Penyiar itulah yang menghadirkan 'konstruksi' situasi, sementara 'penonton' membuat konstruksi ulang atau merekonstruksinya di dalam pikiran; membayangkan situasi bermodal 'laporan' si penyiar, ditambah dengan imajinasi. Mereka yang pernah hadir di stadion (misalnya GBK), akan memiliki gambaran yang berbeda dengan yang tidak pernah.
Saya sendiri terakhir 'nonton' bola di radio tahun 96, Liga Indonesia. Itu Liga Indonesia kedua setelah penggabungan antara perserikatan dengan galatama. Tahun sebelumnya, Persib jadi juara setelah mengalahkan Petrokimia Gresik 1-0 di partai final.
Liga Indonesia II (1995-1996) waktu itu sudah memasuki babak "12 Besar." Tim kesayangan saya, Persib Bandung berlaga di Grup C bersama PSM Makassar, Persipura Jayapura, dan Mataram Indocement. PSM jadi tuan rumah. Sebagai Ketua Himpunan Pelajar dan Pemuda Parahyangan (HIPMAPAR) dan anggota Kerukunan Warga Jawa Barat (KWJB) di Sulawesi Selatan, saya beruntung kebagian menyambut rombongan Persib asuhan Risnandar itu.
Bersama seorang kawan yang berasal dari Subang, Syafei, saya ikut makan bersama rombongan Persib yang kala itu dihuni nama-nama seperti Robby Darwis sang kapten, Yudi Guntara, Asep Dayat, Sutiono Lamso, Kekey Zakaria, dan lain-lain. Foto-foto tentu lah, kapan lagi bisa ketemu idola di tempat yang jauh pula. Dan kebagian jatah tiket untuk menonton langsung di stadion.
Dua pertandingan awal, saya nonton di Stadion Matoangin yang tak jauh dari secretariat HIPMAPAR di Jalan A. Mappanyukki, tinggal jalan kaki. Sayang, pertandingan pertama Persib kalah dari Persipura 1-2. Pertandingan kedua, lawan Mataram Indocement juga nonton, Persib menang 2-0.
Sayangnya, di pertandingan ketiga yang menentukan dan mendebarkan, lawan tuan rumah PSM. Saya dan Pei tak bisa nonton. Ada acara baksos himpunan jurusan di Sidrap. Acara nonton di stadion digantikan dengan acara 'nonton' di radio.
Teman-teman kampus, jelaslah sebagian besar pendukung PSM, namanya juga pribumi. Hanya saya dan Pei saja yang menjadi pendukung Persib. Tapi meski kedua tim 'berseteru' di lapangan, kami tentu saja tidak. Malah ketawa-ketawa.
Sebuah radio transistor disetel di sebuah gubuk yang di depannya ada empang. Sebelum pertandingan dimulai, dua kawan saya, Pei dan Idris 'bertaruh.' Kalau Persib bikin gol, Pei akan nyemplung ke empang. Begitupun sebaliknya, jika PSM bikin gol, Idris yang akan nyemplung.
Dua puluh menit berlangsung. Penyiar radio melaporkan, Persib mencetak gol, entah siapa, tak terlalu jelas. Saya dan Pei bersorak. Pei langsung menunaikan janjinya, nyemplung ke dalam empang. Tapi apa yang terjadi saudara-saudara? Â Ternyata golnya dianulir karena seorang pemain Persib dinyatakan offside!
Pei misuh-misuh. Sudah nyemplung, basah-basah dan berlumuran lumpur, golnya dianulir pula! Tak ada yang lebih menggembirakan saat itu selain menertawakan nasib si Pei, termasuk saya, meski rada-rada kecut, tapi ya tertawa juga.
Tak lama, PSM yang dilaporkan mencetak gol. Belajar dari pengalaman Pei, Idris ogah nyemplung duluan sebelum semuanya jelas. Tapi gol itu memang disahkan. Hanya saja Idris curang, ogah nyemplung. Akhirnya dikejar-kejar Syafei yang dendam kesumat.