Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (20) Si Tua Ninika

16 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 17 Desember 2020   06:07 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP By Alip Yog Kunandar

Soso mengabaikan saran lelaki itu. Ia bergabung dengan Peta dan Gigi naik ke atas pohon. Dari situ, tiang gantungan terlihat jelas, meski orang yang ada di dekat gantungan itu tak bisa dikenali wajahnya. Mendekati waktu eksekusi, lemparan-lemparan batu makin ramai ke arah tentara Tsar yang membentengi tiang gantungan.

Pendeta sudah mendekati tiga orang terpidana itu, mungkin melakukan pemberkatan atau memimpin doa. Setelah itu, seorang polisi Gori mendekat. Tak lama, seorang terpidana diberi air, yang satu lagi diberi rokok. Hanya yang ditengah yang tak diberi apa-apa. Mungkin itu permintaan terakhir mereka, entahlah. Dan berikutnya, adegan yang paling ditunggu dan paling menyeramkan, seorang dengan jubah merah dan bertopeng, mendekat, menunggu aba-aba,  lalu menendang bangku pijakan narapidana pertama. Tubuhnya mengayun, menggeliat, lalu diam. Setelah itu disusul oleh narapidana yang kedua di sisi kanan. Begitu pula. Giliran yang ketiga, yang di tengah. Lemparan orang makin banyak, kali ini mengarah pada si algojo. Algojo menendang bangku, tapi tali yang melingkar di leher lelaki dengan badan paling besar itu terputus. Si Narapidana tersungkur ke lantai panggung. Dua polisi mengangkatnya, yang lainnya memasang tali pengganti. Eksekusi kedua dilakukan. Dan kali ini sukses.

Soso, Gigi, dan Peta tak ada yang saling berbicara, bahkan sampai mereka pulang ke rumahnya masing-masing.

*****

Soso memutuskan untuk kembali ke rumah, tapi ia melihat Si Tua Ninika berbalik arah. Soso menunggunya mendekat.

“Ninika, sudah selesai panennya?” tanya Soso.

Lelaki itu mendelik, “Matamu picek! Apanya yang dipanen, kau lihat banyak salju begini. Musim tanam saja belum dimulai!”

Soso tertawa dalam hati. “Tuh kan, beneran, lama-lama aku ikutan edan…”

*****

BERSAMBUNG: (21) Bonia, Oh, Bonia...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun