Dari sisi prestasi, Atalanta memang belum bisa dikatakan sukses. Belum ada lagi trofi mayor di dekade ini. Tapi sejak kedatangan pelatih Gian Piero Gasperini tahun 2016, Atalanta mulai menunjukkan tren yang positif. Mereka berlaga di pentas Eropa.
Musim 2018-19 mereka mencatat prestasi domestik terbaik, nangkring di posisi ketiga, dan berhak berlaga di Champions League. Tak tanggung-tanggung, sampai di perempat final sebelum dipulangkan PSG.
Di Liga, kembali mereka menempati posisi ketiga, lagi-lagi bisa bermain di Liga Champions musim 20/21. Untuk kedua kalinya, mereka lolos dari fase grup mendampingi Liverpool setelah menyingkirkan raksasa Belanda, Ajax Amsterdam.
Pencapaian ini, membuat pecinta bola di dunia mulai melirik klub ini, dan tentu saja sponsor, baik yang sudah maupun yang sedang menimbang-nimbang. Bahkan para pemainnya, yang tadinya tak dianggap, mulai diperhatikan. Nama-nama seperti Duvan Zapata, Alejandro Gomez, Luis Muriel, dan lainnya mulai dilirik oleh klub-klub lain.
Hingga pertengahan musim ini, Atalanta masih moncer. Kehadirannya mulai mengganggu tim-tim mapan lawas, Inter, Milan, Roma, Juventus, Lazio, Napoli, dan lainnya. Tiga nama yang disebut terakhir bahkan tercecer di belakang Atalanta dalam hal posisi klasemen.
Di pentas Liga Champions Eropa pun demikian. Ketika Nerazzurri yang lain, Inter Milan, pulang duluan sebagai penghuni dasar klasemen grup, masih ada satu Nerazurri yang lain yang bersinar, ya Atalanta ini. Dan ini sungguh merugikan Atalanta. Banyak orang yang kecele ketika tim berbaju hitam-biru ini mentas di laga bergengsi Eropa, orang masih banyak yang menyangka yang main adalah Inter Milan! Hal yang buruk bagi pemasaran!
Jadi, ketika tim olahraganya sedang berbenah di bawah asuhan Gasperini yang disokong oleh presidennya Antonio Percassi --yang mantan pemain bola juga, sudah saatnya manajemen dapur Atalanta juga berbenah.
Dari sisi branding, tiga hal utama tadi, julukan, warna kostum dan logo, perlu dipikirkan ulang. Lupakan julukan Nerazzuri yang sudah kadung melekat dengan Inter Milan. Mulai perkenalkan salah satu dari dua julukan lain, La Dea atau Gli Orobici; dua julukan yang masih sayup-sayup didengar para pecinta sepakbola.
Bersamaan dengan itu, pertimbangkan pula untuk menggunakan warna kostum yang berbeda. Jikapun dua warna itu masih dipakai, jangan memakai pola strip vertikal yang sudah kadung melekat dengan kostum Inter. Mungkin diagonal atau asimetris.
Belajarlah pada Udinese yang dulu corak kostumnya (hitam-putih) sempat dibanding-bandingkan dengan Juventus yang sudah sangat mapan, dan sempat 'meresahkan' si Nyonya Tua ketika prestasi Udinese sedang menanjak. Tapi begitu anjlok lagi, gambaran strip hitam-putih ya balik lagi pada Juventus.
Dan ketiga ya soal logo itu. Tak perlu meninggalkan sosok Dewi Atalanta yang sudah sesuai dengan nama dan filosofi klub, tapi rancang tampilannya yang perlu diganti. Entah itu menampilkan sosok utuh Atalanta seperti logo tahun 1963, atau mungkin dengan desain lain yang lebih segar, tak lagi serupa dengan gambar Apollo yang dipakai Idemitsu.