Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tukang Gigi, Masihkah Bergigi?

17 Maret 2012   15:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:54 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi-pagi sekali, Kabayan sudah didatangi Abah Ontohod, ayah Nyi Iteung istrinya, alias mertuanya tercinta. Abah mengaku semalem mengalami KLB, Kejadian Luar Biasa. Waktu makan bubuy sampeu (singkong yang dimasak dengan cara dimasukkan ke dalam abu panas di tungku), gigi palsunya bagian atas mendadak mencelat karena tidak berhasil menaklukkan bubuy sampeu dengan sempurna. Celakanya, gigi palsunya itu mencelat ke dalam tungku tempat Abah tadi memasak singkongnya. Gigi palsu satu set itu langsung hancur lebur tanpa sisa. Nah, Abah yang sejak semalem nggak lagi punya gigi, terpaksa meminta menantunya itu untuk mengantarnya ke kota, menemui tukang gigi langganannya.

Soal nganternya, Kabayan nggak terlalu pusing. Yang membuat Kabayan deg-degan adalah, gelagat Abah yang naga-naganya bakal menyerahkan segala urusan pembiayaan giginya itu kepada Kabayan. “Mana panen masih minggu depan, mana si Ahyar belum bayar utang, mau jual si Pelung juga sayang...” kata Abah. Intinya, Kabayan harus bersiap-siap untuk merogoh kocek untuk urusan gigi mertuanya itu.

Untungnya Abah memintanya ke tukang gigi. Bukan ke dokter gigi. Yaah, bandingkan sendiri lah berapa kira-kira perbandingan ongkos antara menemui dokter dengan tukang gigi. Ibarat menemui dukun beranak saat mau melahirkan atau menemui dokter. Jelas lah bedanya, apalagi dokter sekarang –dengar-dengar-- hobi banget menawarkan operasi sesar yang tentu saja biayanya lebih gemuk.

Yaah, karena yang datang mertua, terpaksa Kabayan menurutinya. Daripada dipecat jadi menantu, kan urusannya lebih gawat. Maka berangkatlah Kabayan menemui Pa Uus, tukang gigi langganan Abah yang beroperasi di kota kecamatan. Saat didatangi, Pa Uus sedang nongkrong menunggu pasien. Meski datangya agak siang, ternyata Abah adalah pasien pertama dan satu-satunya yang mendatanginya hari itu. “Sudah beberapa hari ini saya sepi pasien Jang...” kata Pa Uus pada Kabayan yang menunggui Abah. Abahnya sendiri jelas nggak bisa diajak ngomong dengan posisi mulut nganga seperti itu.

“Memangnya kenapa bisa sepi Pa?” tanya Kabayan. Pa Uus melirik “Ada peraturan baru dari menteri kesehatan yang akan membatasi ijin praktek tukang gigi. Kita para pekerja pergigian partikelir ini hanya diperbolehkan untuk jadi pemasang gigi palsu –bahasa kerennya dental protesa, saja. Sisanya nggak boleh, nyabut gigi, ngasih obat, pasang behel, dan lain-lain. Pasang gigi palsu pun hanya boleh yang kayak Abah ini, yang dipasang di bawah akar gigi. Pokoknya yang ringan-ringan saja. Yang berat-berat harus diserahkan ke dokter gigi!” jawabPa Uus yang mengaku sejak bujangan sampe punya anak bujang hanya punya satu profesi, tukang gigi itu. “Padahal ngerjain yang lain-lain itu yang penghasilannya lumayan. Kalau kita sih, apa yang diminta pasien ya kita lakukan selama kita bisa dan kita mampu...” lanjutnya.

“Memangnya kenapa nggak boleh yang lain-lain itu?” tanya Kabayan. Pa Uus nyengir pait, “Katanya sih karena kita nggak punya pendidikan, dan menurut undang-undang, yang melakukan praktek itu hanya diperbolehkan bagi dokter gigi yang sekolah. Padahal Ujang kan tau sendiri, coba si Abah bawa ke dokter gigi, pasti pasiennya bakal mendadak sakit gigi karena mendengar biayanya!”

“Mungkin peraturannya dibuat supaya nggak ada korban salah praktek Pa...” komentar Kabayan. Pa Uus mengangguk, “Bisa jadi. Kalo itu saya juga paham. Banyak temen sepropesi saya yang terlalu berani, melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Tapi saya kok melihat peraturan baru itu seolah ingin menghilangkan para tukang gigi kayak saya ini dari muka bumi. Bayangkan, izin bagi tukang gigi baru tidak akan dikeluarkan lagi. Artinya, saya memang nggak dilarang karena sudah punya izin, tapi anak saya yang mau melanjutkan propesi ini nggak bakalan dapat izin, jadi tinggal nunggu para tukang gigi sekarang mati, sudah, propesi tukang gigi akan ikutan mati...” kata Pa Uus.

“Kok jadi kayak perang antara dokter gigi dengan tukang gigi...” komentar Kabayan. Pa Uus nyengir lagi, “Saya juga merasanya begitu... mentang-mentang lebih banyak yang datang ke tukang gigi ketimbang ke dokter gigi, kita yang dihabisi...” katanya.

“Terus menurut Bapa, bagusnya gimana?” tanya Kabayan. “Yaah soal pembatasan saya setuju, batasi mana yang boleh dan yang nggak boleh dilakukan tukang gigi. Dengan pebatasan itu, kita tau, mana yang melanggar dan yang enggak. Tapi jangan sampe melarang apalagi mau menghabisi propesi kita, karena rakyat masih banyak yang butuh, dan kita juga masih butuh pekerjaan ini buat nyari makan...”

Kabayan diam. Mencoba merenungi curhatan dan jeritan Pa Uus yang mungkin mewakili puluhan ribu tukang gigi yang ada di negeri ini. “Kalau pemerintah mau bijak, mestinya kita disamakan dengan dukun beranak. Dukun beranak itu kan tidak dibasmi, karena masyarakat masih butuh, tapi mereka dididik supaya bisa melakukan pekerjaannya dengan lebih baik. Satu lagi, kalau mau menghapuskan propesi ini, masyarakat harus diberi pilihan, misalnya menurunkan tarif dokter gigi supaya lebih terjangkau. Jangan membasmi tukang gigi tapi masyarakat nggak disodorkan  pilihan berobat yang murah!” tambah Pa Uus sambil melanjutkan pekerjaannya memasang gigi palsu buat Abah.

Tak berapa lama, Abah pun sudah bisa tersenyum lagi. Kabayan juga masih bisa tersenyum karena ongkos yang diminta Pa Uus masih tersedia di kantongnya. Tapi entahlah dengan Pa Uus, apakah ia masih bisa tersenyum setelah Abah pulang, dan hari-hari berikutnya yang makin tidak jelas.

Bandung-Jogja, 17 Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun