Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan 90s: (1) Gomoreh: Gombal Modal Recehan

10 Januari 2021   15:55 Diperbarui: 10 Januari 2021   16:09 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapan terakhir memakai telepon umum koin? Saya lupa. Tahun 2000-an, ketika saya hijrah ke Jakarta setelah tujuh tahun mengembara di Makassar rasanya sudah tak pernah menggunakannya lagi.

Pertama, saya nggak punya banyak teman yang bisa ditelpon meski hanya sekadar iseng. Kedua, meski masih banyak ditemukan di trotoar dekat halte angkutan umum, banyak pesawat telpon umum yang sudah nggak berfungsi. Ada yang tak mengeluarkan bunyi, ada yang putus kabelnya, ada yang hilang gagangnya, dan yang paling menyebalkan ya, telepon yang korupsi, duitnya ditelan dan tak dikeluarkan, tapi nggak bisa dipake.

Dan yang ketiga, karena saya sudah pegang hape, bukan untuk gaya-gayaan, tapi buat nungguin panggilan kerja. Toh, hape saat itu juga masih mahal, ya hapenya, ya pulsanya. Sayang kalau dipake buat iseng. Masak belum kerja sudah boros di pulsa. Terus makan gimana?

Padahal, awal-awal kuliah, tahun 94, telepon umum itu adalah andalan saya untuk berbagai keperluan. Mulai dari yang serius; menanyakan tugas pada kawan yang punya sambungan telepon di rumahnya, hingga yang paling mengasyikan; menggombali cewek-cewek; gomoreh; Gombal Modal Recehan.

Yup. Yang terakhir itu yang asyik. Memang tak semua cewek bisa digombali, karena tak banyak juga yang punya telpon di rumahnya. Teman kuliah yang cewek juga banyaknya perantau dari berbagai daerah yang ngekos, dan tak banyak yang kosannya menyediakan sambungan telepon.

Nah, di antara teman-teman cewek yang tidak banyak (punya pesawat telepon di rumahnya) itu, ada dua teman yang memberikan nomor telpon rumahnya pada saya. Keduanya bukan teman sejurusan atau sefakultas. Yang satu anak kedokteran, yang satu anak teknik elektro. Kenalnya saat sama-sama sekelas dalam penataran P4 yang dulu diwajibkan itu.

Yang pertama, sebut saja M, anak kedokteran, keturunan Tionghoa. Bapaknya punya toko kelontong besar dan cukup terkenal di dekat Masjid Raya Makassar. Dari awal, dia selalu duduk dekat saya, entah kebetulan atau sengaja, hehe. Begitu dia tahu saya dari 'Bandung' (saya nggak nyebut Ciamis asal saya, susah jelasinnya, dan dia juga kemungkinan besarnya nggak tahu), dia langsung akrab. Alasannya, dia sebetulnya pengen kuliah di Unpad, tapi nggak lulus. Dia pengen mencobanya tahun depan. Ia memberikan nomor telpon rumahnya. Dia bilang, saya harus menelponnya nanti kalau sudah selesai penataran dan kembali ke fakultas masing-masing. Saat itu, katanya, pasti sulit ketemu dan ngobrol.

Yang kedua, sebut saja Y, yang ini dari namanya kelihatan, keturunan Arab. Bapaknya dekan kedokteran, tapi malah kuliah di teknik elektro yang isinya kebanyakan cowok. Seperti M, Y juga mengaku suka ngobrol dengan saya karena logat saya yang berbeda, mungkin waktu itu bahasa Indonesia logat Sunda saya masih medok. "Saya suka kalo kamu lagi ngomong..." katanya. Ia pun memberi nomor telpon rumahnya. Bukan itu saja, hari terakhir penataran, dia malah membekali saya dengan sekresek uang koin 100, buat bekal saya menelponnya!

Usai penataran, saya memenuhi janji, dengan memakai telepon umum di ujung jalan, pinggir jalan raya penghubung Bandara Hasanuddin dengan pusat Kota Makassar, saya menelpon mereka. Enak di situ. Meski pinggir jalan raya, telponnya jarang yang make.

Dengan M, tak pernah ngobrol lama. Selalu berujung dengan janjian ketemu. Nonton film lah, nongkrong di Pantai Losari yang ramai dengan pedagang --hingga dulu dijuluki sebagai restoran terpanjang---atau ngobrol ngalor-ngidul di Benteng Rotterdam. Tiap ketemu, pasti dia bawa oleh-oleh, sekresek kebutuhan harian; odol, sabun mandi, sabun cuci, dll.. mungkin ngembat dari toko bapaknya. Ah, yang penting kan bukan saya yang nyolong.

Teman sekamar saya, Heru, anak Madiun yang juga kuliah di Kedokteran heran, kenapa saya selalu belanja padahal yang sebelumnya aja belum pada habis. Saya cuma cengar-cengir saja. Saya nggak mau bocorin habis 'kencan' dengan anak kedokteran juga, takut diserobot sama dia, haha... tapi belakangan dia juga tahu waktu si M nyamperin saya di kosan, dan Heru ada di situ.

Lain M, lain lagi dengan Y. Kalau saya nelpon dia, minimal sepuluh koin bisa habis. Kalau uang seratus perak bisa dipake ngobrol 3 menitan, berarti setidaknya saya ngobrol dengannya setengah jaman. Ada aja yang dimongin, saya juga nggak inget, apa sebetulnya yang diomongin dulu itu. Kalau saya capek dan mengakhiri obrolan dengan alasan koinnya habis, satu dua hari kemudian, lewat teman sekosan yang anak teknik, pasti ada titipan sekresek duit koin yang jumlahnya bisa sampe sepuluh ribuan.

Untungnya, seperti saya bilang tadi, telepon umum yang satu itu sepi peminat. Entah kenapa. Jadi sebetulnya saya bisa bebas memakainya. Kadang hanya diselingi sebentar kalau ada orang yang kelihatan mau pake. Habis itu, ya dilanjut lagi, sampe lutut gemeter kelamaan berdiri.

Dengan Y, saya tak pernah janjian ketemu. Baik di kampus maupun di tempat lain. Bener-bener hanya di telepon, dan dia memang selalu bilang hanya ingin ngobrol di telepon. Kan aneh! Tapi ya sudah, karena belum punya banyak temen juga, malem minggu nggak pernah kemana-mana, ya hiburannya ngobrol di telpon dengan si Y. Kalau sama M, saya biasanya menelpon atau ketemuan di hari biasa, siang hari pula. Saya sampai hafal jadwal kuliahnya. Dia sampai heran, padahal saya kan tinggal ngecek jadwal kuliah si Heru yang sekelas sama dia, jadwalnya kan ditempel di kamar, hehe...

Kebiasaan menggombali Y di telepon umum itu akhirnya harus berhenti. Gara-gara suatu malam, malam minggu, telpon koin yang biasanya sepi itu lumayan rame. Ada cowok yang sedang menelpon. Di belakangnya ada dua, dan saya di belakangnya. Di belakang saya, ada lagi yang antri. Saya sudah nggak enak, pasti nggak bakalan nyaman nih. Tapi saya tetap antri, setidaknya saya mau mengabari Y kalau malam itu saya cuma mau say hello aja, tapi nggak bisa ngobrol lama. Kasian kalo dia menunggu.

Sudah lewat sepuluh menit, cowok yang tadi menelpon masih hahah-heheh.. koin demi koin terus dimasukkannya. Padahal, antrian makin panjang, ada tujuh orang termasuk saya. Ada bapak-bapak yang antri di belakang saya yang menegurnya. Dia cuma mengangkat tangan, lalu hahah-heheh lagi. Sampai suatu ketika, dari belakang, maju seorang lelaki berjaket. Tanpa basa-basi, dia mengeluarkan sebilah badik dan langsung menikam si hahah-heheh tepat di pinggangnya.

Si penelpon terjatuh bersimbah darah. Penikamnya dengan santai menaiki motornya lalu kabur. Orang-orang yang antri menelpon panik, sebagian menolong, sebagian hanya ribut nggak jelas. Saya? Balik ke kosan lah... selain trauma melihat kejadian yang persis di depan mata itu, saya juga nggak siap terlibat urusan panjang!

Gara-gara kejadian itu, saya nggak berani lagi nelpon di situ. Y ngambek. Saya sampe harus menemuinya di kampus untuk menjelaskan. Dia mengerti, tapi ya itu, saya dan dia 'putus' acara gomorehnya berakhir. Sesekali saja menelpon Y, itupun tak pernah berlama-lama lagi. Selain makin banyak yang antri, saya juga ngeri kalo lagi gombalin tau-tau ada badik melayang!

Sejak itu saya tak pernah lagi berlama-lama menelpon saat menggunakan telepon umum koin (dan belakangan kartu). Selain takut, saya juga kepikiran, kalau saya ada perlu sangat penting dan orang di depan kita malah asyik hahah-heheh, pasti jengkel luar biasa. Itu juga mungkin alasan orang yang menikam penelpon hahah-heheh itu. Meski cara pelampiasannya salah dan melanggar hukum, tapi alasannya (kalau kita tahu) mungkin bisa dipahami.

Dengan M sendiri yang memang tak pernah lama ngobrol di telepon, juga berakhir setahun kemudian. Dia pindah kuliah ke Bandung seperti cita-citanya. Pasokan sembako saya pun berakhir. M menitipkan nomor kosannya di Bandung pada Heru. Saya diminta untuk menelponnya, alasannya dia kesepian, belum punya banyak teman di sana.

Untungnya, setelah itu mulai menjamur usaha wartel. Gomorehnya bisa lebih nyaman dan aman di dalam bilik, tinggal hati-hati saja dengan billing, apalagi kalau interlokal. Untungnya M pengertian, dia rajin mengirim wesel pos untuk biaya telepon. Sayangnya, beberapa kemudian saya kehilangan kontak dengan M. Dia pindah kos, begitu juga dengan saya.

Telepon koin, ah, ceritamu dulu....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun