Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Rinduku Padamu, Ya Jota!

22 Januari 2021   08:10 Diperbarui: 22 Januari 2021   08:17 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Tak usah ditanya bagaimana pusingnya Jurgen Klopp ketika kehilangan sederet pemain belakangnya. Bukan satu atau dua, tapi empat pemain utamanya di garis bawah, plus kipper pernah absen. Sebutlah itu Alisson, Trent Alexander-Arnold, Andy Robertson, Virgil van Dijk, dan Joe Gomez.

Ketika Alisson 'cuti' fans Liverpool cemas dengan kemampuan wakilnya, Adrian San Miguel yang --meski cukup berjasa musim lalu-- bukanlah tipe kiper yang bikin hati tenang. Penyakit blundernya sering kambuh pada saat laga krusial. Sebut saja lawan Atletico Madrid di babak knockout Champions League tahun lalu. Dan puncaknya tentu saja saat digasak Aston Villa 2-7 di liga musim ini. Untunglah kiper ketiga mereka, Caoimhin Kelleher muncul menjadi obat penenang; lumayan bikin bengek penggemar Liverpool bisa berkurang sedikit. Dan lebih tenang lagi karena Alisson kembali ke posnya.

Setelah itu ya barisan di depan kiper itu yang terus bergiliran absen. Kehilangan besar tentu saja soal Van Dijk. Kapten ketiga The Reds itu harus jadi PJJ, Penonton Jarak Jauh, sambil memulihkan kakinya yang entah sampai kapan bisa dipakai untuk menghalau bola-bola lawan sebelum sampai ke tangan Alisson.

Joe Gomez juga begitu. Meski bukanlah benar-benar pilihan utama karena harus bergiliran dengan Joel Matip, kehilangannya cukup merepotkan. Rekan gantiannya, Matip, juga sering bolos dengan masalah sama, cedera kambuhan yang membuatnya sering absen di saat dibutuhkan.

Arnold, bek yang juga penyuplai bola buat para penyerang bersama tandemnya Robertson, dua-duanya pernah absen. Pelapis Arnold yang sama-sama masih bocah, Neco Williams memang cukup menjanjikan, tapi butuh waktu untuk bisa diandalkan. Ia tak seperti Arnold yang muncul dan bersinar saat bertugas menggantikan Nathaniel Clyne hingga akhirnya menggusur seniornya itu ke bangku cadangan bahkan terpaksa hijrah ke Crystal Palace.

Pelapis Robbo, Konstantinos Tsimikas yang baru didatangkan dari Olympiacos, malah absen sebelum benar-benar unjuk gigi. Penggemar The Reds nyaris tak pernah tahu kemampuannya. Robbo yang terpincang-pincang usai bertugas membela negaranya, Skotlandia, dipaksa terus main, selama masih bisa bergerak.

Dua bocah lainnya, Rhys Williams dan Nathaniel Philips sesekali dimunculkan saat genting. Rhys di Champions League, dan Philips di Premier League. Philips memang tak terdaftar dalam kompetisi benua biru. Dua-duanya masih meragukan Klopp. Makanya, Klopp lebih sering menarik pemain-pemain tengah untuk mundur. Sebut saja yang paling mumpuni; Fabinho. Begitupun dengan dua pejabat tinggi di lapangan, kapten dan wakil kaptennya, Henderson dan Milner yang kadang bertugas di belakang.

Lini tengah Liverpool sebetulnya tak kurang bahan, bahkan surplus kalau situasinya normal. Siapapun yang absen, sebetulnya, takkan jadi masalah buat Klopp. Hanya Alex Chamberlain saja yang lama absennya. Tapi lubang di belakang itulah yang sering membuat komposisinya terus berubah. Klopp nyaris tak pernah menurunkan skuad yang sama dalam kompetisi apapun di musim ini. Terutama karena persoalan di lini belakang yang membuat posisi di tengah terus bergantian. Hanya Wijnaldum yang nyaris tak pernah bolos di laga penting.

Di depan, trio Mane, Salah, Firmino, secara fisik, sehat-sehat saja. Salah nyaris absen lama setelah dinyatakan positif covid, tapi minggu depannya sudah balik. Kedatangan Diogo Jota dari Wolves di awal musim ini langsung bikin kejutan yang menyengangkan bagi Klopp dan penggemar. Trio Firmansyah digoyang kehadirannya. Firmino bahkan sempat harus menepi sekian pertandingan karena minim sumbangan gol, sementara Jota yang jarang jadi starter malah subur makmur.

Lupakan Divock Origi dan Minamino. Origi memang sudah ditakdirkan menjadi 'cadangan abadi' dengan status pahlawan --di musim lalu. Musim ini? Nyaris dilupakan. Minamino belum juga bersinar. Rekornya selalu mengangkat trofi juara liga selama enam kali berturut-turut dari Austria hingga di Inggris tahun lalu, terancam berakhir musim ini.

Kemenangan besar Liverpool di kandang Palace 7-0 27 Desember lalu, membuat orang lupa dengan permasalahan Liverpool. Seolah semuanya baik-baik saja. Tapi pertandingan-pertandingan setelah itu, dimana seharusnya Liverpool bisa membawa pulang poin penuh, justru sering berakhir dengan satu poin saja. Itupun dengan susah payah.

Untuk pertama kalinya di liga musim ini, The Reds tak mencetak gol ketika tandang ke Newcastle. Lawan Southampton di awal tahun, malah dipermalukan sang mantan, Danny Ings yang membuat gol indah dalam hitungan empat menit setelah peluit. Lupakan kemenangan 1-4 lawan Villa di FA Cup, itu cuma pemanasan lawan bocah, tak ada yang harus dibanggakan, malah harusnya malu kebobolan satu gol. Lawan seteru abadi, MU, kembali mandul.

Dan tadi pagi, lawan Burnley yang sedang megap-megap di atas garis 'kemiskinan' juga tak berujung manis. Bukan hanya mandul, tapi malah kecolongan penalti Ashley Barnes di menit 83. Rekor 68 pertandingan tak terkalahkan di kandang, ambyar sudah.

Bukan rekor yang harus disesali, bukan pula penalti yang bisa diperdebatkan. Tapi ada soal lain yang lebih penting diurusi dan dipikirkan oleh Klopp. Yaitu bagaimana masalah lini depan yang saat ini menjadi begitu mencolok.

Bukan lagi lini belakang yang bobrok dan keropos, bukan lagi lini tengah yang harus gantian ronda, tapi lini depan yang makin tak padu. Firmino tampak tertekan. Ia yang biasanya cuek dengan omongan orang, mulai cemas. Senyumnya jarang lagi terlihat. Mane memang masih lincah, tapi dirundung keraguan, apakah menjadi eksekutor atau menjadi pengumpan, dan akhir-akhir ini ia banyak memilih yang kedua. Seolah ingin melepaskan tanggungjawab kepada dua kawannya yang lain.

Salah pun demikian. Jangan ditanya soal egonya. Di saat tertentu egonya itu yang menghasilkan gol-gol cantik, dan juga sebaliknya menghilangkan banyak peluang seandainya ia mau berbagi. Isu ketidakharmonisannya dengan Mane, isu kepindahan ke Real Madrid, tampaknya makin mengganggunya. Seperti Mane, ia juga menjadi peragu, antara memuaskan egonya atau membantah tuduhan. Hasilnya? Malah lebih parah.

Di saat seperti ini, lagi-lagi Origi dan Minamino bukan solusi. Lupakan pula soal transfer. Klopp tak butuh setidaknya untuk musim ini. Lalu apa yang dibutuhkan oleh Klopp?

Jawabannya adalah Diogo Jota. Barangkali Klopp menyesali keputusan 'bodohnya' menurunkan Jota di laga 'tak penting' lawan Midtjylland pada ajang Champions League, 9 Desember lalu.  Pulang dari kandang klub Denmark itu, Jota dirundung cedera. Ia absen cukup panjang, hingga hari ini, dan belum ada tanda-tanda ia akan kembali.

Andai saja Jota diistirahatkan waktu itu, mungkin saja ceritanya lain. Ia adalah pemain yang mendadak penting buat Klopp, tak seperti Tiago yang belakangan dituding para pengamat malah melambatkan tempo serangan Liverpool.

Andai saja Jota masih bermain, trio Firmansyah yang sedang galau, punya penyegar, siapapun yang terpaksa harus minggir, atau bahkan mungkin dimainkan keempatnya sekaligus.

Ya, Klopp pasti merindukan Jota, sebagaimana Jota juga rindu menambah koleksi golnya. Tapi Klopp harus belajar melupakan 'andai' sebagaimana dia berhasil mengabaikan 'andai' ada Van Dijk di lini belakangnya.

Ada 19 laga di liga yang menanti. Belum lagi Champions League dan FA Cup. Tak perlu berandai-andai MU, City, Leicester, Spurs, Everton, Chelsea dan lain-lain terpeleset. Bola di kaki mereka sendiri. Bola di lapangan lain bukan urusan. Penggemar The Reds tak pernah menyesali ketika mereka berakhir di posisi kedua di bawah City dua musim yang lalu setelah usaha yang keras, bukan karena 'andai' City terpeleset sekali saja. Atau lebih lama, lagi, 'andai' Gerrard tak terpeleset tahun 2014 silam.

Klopp merindukan Van Dijk, dan mungkin lebih rindu lagi pada Jota. Tapi lupakan 'andai-andai' itu. Pelatih yang hebat bukan saja mereka yang bisa mengantarkan tim bintang menjadi juara, atau mengasah tim medioker menjadi tangguh, tapi juga pelatih yang bisa membawa timnya keluar dari krisis apapun. Itu juga kalau situasi ini dianggap sebagai krisis.

Bukannya berandai-andai, tapi saat ini, seperti halnya Klopp, saya sendiri memang merindukan Diogo Jota. Sangat rindu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun