Seminggu ini Kabayan bepergian kemana-mana untuk beberapa urusan. Hari pertama meninggalkan kampung, Kabayan pergi ke Ciamis, menengok sodaranya yang sakit dan sedang dirawat di RSUD Ciamis yang masih berstatus kelas C. Entahlah, bagaimana urusan perkelasan itu, tapi barangkali dengan kelasnya, mestinya bukan yang paling hebat. Karena ukuran hebat biasa ditunjukkan dengan kelas A atau B.
Mang Duki, keluarganya yang mengurusi istrinya yang dirawat menyambut Kabayan dengan bingung. Bingung dengan pelayanan rumahsakit yang menurutnya menyebalkan. Karena kamar yang lebih baik penuh, istrinya terpaksa masuk ruangan rame-rame, kamar kelas paling bawah. Nah, di situlah masalah yang menjengkelkan itu terjadi. Istrinya yang setengah sadar setengah tidak karena penyakitnya, tentu saja tidak mudah mengkonsumsi obat yang disediakan. Dan, apa komentar perawatnya? “Ya pasiennya harus punya kemauan untuk sembuh dong, masak minum obat saja susah!”kata Sang Perawat.
Mang Duki yang pensiunan PNS TNI jelas gondok. Perawat itu ditegurnya dengan halus, tapi lagi-lagi ia menjawab dengan pongah, “Ya kalau pelayanannya mau baik, bapak masuk aja ke kelas VIP atau pindah ke rumahsakit swasta yang mahal!” jawabnya. Mang Duki pun tersinggung. Ia merasa masuk ruang kelas bawah bukan karena ia tidak mampu, tapi karena ruangan yang tidak tersedia. Karena untuk pindah rumahsakit nggak memungkinkan, ia memutuskan untuk pindah ke kelas yang lebih baik, tapi itu juga persoalan karena konon ruangannya penuh, harus antri untuk mendapatkannya. Lah, kalau harus menunggu, berarti ia harus bersabar menghadapi perawat-perawat model yang dihadapinya tadi itu.
Saat itulah, datang seorang pegawai, nampaknya bagian cleaning service yang menawarinya bantuan untuk menguruskan kepindahan istrinya ke ruangan kelas I atau VIP. “Kalau di sini mah pelayanannya memang begitu Pa, jadi mending pindah saja...” katanya. “Tapi kan katanya ruangannya pada penuh...” kata Mang Duki. “Iya, sekarang memang penuh, tapi setiap hari kan ada yang keluar, nah kalau bapa hanya menunggu, ruangan itu akan segera dikasihkan kepada orang lain. Saya bisa menguruskan supaya ketika ada ruangan kosong, bapa bisa langsung masuk...” katanya lagi.
Mang Duki pun setuju untuk pindah ruangan dengan bantuan orang tadi. Dan, tidak harus menunggu lama sejak ditemui, siang harinya sudah datang kabar, ada kamar kosong yang bisa diempati, kelas satu. Tanpa harus melalui urusan yang rumit lagi, Mang Duki pun segera memindahkan istrinya.
“Heran, kalau ngurus sendiri, malah nggak dapet-dapet. Ini, beberapa menit saja bisa langsung dapat!” kata Mang Duki pada Kabayan. “Ngasih berapa sama yang ngurus kamarnya?” tanya Kabayan. Mang Duki tersenyum, “Ngasihnya sih nggak seberapa, cuma yang saya heran, kok bisa ya...”
Kabayan ikutan tersenyum, “Yaa bisa lah Mang. Orang yang bantuin itu kan tau seluk-beluk di sini, jadi lebih gampang...” katanya. “Bukan itu saja yang bikin saya heran Yan. Kok selalu saja harus ada pengeluaran tambahan di luar ruangan dan obat. Padahal, ini kan rumahsakit. Orang yang datang ke sini kan orang yang lagi ditimpa kesusahan...” kata Mang Duki lagi.
Kabayan tersenyum lagi, “Yaah, namanya juga orang usaha Mang. Seperti tukang gali kubur, dapet duitnya kan dari orang yang meninggal, jadi wajar kalo dia berharap ada orang yang meninggal. Dokter sama perawat juga pasti bingung kalo nggak ada orang yang sakit. Jadi ya dia juga sama, memanpaatkan orang yang bingung nyari kamar...” kata Kabayan.
“Ya begitulah Yan, hidup memang penuh dengan keseimbangan. Di saat orang yang susah, pasti ada pihak lain yang senang. Saat orang senang, ada pihak lain yang mungkin disusahkan...” kata Mang Duki. “Tapi kalo dipikir-pikir, orang Indonesia itu sebetulnya kreatip, bisa memanpaatkan peluang apa saja buat nyari orderan, bahkan jadi usaha...”
Kabayan nyengir, “Ngomong-ngomong, pelayanan di kelas yang ini bagaimana kalo dibandingkan dengan yang kemarin?” tanyanya. Mang Duki tersenyum pahit, “Di sini sih pelayanannya lumayan, mungkin karena kita dianggap orang kaya. Tapi gara-gara dianggap kaya, semuanya diduitkan, ada yang bersihin kamar, nungguin terus sampe diberi tips. Yang nyariin kursi roda juga baru bergerak setelah ‘diongkosi.’ Intinya mah, dianggap miskin susah, dianggap kaya juga sama susahnya!” kata Mang Duki.
Kabayan mesem, “Ya susah kalau kaya-nya cuma anggapan, bukan kaya beneran!” katanya. Mang Duki garuk-garuk kepala.
Ciamis-Jogja, 20 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H