Setelah berdamai dengan Nyi Iteung, pagi harinya Kabayan sudah bisa tenang. Kabayan tak perlu lagi bingung menyediakan sarapan, secangkir kopi sudah tersedia tanpa harus menyeduhnya sendiri. Bahkan pagi itu, tumben-tumbennya Nyi Iteung bertanya, “Kang mau sarapan apa?” tanyanya dengan mesra. Biasanya sih, sarapan memang disediakan, tapi seadanya dan nggak pake acara nanya dulu. “Memangnyah kalau Akang minta, kamu mau nyediain?” tanya Kabayan, sok manja. Iteung mesem, “Ya kalau ada bahannya, tapi sekarang yang ada cuma singkong sama mi bungkus (mi instan maksudnya). Akang mau yang mana?”
Kabayan garuk-garuk kepala, kirain beneran lengkap, ternyata pilihannya hanya dua. “Singkong sajah Teung, males makan mi mah...” jawab Kabayan. “Ini mi bungkus rasa baru Kang, rasa gule kambing, kemarin dapat pulang sambung (bingkisan yang diberikan orang hajatan bagi para penyumbang). Akang kan suka gule kambing...” kata Nyi Iteung lagi.
“Males ah, mi bungkus mah nipu semua!” kata Kabayan. “Nipu gimana?” Iteung balik nanya. “Ya iyalah nipu, coba kamu lihat bungkusnyah.. mi instan rasa gule kambing, gambar di bungkusnya mi pake potongan daging kambing, ada jeruk nipisnyah, ada acar bonteng (timun) sama bawang. Padahal, setelah dibuka, yang ada cuma mi sama bumbunya sajah, paling bagus ditambahi bawang goreng kecil-kecil!” jawab Kabayan sambil heuay (menguap).
“Yeeeh, namanya juga bungkus, kalau ditambahi sama gule kambing beneran harganya nggak bakalan cukup dua rebu perak atuh Kang... jangan aneh-aneh!” kata Iteung sebel. “Kalau nggak mau ngasih gule kambingnya ya jangan pake gambar mie yang ada tambahan gulenya dong, itu namanya nipu. Sudah gambarnya mie sajah!” kata Kabayan ngotot. “Namanya juga iklan Kang, pan supaya orang tertarik...” jawab Iteung yang mencoba untuk meladeni kelakuan suaminya yang sering aneh-aneh itu. “Iya, kita tertarik sama gambar di bungkusnya, terus beli, dikiranya sama dengan yang ada di bungkus, padahal nggak ada apa-apanya. Kan nipu namanya!” Kabayan keukeuh.
“Jadi nggak mau nih makan mi bungkus?” tanya Iteung. “Kalau nggak mau, saya sumbangkan saja buat mahasiswa yang KKN, lumayan buat sarapan pagi mereka!” sambung Nyi Iteung. “Sumbangin sajah lah, heran sayah mah sama mahasiswa-mahasiswa itu, sarapan pake mi bungkus yang sudah jelas-jelas nipu. Harusnya mereka kan nyadar kalau ditipu sama yang buat mi bungkus. Lagian mahasiswa itu hobi pisan ya sarapan mi bungkus, gijinya saja nggak ada, mau pinter gimana kalau sarapannya itu-itu terus. Mendingan sarapan singkong rebus, bebas pengawet dan bebas pewarna!” cerocos Kabayan.
“Yaah namanya mahasiswa Kang, mereka kan harus ngirit pengeluaran...” timpal Nyi Iteung. Kabayan manyun, “Irit mana beli singkong sama mi bungkus? Mi sebungkus dua rebu, singkong duarebu dapet sekilo!” kata Kabayan lagi. Iteung mulai habis kesabaran, “Ya sudah, saya sumbangin aja nanti siang buat mahasiswa itu!” katanya.
Tapi tiba-tiba Kabayan memotong, “Eeh jangan, jangan disumbangin!” kata Kabayan. Iteung melirik, “Kenapa, mau juga akhirnya?” tanyanya. Kabayan menggeleng, “Kalau kita sumbangin sama orang, itu artinya kita sama nipunya dengan pabrik mi bungkus itu. Lagian nyumbang itu yang bener, masak sedikit-sedikit nyumbang mi bungkus. Ada orang kebanjiran disumbang mi bungkus, pengungsi sunami dikirimi mi bungkus, ada orang kelaparan kayak di Papua dikirimi mi bungkus juga. Memangnya mi bungkus itu makanan pokok kita!” kata Kabayan.
Nyi Iteung jadi ikutan garuk-garuk kepala meniru kelakuan suaminya kalau lagi bingung dan jengkel. “Terus mi ini buat apa?” tanyanya setengah berteriak.
“Ya sudah, dimasak sajah daripada mubajir!” jawab Kabayan santai.
Kalau nggak inget mereka baru gencatan senjata, mau rasanya Nyi Iteung melemparkan bungkusan mi instan itu ke wajah suaminya!
Jogja, 27 Pebruari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H