Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dubbing Film Bikin Garing

9 September 2014   07:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buat para penggemar Eddie Murphy, pasti nggak bakalan pangling dengan tampang dan suaranya, meski bersembunyi dalam tokoh keledai dalam film animasi Shrek 2 dan 3. Karakter Murphy yang khas, kocak, rada-rada sok pinter dalam film-film sebelumnya seperti Beverly Hills Cop, The Nutty Professor, atau Dr Dolittle, masih mudah dikenali karena gerak-gerik si Donkey memang sengaja disesuaikan dengan karakter Murphy oleh sang sutradara Andrew Adamson dkk. Jika lebih jeli, karakter Shrek di film pertama dan sekuelnya, justru sedikit berubah, karena Shrek ‘pertama’ pada mulanya diisi suaranya oleh Chris Farley yang tentu saja menyesuaikan dengan karakternya. Sayangnya, saat proyek nyaris selesai, Farley meninggal, dan ia digantikan oleh Mike Myers (ngetop dengan tokoh di film Austins Powers) yang memulai mengisi suaranya dari awal lagi meski Farley sudah mengisinya hampir 90 persen lebih. Wajar jika Shrek kurang terasa Myers-nya, dan baru di sekuelnya karakter Myers lebih terasa. Selain Murphy, ketengilan Will Smith juga terasa ketika dia mengisi suara Oscar dalam film Shark Tale.

Sineas-sineas Hollywood, harus diacungi jempol dalam hal detail penggarapan film animasi. Setiap karakter, bukan hanya kuat dalam visualnya, tapi juga diperkuat ‘rohnya’ dengan para pengisi suara yang bukan hanya sesuai, tetapi disesuaikan. Melirik contoh Murphy dan Smith tadi, karakter visualnya juga disesuaikan dengan karakter si pengisi suara, bukan sebaliknya. Hasilnya, kita bukan saja bisa menikmati kekuatan karakter itu, tapi juga bisa menebak kira-kira seperti apa pengisi suara aslinya. Misalnya saja, karakter tokoh kartun yang gemuk, biasanya akan diisi oleh pengisi suara yang juga bertubuh subur, dan seterusnya, saking melekatnya antara suara dengan visual. Meski sebetulnya tak selalu begitu. Tokoh Gloria si kuda nil dalam Madagascar, diperankan oleh Jada Pinked Smith yang justru langsing, meski karakter wajah Gloria dan Jada nyaris sama.

Pemaduan yang cermat dalam visual dan audio itu, seringkali luput dari perhatian kita sebagai penonton, termasuk saya sendiri.

Tapi ceritanya berbeda, ketika film yang telah begitu sempurna memadukan visual dengan audio itu tiba-tiba dirusak oleh dubbing (sulihsuara) serampangan yang dilakukan oleh stasiun televisi kita ketika menayangkan film-film tersebut untuk konsumsi layar kaca. Dubbing tersebut, celakanya, bukan hanya dilakukan pada film animasi saja, tapi juga diterapkan pada film-film dengan tokoh manusia asli. Dan, itu, bukan saja membuat karakter tokohnya menjadi hilang, lebih dari itu, buat saya, membuat film itu menjadi garing dan kadang konyol!

Bayangkan, tokoh berbadan gempal seperti Arnold Scwarzenegger diisi suaranya oleh dubber yang cenderung bersuara tipis alas cempreng padahal Arnold bukan saja tebal badannya, tapi juga tebal suaranya. Jaka sembung bawa golok banget! Atau juga, suara tokoh anak yang seringkali diisi oleh suara perempuan dewasa yang memaksakan diri...

Okelah, kalau itu untuk film konsumsi anak-anak yang masih kesulitan membaca teks terjemahan. Tapi untuk film dewasa? No.. nggak banget. Dulu sih ada aturan film berbahasa asing non Inggris harus disulihsuarakan, makanya ‘korbannya’ adalah film-film atau sinema India, Latin, Jepang, Korea, Mandarin, bahkan Prancis dan Italia. Tapi setau saya, aturan itu tak berlaku lagi. Justru pada saat itulah, film berbahasa Inggris pun malah ramai memakai sulih suara yang membuatnya –tadi—terasa menjadi sangat konyol...

Kalaupun aturan soal itu masih ada, saya merasa aturan itu tetaplah konyol. Apa sih salahnya kita menonton film berbahasa non-Inggris? Bahasa Spanyol, Mandarin, Korea, Prancis, dan lain-lain perlu juga kita tahu, apalagi banyak dari kita yang sengaja belajar bahasa-bahasa asing itu. Bukankah belajar bahasa melalui media film lumayan efektif (selain tentu saja pergi dan tinggal di negara yang bersangkutan)? Tengok saja, film kartun Marsha dan si beruang yang berbahasa Russia itu, selain filmnya enak ditonton, bahasa yang digunakan kan juga asyik didengar, meski kita nggak faham. Lumayan kan, sedikit-sedikit kita bisa menangkap kosa kata Russia, bahasa yang selama ini sangat asing buat kita...

Sekali lagi, jika sulihsuara itu buat konsumsi anak-anak, saya masih bisa terima. Tapi tengok di beberapa stasiun televisi kita akhir-akhir ini, bahkan film action yang bukan untuk konsumsi anak-anak pun harus disulihsuarakan.. bener-bener aneh dan konyol, karena film itu jadi kehilangan karakternya, bahkan berubah, dari serius menjadi kocak kalau nggak mau dibilang konyol!

Entahlah, alasan sulihsuara itu apa. Saya tidak yakin jika sulihsuara itu lebih murah ketimbang membuat teks terjemahan. Kalau alasannya adalah untuk menambah lapangan kerja, okelah, saya bisa terima. Tapi pliis... kalau memang alasannya adalah soal aturan dan niat baik untuk menambah lapangan kerja sebagai dubber, mbok ya, serius sedikit ngerjainnya... masak –misalnya—Arnold Schwarzenegger atau Sylvester Stallone diisi suaranya oleh pasangan Kadir dan Doyok atau Sule dan Azis Gagap.... Tolong dong diingat, pemilihan pengisi suara dalam film animasi saja dipikirkan baik-baik oleh si pembuatnya, masak kita seenaknya saja mengganti suaranya dengan dubber asal-asalan... bikin ilfil aja!

Jogja, 090914

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun