Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kembali Belajar agar Kuliah Daring Tak Lagi Garing

3 Januari 2021   12:04 Diperbarui: 3 Januari 2021   12:10 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semester genap tahun lalu, perkuliahan tatap muka di kelas dihentikan pihak kampus. Sepihak. Jika saja situasi normal, mungkin mahasiswa dan dosen pada protes. 

Tapi keselamatan memang lebih penting. Urusan proses belajar-mengajar, silakan lanjutkan dari rumah dengan cara pembelajaran jarak jauh, alias daring bin online. Mahasiswa kelabakan. Dosen? Sama saja. 

Rancangan perkuliahan yang sudah dibuat sebelumnya harus bubar jalan. Saya harus kembali belajar. Belajar materi? Tentu saja bukan. Saya harus kembali belajar berbagai fitur teknologi yang bisa digunakan untuk memindahkan kelas nyata ke kelas maya.

Pusing kepala eke, Beb! Ruangan daring mana yang bisa dipakai dan cocok untuk memindahkan kelas. Saya belajar Zoom. Oke, mungkin bisa dipake. Mata kuliah yang saya ampu, Teori Komunikasi, memungkinkan untuk itu. Tinggal cuap-cuap. Absen. Beres. Tapi datang surat edaran dari kampus, diminta untuk menghindari kuliah langsung. 

Alasannya, banyak mahasiswa yang pulang kampung dan, sudah bisa ditebak, akan kesulitan mengikuti kuliah model itu. Apalagi kalau bukan urusan sinyal. Jangankan mereka, saya pun melakukan uji coba gagal. 

Penyebabnya, tempat tinggal saya dekat bandara Adisucipto yang meski sudah sepi dari penerbangan komersial, masih dipakai sebagai pangkalan TNI AU. Kalau bapak-bapak tentara ini sedang latihan, suara pesawatnya sangat bising. Selain itu, internet pasti ngedrop.

Segera saya pindahkan ke Google Classroom. Ini mending. Absen gampang, tinggal tulis nama dan NIM di kolom komentar. Tak perlu nongkrong secara bersamaan. 

Materi ditulis ulang dengan segera dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Aman. Meski saya capek membuat rekap presensi mahasiswa. Untuk mata kuliah itu saja, di salah satu kampus di Jogja, mahasiswa yang tercatat mengikuti mata kuliah saya berjumlah 420 orang plus-plus. Plus angkatan lama yang baru mengambil atau mengulang.

Tapi mahasiswa mulai mengeluh. Kuliahnya menjadi garing. Mereka terbiasa dengan gaya saya yang slebor kalau di kelas, ngelantur kemana-mana, tapi membuat mereka paham (katanya) soal materi yang disampaikan. 

Sesekali mereka bisa tertawa, kalau saya berhasil menemukan celah untuk melawak, bakat lain saya yang terpendam, meski gagal masuk tipi waktu ikutan audisi pelawak yang dulu bikin ngetop si Sule dkk. Indikator suksesnya? Tak pernah ada pertanyaan di kelas. Padahal saya tidak pernah yakin soal itu. 

Tak bertanya tidak sama dengan mengerti. Bisa jadi kebalikannya, mereka nggak bertanya karena nggak tahu apa yang saya omongkan sehingga nggak tahu apa yang harus ditanyakan!

Ya sudah, saya kembali belajar. Kali ini belajar membuat video dan Youtube. Seorang mantan mahasiswa yang sudah lulus saya panggil. Dua hari satu malam ngebut suting. 

Saya beraksi di depan kamera seadanya, menerangkan 20 teori komunikasi dasar. Biar tak monoton, mantan mahasiswa saya yang bermarga Butarbutar itu menyarankan saya menyediakan 20 pakaian berbeda. Celaka lah, wong kemeja saya hanya tujuh. Untungnya saya adalah kolektor jersey sepakbola. 

Lebih dari 20 jersey Liverpool saya punya. Alhamdulillah, original semua. Yang kawe atau GO cuma dipake buat harian. Tapi itu juga diprotes si Butar, begitu saya memanggilnya. 

Dia khawatir mahasiswa penggemar MU, City, Chelsea atau 'musuh-musuh' Liverpool lain ogah menonton.  Untunglah saya juga punya jersey-jersey klub lain, dari liga Inggris, Spanyol, Italia, Amerika Latin, MLS, dan lain-lain sampai liga Indonesia. Dipilihlah yang mewakili satu-satu, yang Liga Indonesia dicoret, juga biar aman.

Jadilah saya Youtuber dadakan. Aku dibuatkan. Video dieditkan --dan saya kembali belajar mengedit video untuk menggantikan peran si Butar yang hanya bisa membantu lima episode, karena dia harus kembali kerja. Aman. Video diunggah ke Youtube, dibagikan ke Google Classroom. Meski subscriber tak banyak karena saya memang tak mewajibkannya, menjelang UTS dan UAS, grafik kunjungan akun saya melonjak. Meski habis itu ya sepi lagi.

Akhir semester saya bikin survey acak. Hasilnya mengatakan, materi tulis di Google Classroom dengan tambahan video penjelasan di Youtube cukup membantu memahami materi. Catatan yang sama; masih terasa garing. Katanya saya terlalu serius di Youtube. Lah, memangnya saya harus membawakan materi dengan gaya stand up comedy? Kalau ngelantur kan mabok juga bikinnya, lebih dari sepuluh menit sudah berat mengunggahnya. Kasian juga yang menontonnya (kalau menonton penuh).

Semester berikutnya, kepala tambah pening. Mata kuliah yang harus diajarkan adalah Metode Penelitian Kualitatif! Itu bukan jenis makul yang gampang dicerna. Di kelas sekalipun, interaktif, masih banyak yang kesulitan. Apalagi daring! Seorang mahasiswa menyarankan saya menggunakan model podcast. Masih menggunakan Google Classroom sebagai ruang kelasnya, tapi saya merekam kuliah dalam bentuk audio dan membagikannya kemudian. Tapi saya yang garing, masak cuap-cuap sendiri kayak penyiar radio? Penyiar radio mending, ada yang dengerin. Lah saya, tengah malem ngomong sendiri.

Akhirnya nemu ide lagi, saya inget zaman Pak Harto ada yang namanya Kelompencapir, Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan (kalau nggak salah). Intinya kayak Focus Group Discussion (FGD). Saya panggil mahasiswa yang tinggal di Jogja dan tak mudik untuk ngopi. Saya sampaikan materi, tanya jawab, diskusi, dan seterusnya, dan semuanya direkam secara audio. Visualnya tidak untuk menghindari kebosanan dan juga besarnya file video. Lumayan. Materi bisa sampai, saya bisa ngelantur tanpa takut file terlalu besar, dan yang lumayan lagi, ada yang tertawa beneran kalo lucu --nggak kayak sinetron komedi yang ketawanya rekaman dan muncul setiap saat. Habis itu, nggak perlu proses editing. Tayang seadanya, termasuk suara Mbak pelayan yang bertanya, mau nambah atau enggak, karena kami terlalu lama ngobrol tapi pesanan cuma kopi dan pisang goreng doang.

Cukupkah model-model pembelajaran seperti itu jika semester depan kuliah masih harus daring? Rasanya tidak. Masih banyak tantangan. Masih banyak celah yang bisa membuat kuliah daring menjadi garing. Saya membayangkan, kalau saja semester depan saya mengampu mata kuliah fotografi, desain grafis, atau mata kuliah yang berbau praktik lainnya, cara-cara di atas belum tentu ampuh juga.  Saya juga membayangkan para kolega saya yang sudah sepuh yang menghubungkan laptop dengan proyektor juga masih gagap, betapa beratnya tantangan mereka. Saya saja yang masih (merasa) cukup muda dan (merasa) kenal dengan teknologi, ternyata masih tergagap-gagap. Teknologi berlari terus, sementara saya banyak berkutat dengan materi dan teori. Menyeimbangkan keduanya jelas tantangan berat.

Tapi mungkin corona ini bisa jadi berkah. Setidaknya bagi pengajar seperti saya yang sudah nyaman dengan sistem belajar lama, bikin PPT seperlunya, cuap-cuap dan ngelantur, waktu habis pulang. Situasi ini memaksa saya kembali belajar untuk menjadi pengajar yang siap dalam situasi apapun. Toh, kalaupun kelak covid menyingkir. Pengajaran jarak-jauh akan pelan-pelan menggantikan atau setidaknya bersisian dengan pengajaran tatap muka. Saat itu saya membayangkan, bisa mengajar di Harvard, Sorbone, atau Al Azhar tanpa harus repot mengurus visa atau paspor, tapi honor terus menggelontor. Tapi jelas saya harus kembali belajar bahasa Inggris, Perancis, Arab, dan lainnya. Kan keren kalau bisa ngelantur pake bahasa-bahasa itu dan mahasiswanya bisa tertawa --tapi bukan mentertawakan kebodohan saya ya.

Mimpinya kejauhan? Ah, kenapa harus protes, namanya juga mimpi. Masak iya, untuk bermimpi saja saya harus kembali belajar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun