Dan sore itupun saya langsung meluncur ke TKP. Apa yang terjadi? Mia menyambut saya dengan biasa saja. Kayaknya malah kaget dengan kedatangan saya. Masih bagus nggak diusir juga. Saya tanya kemudian soal pesan di pager itu. Dan dia bilang, dia nggak pernah ngirim pesan, nomer pager saya juga katanya dia nggak tahu! Nah lho!
Keesokan paginya, saya dapet pesan lagi. "Dari kemarin ditungguin kemana aja. Maya."
Bujubuneng.... Ternyata yang mengirim pesan itu bukan Mia, tapi Maya. Kalau si Maya memang lagi ada urusan sama saya, dia mau ngasih order motret nikahan kakaknya!
Untunglah order itu masih bisa diselamatkan. Saya segera menemuinya, dan belum terlambat. Saya tunjukan pesan di pager sebagai alasan. Dan memang salah, di pager tertulis Mia, bukan Maya. Dia hanya tertawa soal itu. Beruntung pula saya dan Maya nggak ada hubungan 'apa-apa.' Kalau ada, kan gawat, bisa dituduh selingkuh!
Kisah pager itu berakhir tahun 98 saat saya pergi KKN selama dua bulan. Jauh. Nggak ada layanan. Akhirnya tak bayar iuran bulanan dan mati. Ya sudah, balik ke Makassar saya putuskan saja sekalian. Kemudian berganti pacar baru, sebuah handphone Nokia seken seharga 650 ribu, sementara nomornya sendiri saya beli 750 ribu (Mentari, soalnya kalau Simpati lebih mahal lagi, bisa satu jutaan). Nomor sama hapenya lebih mahal nomornya, itupun bukan nomor cantik. Tapi lumayan lah, meningkatkan kredibilitas dan gengsi, sedikit naik kelas dari pager yang menjengkelkan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H