Karena lagi pada rame ngomongin bule (baik bule yang beneran berkulit bule, maupun yang menjadi 'bule' karena kewarganegaraannya alias WNA), saya jadi teringat seorang bule yang sangat saya kenal pandangan-pandangannya tentang Indonesia, khususnya soal pers di Indonesia. Namanya David T. Hill.
Sebagai orang yang tak pernah jauh dari persoalan jurnalisme di Indonesia, mulai dari praktisi (jurnalis), analis media di masa peralihan pers pasca-reformasi, hingga sekarang menjadi akademisi dengan bidang yang sama, nama David T. Hill begitu melekat dalam memori saya.
Ketika menulis makalah-makalah yang berkaitan dengan pers di Indonesia, ada dua buku David T. Hill yang selalu menjadi rujukan; Jurnalisme dan Politik di Indonesia dan Pers di Masa Orde Baru (dua-duanya terjemahan, terbitan YOI, 2011). Dua buku itu dengan sangat baik menggambarkan persinggungan antara pers dengan politik di Indonesia pra-reformasi, dari Orde Lama hingga Orde Baru.
Siapa David T. Hill? Hill, kelahiran tahun 1954, adalah Profesor Emeritus dari Murdoch University Australia untuk kajian Asia Tenggara, wabilkhusus Indonesia. Ketertarikan Hill pada Indonesia sudah dimulai sejak ia menulis tesis dengan subjek sastra populer Indonesia (khususnya cerita pendek) tahun 1977. Untuk itu, dia mulai belajar bahasa Indonesia.
Ketika melanjutkan studinya ke tingkat doktoral, lagi-lagi ia mengambil tema Indonesia, kali ini ia melirik salah satu tokoh pers sekaligus sastrawan terkemuka Indonesia; Mochtar Lubis. Hill tertarik dengan karya-karya sastra Mochtar Lubis yang dinilainya berani melakukan kritik pada penguasa.
Januari 1980, ia menulis surat kepada Mochtar Lubis untuk menyampaikan niatnya melakukan penelitian itu. Sebagaimana dikisahkan Hill dalam catatan tambahan dalam buku Jurnalisme dan Politik di Indonesia, Mochtar Lubis membalas suratnya dengan singkat, intinya, ia 'tidak keberatan' dengan niat Hill itu.
Hill pun berangkat ke Jakarta. Tapi ia baru diterima Mochtar Lubis setahun kemudian di rumahnya. Setelah itu, hingga tahun 1982, Hill setidaknya melakukan 12 kali wawancara dengan Mochtar Lubis. Niatnya untuk menulis biografi 'psikologis' Mochtar Lubis bergeser. Hill kemudian memusatkan kajiannya dengan melihat peran Mochtar Lubis sebagai jurnalis, sastrawan, dan budayawan dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Penelitiannya itu kemudian menjadi disertasi dengan judul "Mochtar Lubis: Author, Editor, Political Actor"Â (1988).
Hill merasa bahwa Mochtar Lubis tidak terlalu suka dengan apa yang ditulisnya. Permintaannya pada Mochtar Lubis untuk memberi komentar mengenai disertasinya itu tidak dibalas. Akhir tahun 1989, ia mencoba menghubungi lagi Mochtar Lubis ketika ia ke Jakarta, tapi tak berhasil. Ia merasa ada yang masih mengganjal atas hubungannya itu.
Seolah ingin menebus 'rasa bersalahnya,' Hill kemudian berangkat ke Sumatra. Ia mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi bagian dari kehidupan masa kecil Mochtar Lubis di Sungai Penuh, Jambi. Tiga minggu ia berada di sana. Bahkan beruntung bisa bertemu seorang teman SD Mochtar Lubis dan juga keluarganya yang lain. Hill merasa tak enak soal yang terakhir itu, karena ia berkunjung tanpa restu dari Mochtar Lubis sendiri.
Bulan Januari 1990, Hill kembali diterima Mochtar Lubis di rumahnya di Jakarta. Hill menceritakan perjalananannya. Mochtar Lubis tertarik dengan kisahnya itu, bahkan mengajak istrinya untuk mendengarkan. Tapi menurut Hill, Mochtar tidak juga mau membahas disertasinya meski berkali-kali disinggungnya. Hanya kisah perjalanannya saja yang menarik minatnya. Bahkan beberapa bulan kemudian, Mochtar mengajak istri, anak, dan cucu-cucunya melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang dipotret oleh Hill.
Ketika istri Mochtar Lubis, Hally, meninggal bulan Agustus 2001. Hill tidak berada di Jakarta waktu itu. atas undangan Atmakusumah, wartawan senior mantan pimred Indonesia Raya, ia datang dalam peringatan 40 hari meninggalnya. Di situlah Hill diminta untuk menuliskan buku tentang Mochtar Lubis berdasarkan disertasinya, tentu saja dengan berbagai tambahan dan pengembangan.Â