Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Fabel Kang Guru: Si Kampret Manusia Serakah

7 Januari 2021   00:08 Diperbarui: 7 Januari 2021   00:18 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Di balai desa Hutan Nusantara, Kang Guru diminta menyampaikan cerita fabel. Gara-garanya, hujan turun dengan deras diiringi sambaran petir beberapa kali. Akibatnya listrik padam, balai desa gelap-gulita. Padahal, warga RH (Rukun Hewan) 01 sedang berkumpul untuk menonton sinetan (sinema hutan). Untungnya Bu Aya yang rumahnya paling dekat datang membawakan lilin, jadi balai desa sedikit terang.

“Ya sudah, saya akan menceritakan dongeng Si Kampret Manusia Serakah!” kata Kang Guru.

Haiya…, kenapa cerita manusia, bukannya fabel itu cerita hewan?” Ko Ala protes.

“Itu kalau yang cerita manusia, Ko. Kita kan hewan. Cerita fabelnya hewan, ya manusia. Kalau hewan ngomongin hewan lagi itu bukan cerita fabel, namanya gosip!” kata Kang Guru.

“Terus kenapa manusia namanya si Kampret, ta yeu?” Cak Rowo ikut nimbrung.

“Dalam dongeng yang dibuat manusia, tokoh hewan suka diberi nama manusia. Misalnya, Bona, gajah kecil berbelalai panjang. Ikan badut dinamai si Nemo. Singa dikasih nama Alex…” kata Kang Guru, “Karena itu, sekarang manusianya yang dikasih nama hewan!”

“Iya, tapi kenapa Kampret, ndak Cebong saja!” kata Cak Rowo lagi.

Kumaha sih jadi ribet begini. Ini mau dongeng, bukan mau kampanye…” kata Kang Guru. “Ya sudah, namanya si Kancil saja, biar netral!”

“Kalau dibalik, kenapa manusianya masih serakah, harusnya kan pake sifat binatang dong…” Jang Krik ikutan protes. “Cerita fabelnya manusia kan memanusiakan hewan, sifat-sifat manusia dipinjamkan kepada hewan. Kalau Kang Guru tadi balik-balikin, berarti sekarang harusnya manusianya berperilaku seperti hewan, sifat-sifatnya juga kayak hewan!”

“Oh nggak bisa kalau sifat mah. Sifat hewan ada di manusia, dan sifat manusia juga ada di hewan…” kata Kang Guru.

“Beda Kang Guru… ada sifat manusia, ada juga sifat hewan..” Jang Krik masih keukeuh.

“Ya sudah, coba sebutkan apa?” tanya Kang Guru.

“Ya tadi, serakah, itu sifatnya manusia!” kata Jang Krik.

“Kata siapa? Serakah itu sifatnya hewan. Lihat saja monyet, di tangannya masih pegang buah, masih merebut buah yang dipegang temannya. Nah, manusia itu cuma niru monyet…” kata Kang Guru.

“Ya sudah, kalau gitu, bijaksana. Itu kan sifatnya manusia. Mana ada hewan yang bijaksana?” tanya Jang Krik lagi.

“Kata siapa?” tanya Kang Guru. “Hewan itu lebih bijaksana. Coba kalau ada bahaya, misalnya gunung mau meletus. Hewan pada turun gunung kan? Lha manusia? Malah pada mendaki, foto-foto, selfie.”

“Pintar!” Bu Aya ikut nyumbang ide. “Manusia tonji yang pintar, hewan tidak ji! …”

“Kata siapa? Itu, banyak teknologi manusia yang niru-niru teknologinya hewan, sementara hewan nggak ada yang niru teknologinya manusia!” kata Kang Guru.

Onde mande, susah nian. Sifat yang paling manusia itu ya suka bergosip!” Bu Anteng nyeletuk.

“Kata siapa? Hyena itu suka ngomongin hyena lain lho, makanya mereka hidup geng-gengan…” jawab Kang Guru.

Opa Sum yang tadinya diam mulai jengkel dengan perdebatan itu. “Wei sudah-sudah. Pusing kepala Beta. Kenapa pada ribut ngomongin bedanya manusia deng hewan. Di dunia ini, hanya ada dua jenis makhluk hidup, hewan dan tumbuhan. Manusia itu juga hewan. Bedanya mereka sok gengsi, seng ada yang mau mangaku!”

Haiya, bener itu…” kata Ko Ala, “Terusin dongengnya Kang Guru…”

“Sebentar,” kata Bu Aya. “Kalau kata Opa Sum manusia itu hewan juga, berarti kalau kita ngomongin mereka, sama ji dengan bergosip. Tapi kenapa ya manusia suka bikin cerita fabel, ngomongin diri mereka sendiri, tapi pinjam nama-nama hewan?”

Lha ya itu… Karena mereka suka melemparkan tanggungjawab pada orang lain!” kata Mas Todon yang dari tadi diam.

“Nah itu…” Jang Krik langsung menyela, “Itu sifat manusia! Hewan mana coba yang suka melemparkan tanggungjawab. Nggak ada kan?” Jang Krik merasa menang.

“Ya ada lah, hewannya namanya manusia. Kan kata Opa Sum, manusia juga hewan…” kata Kang Guru yang nggak mau kalah. Tiba-tiba listrik menyala lagi. “Kumaha ini teh, mau lanjut ceritanya tidak?” tanya Kang Guru.

“Lanjut apane? Lha wong dari tadi juga ceritanya belum dimulai. Judule thok. Keburu debat ndak jelas, koyok manusia wae. Wis, mendingan nonton sinetan wae, wis karuan bohonge!” kata Mas Todon, sewot.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun