Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menimbang Propaganda Elpiji Nonsubsidi

9 September 2014   11:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang harus menjadi perhatian Pertamina ketika mencoba mengurangi ketergantungan masyarakat pada penggunaan Elpiji 3 kilogram yang bersubsidi, yakni soal promosi Elpiji (merek dagang Liquid Petroleum Gas/LPG produksi Pertamina) nonsubsidi yang terasa sangat kurang. Saya malah merasa promosi Elpiji nonsubsidi 12 kg ke atas bisa dikatakan tak ada, atau tak terdengar gaungnya.

Pada dasarnya, sebuah produk memerlukan promosi agar dapat diketahui, diterima, dan kemudian digunakan oleh masyarakat. Ini sudah menjadi hukum dagang di dunia modern. Tak berpromosi sama dengan tak laku. Meski memang tidak selalu begitu, karena berpromosi sekalipun belum tentu menjanjikan penjualan yang baik. Kadang, promosi memang tak selalu ditujukan untuk penjualan, tapi bisa juga sekadar membangun citra, walaupun pada akhirnya citra itu mendatangkan keuntungan, baik dalam hal penjualan maupun dari sisi yang lain.

Dalam hal Elpiji nonsubsidi, seharusnya Pertamina belajar dari promosi produk nonsubsidi lainnya, yakni bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi seperti Pertamax dan Pertamina Dex yang harus ‘berhadapan’ dengan produk Pertamina lainnya yang bersubsidi seperti Premium dan Solar bersubsidi.

Ini memang kasus dagang yang aneh, karena Pertamina harus ‘melawan’ produknya sendiri dengan produknya yang lain. Posisi berlawanannya jelas karena status subsidi yang melekat pada salah satu produknya dihadapkan pada produk yang nonsubsidi. Soal keuntungan buat Pertamina, saya tak paham betul, bisa jadi Pertamina juga tidak merugi ketika menjual produk bersubsidi –karena selisihnya dibayar oleh negara, meski konon, kadang sering terlambat pembayarannya. Minimal, dengan menjual produk nonsubsidi, keuntungan Pertamina langsung terasa tanpa harus menunggu selisih yang disubsidi dibayarkan negara. Keuntungan lain, tentu saja membantu negara untuk meringankan bebannya jika masyarakat beralih ke produk yang tidak disubsidi.

Persoalannya, masyarakat kita sudah terbiasa menikmati subsidi, atau, bolah jadi sudah addict dan terbuai. Orang kaya raya sekalipun, tak punya lagi rasa malu untuk ikut berebut dengan kaum miskin dalam hal menikmati subsidi. Mereka merasa punya hak yang sama sebagai warga negara. Dan ironisnya, nyata terlihat bahwa penikmat subsidi, justru yang paling banyak adalah dari kaum mampu ini. Tak perlu data untuk membuktikannya, lihat saja di SPBU, masih banyak mobil mewah yang tak malu antri BBM bersubsidi!

Dalam kasus BBM subsidi vs nonsubsidi, Pertamina telah menempuh jalan promosi yang baik (meski hasilnya belum seperti yang diharapkan). Promosi BBM nonsubsidi telah menggunakan metode propaganda yang baik. Propaganda yang baik adalah dengan membagi khalayak propaganda menjadi dua sisi yakni ‘us’ (kita) dan ‘them’ (mereka), prinsip yang disebut sebagai komposisi dua pihak. ‘Us’ adalah ‘kita’ yang menggunakan BBM nonsubsidi yang diberi label ‘nasionalis; karena peduli pada keuangan negara dan tak tergantung pada subsidi’ ‘modern, karena menggunakan bahan bakar yang lebih baik buat kendaraannya’ dan ‘ramah lingkungan, karena bahan bakar yang digunakannya ramah lingkungan sesuai dengan berbagai aturan tentang emisi gas buang.’ Sementara ‘them’ adalah mereka yang berlaku sebaliknya, cuek dengan kondisi negara, kuno karena masih menggunakan BBM kualitas ‘standar atau rendah’ dan tidak peduli lingkungan. ‘Us’ di sini bisa juga diasosiasikan dengan ekstrem, yakni ‘orang kaya dan mampu’ sedang ‘them’ adalah mereka yang ‘miskin dan tidak mampu.’

Penempatan komposisi ‘us’ dan ‘them’ dalam promosi BBM nonsubsidi sudah tepat, yakni memberi ‘kebanggaan’ pada para pemakai BBM nonsubsidi dan ‘memarjinalkan’ para penggunan BBM subsidi. ‘Us’ yang ‘bangga’ dan ‘them’ yang ‘malu-maluin.’ Akan tetapi, cara kerja propaganda model ini juga didukung dengan nilai tambah produk yang jelas. Masyarakat tahu persis, BBM nonsubsidi harganya memang mahal, bahkan dua kali lipat dari harga BBM yang bersubsidi. Akan tetapi, mereka faham, ada keuntungan nyata dari penggunaan BBM nonsubsidi selain soal ‘nasionalisme’ dll itu, yakni keuntungan teknis; kualitas barang yang lebih baik hingga produknya enak dipakai, seperti tenaga dan tarikan kendaraan yang lebih enak, juga mesin yang lebih bersih hingga kendaraan kesayangannya dirasa layak (dan harus) mengkonsumsi BBM nonsubsidi tersebut.

Tapi apa boleh buat, model kerja propaganda yang sudah tepat pun belum tentu menghasilkan hal yang diinginkan. Buktinya, masih banyak saja pengguna BBM bersubsidi, bahkan di kalangan orang mampu dan memiliki kendaraan mewah sekalipun. Ini kembali ke soal budaya ‘malu’ yang harus terus didorong oleh Pertamina dalam menjalankan kerja propagandanya. Tapi paling tidak, kita bisa melihat hasilnya, banyak anak muda pemilik kendaraan roda dua yang ‘termakan’ propaganda ini, menggunakan BBM nonsubsidi dengan alasan agar terlihat keren, dan memang mereka merasakan ‘khasiat’ BBM nonsubsidi itu.

Kembali soal Elpiji nonsubsidi, di sinilah kerja keras Pertamina diperlukan. Elpiji nonsubsidi tidak memliki daya tarik seperti BBM nonsubsidi yang mampu membelah khalayak konsumen menjadi ‘us’ dan ‘them’ dengan jelas. Orang kaya tak perlu malu memakai Elpiji 3kg yang bersubsidi, karena toh Elpiji dipakai di rumah, tak kelihatan oleh orang lain, tidak seperti BBM yang terlihat saat antri pengisiannya. Elpiji bahkan tak perlu antri, tinggal telpon dan diantar kerumah oleh sebagian besar penjualnya.

Kalaupun tata kerja propaganda ‘us’ yang kaya dan ‘them’ yang miskin seperti pada BBM digunakan, efektifitasnya juga masih sangat diragukan. Titik soalnya adalah, tidak ada pembeda produk gas yang digunakan pada Elpiji yang bersubsidi dengan yang tidak. Hanya soal ukuran tabung. Konsumen akan berpikir, buat apa beli yang 12 kilo jika sama saja dengan yang 3 kilogram? Apakah benar demikian, bahwa produknya sama dan hanya beda ukuran? Saya tidak tahu, dan tidak memiliki informasinya. Jika memang sama, perlulah kiranya Pertamina membuat pembedanya (katakanlah produknya lebih hemat, lebih bersih, lebih aman, dll) agar cara kerja propagandanya bisa dilakukan. Jika tidak, sulitlah masyarakat untuk didorong menggunakan Elpiji nonsubsidi walaupun dijejali dengan jargon ‘nasionalisme’ sekalipun, jika produknya memang tak memiliki keunggulan tertentu. Apalagi, sebagian besar masayarakat kita, sudah telalu terbuai dengan segala sesuatu yang berbau subsidi seperti pada kasus BBM tadi...

Semoga tulisan ini bermanfaat, salam!

Jogja, 090914

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun