannya makin beragam, dari hanya Surabaya dan Jakarta, bertambah lagi ke Balikpapan, Bitung, Ambon, Baubau (Buton), hingga Sorong Papua.

Selain Jakarta dan Surabaya yang urusannya adalah pulang, yang lain-lain itu adalah untuk main ke tempat kawan-kawan yang memang banyak berasal dari Timur.

Naik kapal laut, bagi orang 'darat' seperti saya bukanlah hal yang menyenangkan. Apalagi kalau sudah terserang mabuk laut. Pernah dalam perjalanan Makassar-Surabaya saya mabuk laut. Makan tak enak tidur tak nyenyak. Untung saja tak sendirian, bersama rombongan sesama mudikers, jadi ada yang membantu, setidaknya ngerokin punggung biar lebih segar.

Tak mabuk pun, naik kapal laut itu tak terlalu nyaman. Apalagi, seumur-umur, tak pernah beli tiket yang berkamar, selalu kelas ekonomi yang lebih sering tak kebagian tempat tidur. Tidur di lorong, bawah tangga, dek luar dekat sekoci, bahkan pernah di dekat cerobong saking penuhnya kapal.

Tidur di dalam umpel-umpelan, bau sampah dan bau-bau lainnya yang sering bikin mual dan hilang nafsu makan. Belum lagi kecoak yang berkeliaran. Bisa jadi perjalanan kecoak di lautan itu lebih panjang dari seluruh perjalanan saya di lautan.

Tidur di luar sedikit lebih nyaman, bebas dari bau, tapi harus melawan angin, kadang hujan. Pernah lagi enak-enak tidur, hujan turun deras. Pakaian basah, tas bekal juga basah.

Soal jatah makan untuk penumpang kelas ekonomi, kok rasanya mirip jatah makan narapidana, antri panjang, diberi makanan dengan alas seng dengan lauk seadanya, nasi, sayur, lauk (ikan, kadang telur). Rasanya, secukupnya. Kalau malas antri, beli mie rebus yang harganya beberapa kali lipat dari harga normal di daratan.

Mandi di kapal hanya pernah satu kali. Habis itu kapok. Bukan saja karena antrian yang panjang. Tapi airnya juga sering ngadat. Lagi asyik-asyik sabunan dan keramas, pancuran macet, airnya tak keluar. Orang-orang pada berteriak-teriak. Nunggu air ngalir entah kapan, sementara orang di luar memaksa gentian karena banyak yang kebelet. Terpaksa sabun dan sampo dibilas handuk kecil. Ceritanya saja mandi, keluar bukannya seger, tapi malah lengket bau sabun dan sampo.

Orang yang mandi di sebelah lebih apes lagi, celananya yang disampirkan di dinding memang utuh, tapi dompetnya lenyap.

Hiburan satu-satunya yang agak menarik --bagi para jomblowan terutama---adalah pertunjukan film di bioskop dek bawah. Filmnya apa? Jangan tanya judulnya. Yang jelas, filmnya, terutama yang diputar tengah malam, bebas sensor!

Kapal-kapal itu, katanya memiliki dua mesin, entah kiri-kanan atau depan-belakang. Kadang dihidupkan dua-duanya, kadang hanya satu. Tapi suatu ketika, dalam perjalanan ke Makassar dengan KM Kambuna, ada yang terasa aneh. Waktu itu, baru saja melewati kawasan Masalembo yang kata orang adalah 'Segitiga Bermuda'-nya Indonesia. Kapal terasa goyang. Biasanya sebesar apapun ombak, kapal tetap anteng.

Saya di dek luar waktu itu. Di bawah skoci. Pas melihat ke laut, kapal tidak bergerak. Taunya, menurut desas-desus, mesin kapal mati dua-duanya. Bukan dimatikan, tapi beneran mati, alias mogok. Orang-orang yang di dalam pada keluar, banyak yang mabok. Lumayan lama, sekitar dua jaman. Begitu kapal terasa bergetar tanda mesin menyala lagi, rasanya plong, dan kapal pun langsung anteng lagi.

Kapal terbaik dan terbersih yang pernah saya tumpangi waktu itu adalah KM Lambelu. Baru dioperasikan pertama tahun 1997. Saya ikut pelayaran pertamanya dari Makassar ke Baubau di Pulau Buton. Waktu itu dapat undangan liputan Festival Keraton Buton. Ruangannya masih seger, bersih, makanan enak, dan karena belum ada penumpang umum, masih kosong. Di kelas ekonomi pun masih terasa nyaman.

Apa betul itu kapal baru? Ternyata tidak. Pada sebuah bagian kapal, saya menemukan tulisan timbul, kapal itu dibuat di salah satu kota di Jerman, tahun 1986, alias 31 tahun sebelumnya! Kalau KM Lambelu yang 'baru' di tahun 97 saja aslinya kelahiran 86, terus bagaimana dengan kapal-kapal lain yang sudah lebih lama beroperasi?

Tapi itu cerita tahun 90-an, kawan. Ketika transportasi negeri kita masih jahiliyah. Lihat saja kereta api, tahun 90-an kan jahiliyah juga. Tapi sekarang, mereka sudah jauh lebih baik dan lebih beradab. Lalu apakah kapal-kapal milik Pelni masih 'jahiliyah' seperti dulu? Saya tak tahu, naik kapal terakhir tahun 2001, dan belum pernah lagi sampai sekarang.

Kata kawan yang sempat menggunakan jasanya baru-baru ini, sudah banyak juga yang berubah. Piring kotak seng ala narapidana itu sudah diganti dengan bahan lain, lebih 'manusiawi.' Sayangnya, gantinya malah plastik dan Styrofoam yang tak ramah lingkungan. Katanya. Saya tak tahu lagi.

Meski penuh perjuangan dan 'penderitaan' --apalagi saat liburan atau musim mudik Lebaran, kadang kangen juga ingin naik kapal laut lagi. Sayangnya belum ada kesempatan lagi sampai sekarang.

Satu-satunya yang masih membuat saya penasaran sampai sekarang adalah, kenapa nama-nama kapal itu, diberi nama dari nama-nama gunung yang ada di Indonesia? KM Ciremai dari Gunung Ciremai di Jawa Barat, KM Umsini dari Gunung Umsini di selatan Manokwari Papua Barat, KM Kambuna dari nama Gunung Kambuna di Sulawesi Selatan, Dobonsolo nama gunung di Jayapura, Bukit Siguntang di Sumatera Selatan, Lambelu nama gunung di Pulau Buton, Kerinci di Sumatera, Sirimau di Ambon, dan sebagainya.

Ada yang tau?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun