Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (31) Sampai Jumpa Lagi, Nyonya...

27 Desember 2020   09:11 Diperbarui: 28 Desember 2020   09:20 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

"Narikala..." jawab Soso.

"Ya sudah, ayo naik, katanya jauh kalau jalan..." kata Natasha.

Soso melongo, tapi ia buru-buru membantu Natasha naik ke atas kereta. Mereka pun duduk bersisian. Setelah diberi tahu tujuannya, kusir mengarahkan keretanya ke Selatan, menyeberangi Sungai Kura, dan sampailah mereka di sebuah perbukitan. Kereta kuda itu berhenti, tak mungkin bisa mengantar mereka naik. Natasha berpesan agar kusir itu menunggunya. Sementara mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak hingga akhirnya sampai di sebuah benteng yang menjulang tinggi; Benteng Narikala.

Benteng Narikala adalah sebuah benteng kuno yang sudah ada sejak abad ke-4, tapi bangunan indahnya yang sekarang dibangun pada masa Khalifah Usman bin Affan ketika Tiflis menjadi batas paling utara Negeri Sam. Karena itu bentuk bangunannya tampak sekali bergaya Sasanian.[1] Jauh sebelum itu, orang Tiflis mengenalnya dengan sebutan Shuris-Tsikhe yang berarti 'Benteng Kepiluan' gara-gara sejarah panjang benteng yang penuh dengan pertumpahan darah itu. Sedangkan nama Narikala sendiri mulai dikenal ketika Bangsa Mongol menguasainya dan memberinya nama Narin Qala yang berarti 'benteng kecil.' Sayangnya, gempa besar tahun 1827 menghancurkan beberapa bagian dari benteng itu. 

Soso dan Natasha mengambil tempat di sebuah pojok benteng yang menghadap ke utara. Dari situ, Tiflis terlihat dengan jelas, bahkan Lapangan Yerevan pun terlihat meski nampak kecil. Kalau saja mereka mau berjalan ke bagian belakang benteng, akan terlihat taman dan kawasan air terjun yang sayangnya sudah tidak terawat. Keduanya duduk bersisian di tepi benteng, kalau tidak berhati-hati, bisa saja mereka terjatuh setingga 20 meter, lalu berguling di lahan curam; tamat. Tapi siapa yang tidak tergoda untuk duduk-duduk di tempat indah itu, apalagi buat Soso, di sebelahnya, ada sosok yang jauh lebih indah daripada pemandangan Tiflis!

"Kamu pernah ke sini?" tanya Natasha.

Soso mengangguk, "Sekali..." dan ia tidak melanjutkannya 'dengan siapa' karena ia memang pernah ke situ bersama Irena. "Dimana kamu kenal si Lado?" tanya Soso. Itu pertanyaan yang dari kemarin ingin ditanyakannya.

"Lado dan kawan-kawannya, Noe dan Silva, pernah datang ke Batumi. Mereka menemui para buruh dan memberi penyadaran tentang hak-haknya. Aku bertemu dengan mereka di sana, ketika mereka datang ke pabrik pengolahan ikan milik keluargaku..." jawab Natasha.

"Kamu punya pabrik pengolahan ikan di Batumi?" tanya Soso.

Natasha mengangguk, "Bukan punyaku sendiri, itu punya keluarga. Aku hanya mengelolanya. Kenapa?"

"Kamu membiarkan Lado cs menemui para pekerjamu dan menyadarkan hak-hak mereka, dan kamu, pemiliknya, mengizinkan, bahkan kemudian berteman dengan mereka. Kok aneh?" tanya Soso.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun