Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Secuil Kenangan Bersama Sitor Situmorang

22 Desember 2014   08:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:44 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_342596" align="alignnone" width="635" caption=""][/caption]

Saya tidak mengenal dengan baik Sitor Situmorang sampai suatu malam, Rabu 8 Oktober 2003, seorang teman, Ihsan Abdul Salam, mengajak saya ke acara yang diadakan oleh penerbit Komunitas Bambu. Tempat persisnya saya lupa, yang jelas di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Acara malam itu, peluncuran buku kumpulan cerita pendek Sitor Situmorang berjudul “Kisah Surat dari Legian” yang diterbitkan Komunitas Bambu.


Saya berangkat, dari tempat kos saya di Slipi, tanpa terlalu banyak pretensi. Saya pernah mendengar nama Sitor, dan setau saya, dia lebih banyak menulis puisi ketimbang menulis prosa. Dan benar saja, dari buku kecil yang saya dapatkan saat acara, tertulis biografi Sitor yang mentereng: puluhan buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen, esai, drama, hingga risalah politik. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dari Inggris, Belanda, Perancis, China, Jepang, Jerman, hingga Rusia.


Saya tertegun. Ada yang salah dengan pengetahuan saya tentang Sitor. Salah karena saya terlalu menganggap biasa seseorang yang sangat luar biasa. Sitor itu, Sitor yang saya temui malam itu, dengan bersahaja, adalah salah satu sastrawan Angkatan 45! Dan, itu terjadi tahun 2003, setengah abad lebih! Dan saya bertemu dengan salah satunya, atau, bisa jadi, Sitor-lah satu-satunya penyair Angkatan 45 yang akan saya temui selama hidup saya! Angkatan 45 lainnya, seperti Chairil Anwar, Achdiat Karta Miharja, Utuy Tatang Sontani, dan lain-lain tak akan pernah lagi saya temui secara langsung, kecuali deretan karya mereka. Dan, malam itu, saya akan bertemu dengan salah satunya!


Saya gemetar, deg-degan. Saya harus dapat tanda mata darinya, tandatangannya. Itu tekad saya malam itu. Acara kemudian diisi dengan berbagai kegiatan, mulai dari kesaksian beberapa penyair, hingga sambutan dari berbagai kalangan, termasuk dari luar negeri. Saya tak ingat lagi siapa saja yang datang. Seingat saya hanya ada Rieke Dyah Pitaloka, Sitok Srengenge, dan JJ Rizal. Lainnya, saya lupa.


Ada satu acara yang membuat saya gelisah, pembacaan puisi-puisi Sitor. Ada yang membacakannya dalam versi asli, hingga versi terjemahan. Lalu ada kesempatan untuk siapa saja membacakan puisi karya Sitor. Reflek, saya meminjam salah satu buku puisi Sitor dari Ihsan, lalu secara kilat –dan asal-asalan—saya menerjemahkannya ke dalam Bahasa Sunda. Saya lupa judulnya, tapi kemudian saya memberanikan diri tampil, dan membacakan puisi terjemahan versi saya itu.


Penampilan saya tidak istimewa, hanya saya lihat sepintas Sitor berbisik-bisik dengan Rieke, kemudian tersenyum dan tertawa kecil sambil sesekali melirik ke arah saya. Saya geer, apa iya saya yang mereka perbincangkan? Kalaupun saya hanya geer, tak apalah, paling tidak, saya mencuri sedikit perhatiannya. Dan itu membuka jalan bagi saya untuk mendekatinya di akhir acara. Saya menyodorkan buku kecil kumpulan cerpennya “Kisah Surat dari Legian” itu untuk ditandatangani. Dan ia tersenyum saat saya mendekat, “Saya tidak tahu, apakah terjemahanmu itu betul atau tidak, tapi lumayan lah...” katanya. Saya beneran geer, dan ia bertanya lagi, “Kapan kamu menerjemahkannya?” dan saya jawab barusan saja. Ia hanya tertawa, lalu menanyakan nama untuk ditulisnya di buku.


Singkat? Ya memang sesingkat itu perjumpaan saya dengan Sitor. Tapi pertemuan singkat itu adalah pertemuan yang mengesankan bagi saya. Setidaknya, meski tak pernah menerbitkan satu buku puisi pun, saya jadi rajin menulis puisi, sesekali membacakannya jika ada kesempatan. Setelah itu, saya lebih banyak bergelut dengan prosa, menulis cerpen dan novel.


Dan saya terlupa lagi pada Sitor. Sampai tadi pagi, sebuah kabar datang. Sitor meninggal dunia di tempat tinggalnya terakhir ini, di Belanda. Saya mencari buku kecil yang ditandatanganinya, dan ada, masih tersimpan sangat baik.


Dalam hal karya para sastrawan dari Tanah Batak, saya memang lebih merasa banyak terpengaruh oleh Iwan Simatupang ketimbang Sitor. Tapi secuil kenangan dengan Sitor begitu berkesan; secuil kenangan bersama salah satu sastrawan besar Angkatan 45, yang tak mungkin akan bisa saya lupakan...


Selamat jalan Sitor Situmorang!


Jogja, 221214

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun