Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Catatan 90s: (8) Menonton Sepak Bola di Radio

21 Januari 2021   11:32 Diperbarui: 21 Januari 2021   12:00 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak cara untuk menikmati pertandingan sepakbola. Cara yang paling klasik ya datang langsung ke stadion, pake jersey replica, ngumpul bareng sesama pendukung satu tim, nyanyi-nyanyi, teriakin yel-yel, dan bersorak kalau terjadi gol ke gawang lawan.

Enaknya kalau nonton langsung, kita bisa merasakan atmosfir stadion, apalagi kalau penuh dan juga dihadiri supporter tim lawan. Tapi ya itu, kadang susah membedakan pemain. Belum lagi pas ada kejadian, entah itu pelanggaran atau ada gol. Kadang terlewat kalau kita meleng sedikit. Sudah gitu, nggak ada tayangan ulangnya. Pokoknya gol. Siapa yang bikin gol juga baru nanti diketahui setelah diumumkan.

Kalau tak bisa datang ke stadion, ya nonton dari rumah, lewat saluran televisi. Meski atmosfir stadion tidak terlalu terasa. Nonton di depan layar televisi, baik di rumah maupun saat nonton bareng (nobar) punya kelebihan. Selain lebih nyaman, bisa sambil ngemil, ngopi, ngudud, segala kejadian di lapangan ada tayangan ulangnya. Tak perlu khawatir. Kita bahkan bisa dengan yakin menyebut itu pelanggaran atau bukan; lebih ngerti daripada wasit. Kecuali setelah Video Asistant Refferee (VAR) diberlakukan, wasit pun bisa melihat ulang dan membuat keputusan ulangan.

Kalau menonton di televisi sekarang makin sulit, karena sebagian harus berbayar, bisa diakali dengan mencari siaran streaming gratisan. Modal kuota internet. Atau numpang wifi gratisan di warkop. Masih susah? Bisa mengikuti live score. Bisa lewat google, twitter, atau macam-macam.

Banyak jalan menuju Roma lah. Meski kalau mau nonton Liverpool ya jangan ke Roma. Apalagi zaman corona begini, nanti bisa berangkat tak bisa pulang.

Zaman dulu, sebelum tahun 2000-an, selain televisi, andalan untuk menonton sepakbola ya lewat siaran radio. Iya, 'menonton' sepakbola tapi di radio. Siaran langsung pula. Tapi jangan harap Liverpool versus MU, atau Milan vs Inter akan disiarkan di radio kita. Siaran yang 'ditayangkan' biasanya ya pertandingan sepakbola lokal.

Di stadion-stadion, biasanya disediakan tribun khusus untuk media, terutama untuk reporter radio. Ya, karena penyiar radio yang melaporkan pertandingan harus datang langsung ke stadion dan ngoceh tentang apa yang dilihatnya. Istilahnya adalah 'Laporan Pandangan Mata.'

Bagi saya, mereka ini adalah orang-orang hebat, bisa menghafal nama-nama pemain sambil melaporkan setiap peristiwa di lapangan, sampai ke gerakan-gerakan pemain.

Sobur melemparkan bola kepada Robby Darwis. Robby Darwis membawa bola, kotak-katik sedikit, umpan kepada Adeng Hudaya, Adeng kepada Ujang Mulyana, Ujang berlari dari sayap kanan, oper bola ke tengah kepada Ajat Sudrajat, Ajat berlari melewati dua pemain Manokwari, kotak-katik sedikit berikan kepada Djadjang Nurdjaman, tembak, dan Goooool sodara-sodara....

Suaranya merepet, cepat, karena harus mengikuti kecepatan pemain di lapangan dan perpindahan bola. Nyaris tak ada jeda. Ya iya lah, kalau jeda, 'penonton' radio di rumah mau apa? Melototin radio tanpa suara? Beda banget sama televisi, komentator atau yang melaporkan jalannya pertandingan bisa banyak jeda, karena penonton bisa melihatnya sendiri.

Apakah pemain-pemain yang disebutkan itu benar? Mungkin saja bisa keliru. Tapi 'penonton' mana yang akan protes kalau mereka nontonnya di bawah pohon mangga sambil memeluk radio transistor kesayangannya? Mau menyebut yang bikin gol keliru juga nggak ada urusan, yang penting skor harus jelas. Itu sudah lebih dari cukup.

Apakah 'menonton' sepakbola itu sama dengan menonton langsung atau di televisi? Tentu saja tidak. Tak ada yang ditonton selain pesawat penerima radio itu sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Tapi itulah hebatnya para reporter siaran bola. Mereka bisa membangun apa yang disebut dengan Theater of Mind; sebuah pertunjukan dalam pikiran yang dibentuk melalui kata-kata si penyiar.

Penyiar itulah yang menghadirkan 'konstruksi' situasi, sementara 'penonton' membuat konstruksi ulang atau merekonstruksinya di dalam pikiran; membayangkan situasi bermodal 'laporan' si penyiar, ditambah dengan imajinasi. Mereka yang pernah hadir di stadion (misalnya GBK), akan memiliki gambaran yang berbeda dengan yang tidak pernah.

Saya sendiri terakhir 'nonton' bola di radio tahun 96, Liga Indonesia. Itu Liga Indonesia kedua setelah penggabungan antara perserikatan dengan galatama. Tahun sebelumnya, Persib jadi juara setelah mengalahkan Petrokimia Gresik 1-0 di partai final.

Liga Indonesia II (1995-1996) waktu itu sudah memasuki babak "12 Besar." Tim kesayangan saya, Persib Bandung berlaga di Grup C bersama PSM Makassar, Persipura Jayapura, dan Mataram Indocement. PSM jadi tuan rumah. Sebagai Ketua Himpunan Pelajar dan Pemuda Parahyangan (HIPMAPAR) dan anggota Kerukunan Warga Jawa Barat (KWJB) di Sulawesi Selatan, saya beruntung kebagian menyambut rombongan Persib asuhan Risnandar itu.

Bersama seorang kawan yang berasal dari Subang, Syafei, saya ikut makan bersama rombongan Persib yang kala itu dihuni nama-nama seperti Robby Darwis sang kapten, Yudi Guntara, Asep Dayat, Sutiono Lamso, Kekey Zakaria, dan lain-lain. Foto-foto tentu lah, kapan lagi bisa ketemu idola di tempat yang jauh pula. Dan kebagian jatah tiket untuk menonton langsung di stadion.

Dua pertandingan awal, saya nonton di Stadion Matoangin yang tak jauh dari secretariat HIPMAPAR di Jalan A. Mappanyukki, tinggal jalan kaki. Sayang, pertandingan pertama Persib kalah dari Persipura 1-2. Pertandingan kedua, lawan Mataram Indocement juga nonton, Persib menang 2-0.

Sayangnya, di pertandingan ketiga yang menentukan dan mendebarkan, lawan tuan rumah PSM. Saya dan Pei tak bisa nonton. Ada acara baksos himpunan jurusan di Sidrap. Acara nonton di stadion digantikan dengan acara 'nonton' di radio.

Teman-teman kampus, jelaslah sebagian besar pendukung PSM, namanya juga pribumi. Hanya saya dan Pei saja yang menjadi pendukung Persib. Tapi meski kedua tim 'berseteru' di lapangan, kami tentu saja tidak. Malah ketawa-ketawa.

Sebuah radio transistor disetel di sebuah gubuk yang di depannya ada empang. Sebelum pertandingan dimulai, dua kawan saya, Pei dan Idris 'bertaruh.' Kalau Persib bikin gol, Pei akan nyemplung ke empang. Begitupun sebaliknya, jika PSM bikin gol, Idris yang akan nyemplung.

Dua puluh menit berlangsung. Penyiar radio melaporkan, Persib mencetak gol, entah siapa, tak terlalu jelas. Saya dan Pei bersorak. Pei langsung menunaikan janjinya, nyemplung ke dalam empang. Tapi apa yang terjadi saudara-saudara?  Ternyata golnya dianulir karena seorang pemain Persib dinyatakan offside!

Pei misuh-misuh. Sudah nyemplung, basah-basah dan berlumuran lumpur, golnya dianulir pula! Tak ada yang lebih menggembirakan saat itu selain menertawakan nasib si Pei, termasuk saya, meski rada-rada kecut, tapi ya tertawa juga.

Tak lama, PSM yang dilaporkan mencetak gol. Belajar dari pengalaman Pei, Idris ogah nyemplung duluan sebelum semuanya jelas. Tapi gol itu memang disahkan. Hanya saja Idris curang, ogah nyemplung. Akhirnya dikejar-kejar Syafei yang dendam kesumat.

Nasib Pei bener-bener apes. Sudah nyemplung, gol dianulir, Persib kalah pula 1-0. Habis itu Persib gagal lolos sebagai runner up, karena disaat yang bersamaan, Persipura membantai Mataram 4-0. Untunglah saya tak ikut-ikutan taruhan....

Dan sekarang, meski menonton lewat televisi, penonton dan pemain juga dilatih untuk bersabar untuk menunda perayaan gol. Apalagi penyebabnya kalau bukan VAR yang membuat offside setipis benang pun bisa menggagalkan sebuah gol yang sangat indah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun