Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Banyak Tahu dan Tahu Banyak

16 Desember 2020   14:02 Diperbarui: 16 Desember 2020   14:13 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zaman masih menjadi reporter kroco dan disuruh liputan segala macam berita, dari kriminal, ekonomi, politik, hiburan, olahraga dan sebagainya, saya sering mengeluh pada pimred media tempat saya 'bekerja' sekaligus belajar itu. Maklum saja, media kecil, sebuah tabloid mingguan, jadi untuk ketemu orang nomor satu di keredaksian tidaklah terlalu sulit. Toh kadang-kadang dia juga ikutan reportase dan saya menemaninya. Keluhan saya, bukan soal gaji yang kecil dan kadang telat dibayarkan. Tapi soal bidang liputan yang beragam itu. Saya maunya ngepos di satu bidang, tentu saja bidang yang saya sukai, agar saya lebih enjoy melakukan liputan dan lebih mudah membuat laporannya.

Pimred, yang juga dosen saya --karena saat itu saya belum lulus kuliah---menolak. "Kau di situ dulu biar tahu banyak. Nanti baru kau belajar untuk banyak tahu..." katanya. Ia tidak menjelaskan apa bedanya tahu banyak dan banyak tahu itu. Tapi lama-lama paham juga. Itu juga setelah saya berpindah-pindah media, dari cetak, radio, hingga televisi dan belakangan media online.

Di kalangan jurnalis ternyata ada dua kelompok (kalau tak enak disebut 'jenis') wartawan, yaitu mereka yang banyak tahu, dan mereka yang tahu banyak. Jurnalis yang banyak tahu biasanya punya perjalanan panjang berpindah dari satu bidang liputan ke bidang liputan lain (kadang juga dari satu media ke media lainnya). Dari ekonomi, hukum, politik, hiburan, dan sebagainya. Ngobrol sama mereka sangat mengasyikan, pengalamannya banyak, pengetahuannya luas. Sebut atau tanya apa saja, mereka pasti bisa memberi jawaban. Sebut nama politisi, pengacara, pejabat, hingga artis dan penjahat, mereka kenal. Satu kelompok lainnya adalah para jurnalis yang tidak tahu banyak, tapi banyak tahu. 

Bedanya? Jurnalis yang tahu banyak memiliki pengetahuan --karena pengalaman---yang luas, lintas bidang. Ngomong politik oke, ngomong ekonomi sip, ngomong hukum nyambung, ngomong hiburan mantap. Tapi coba tanyakan pada mereka lebih jauh soal resesi misalnya, atau soal pasal-pasal hukum... jawabannya "Ya nggak ngerti lah aku soal itunya..."

Nah, itu bedanya dengan jurnalis yang tahu banyak. Misalnya, ditanya soal politik dia hanya tahu sedikit, soal ekonomi dijawab seadanya. Tapi kalau ditanya soal hukum, pasal-pasal pun dia hafal di luar kepala.

Dua kelompok jurnalis ini juga menghasilkan karya yang berbeda. Jurnalis tahu banyak, kaya dengan wawasan, nulis bola saja bisa dihubungkan dengan politik, nulis hiburan nyambung dengan ekonomi, dan seterusnya. Tapi tengok karya jurnalis tahu banyak, tulisannya fokus, tidak melebar kemana-mana, tapi mendalam dan bergizi.

Dari situlah saya mulai paham kenapa guru saya menyuruh untuk banyak tahu dulu. Dengan banyak tahu, kita membuka wawasan seluas-luasnya, tahu bahwa dunia tak selebar daun kelor, dan masalah hidup bukan seperti artis yang minta cerai dan rebut harta gono-gini saja. Apalagi latar pendidikan saya adalah ilmu komunikasi, ilmu tanpa bidang, ilmu perantara saja. Lulusan komunikasi baru netas mau debat soal resesi dengan anak ekonomi? Atau mau debat pasal-pasal KUHP sama anak hukum? Ya nggak mungkin lah...

Orang-orang dengan latar pendidikan spesifik seperti ekonomi dan hukum yang kemudian menjadi jurnalis, punya modal untuk menjadi jurnalis tahu banyak, terutama jika ditempatkan pada desk yang sesuai. Diasah kemampuan nulisnya sedikit, hasilnya mengkilap.

Terus mana yang lebih hebat? Tentu saja dua-duanya hebat. Akan lebih hebat lagi kalau tahu banyak dan banyak tahu. Tapi itu tak mungkin. Orang sehebat Karni Ilyas atau Goenawan Muhammad yang jelas banyak tahu, tidak semua bidang yang mereka tahu itu mereka tahu banyak, apalagi sebanyak-banyaknya. Ajak saja mereka ngobrolin tahu (yang ini makanan lah), pasti kalah sama pengusaha tahu yang mungkin tidak tahu banyak (bidang lain). 

Menjadi jurnalis --juga penulis di Kompasiana ini---yang banyak tahu dan tahu banyak, dua-duanya sama-sama tak mengenal batas. Batasnya ya sepanjang pengetahuan manusia digabungkan, itupun tidak berhenti karena terus bertambah dengan kecepatan yang sulit diimbangi. Ibarat beli handphone, belum juga kita kuasai semua fiturnya, dalam perjalanan pulang dari toko, di pabriknya sudah dikeluarkan model baru dengan fitur tambahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun