Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Milenial: Antara Gaya dan Jati Diri

16 September 2020   06:00 Diperbarui: 16 September 2020   06:27 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun terakhir ini, sekolah atau madrasah negeri diramaikan dengan kehadiran guru-guru muda. Mereka diterima sebagai PNS setelah melalui berbagai seleksi yang cukup ketat. Kehadiran mereka yang masih fresh graduate tentu saja akan sangat membantu keberlangsungan sekolah. Bahkan, bisa-bisa membuat guru yang sudah tua, guru gagap teknologi, guru yang enggan meng-update dan meng-upgrade ilmunya akan tersisih. Pasalnya, guru-guru muda ini rata-rata sudah familiar dengan teknologi informasi.

Institusi sekolah juga memerlukan tenaga-tenaga yang cakap dalam mengikuti perkembangan di era digital ini. Dulu, proses belajar mengajar di kelas hanya menggunakan buku teks,  spidol, dan papan tulis. Sekarang, media pembelajaran sudah bertambah dengan kehadiran proyektor, presentasi dengan teknologi Augmented Reality, penayangan video, dan lain-lain, yang semuanya mempermudah pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan.

Generasi yang dididik di sekolah saat ini dikategorikan generasi milenial, dimana mereka sudah mengerti teknologi modern. Siswa sekarang juga lebih bersifat group oriented, yaitu sangat mementingkan pertemanan kelompok, sehingga mempunyai kecenderungan gampang terpengaruh. Dunia maya sudah menjadi bagian dari dunia mereka, sehingga media sosial seperti facebook, twitter, Instagram, whatsapp, line, dan sebagainya lebih penting buat mereka. Berbagai aplikasi seperti webtoon, wattpad, tiktok, dan lain-lain sudah menjadi santapan mereka.

Menghadapi siswa generasi milenial ini, mau tidak mau, guru juga harus   bisa memantaskan dan membekali diri dengan kemampuan yang setidaknya sama dengan yang dikuasai siswa, sehingga bisa "nyambung" dengan siswa-siswa milenial.

Kehadiran guru-guru muda yang terlahir dari generasi Y, akan lebih cocok dan "nyambung" dengan keinginan siswa dari generasi Z. Sangat berbeda dengan guru-guru "old" yang lahir dari generasi X, yang sangat ingin menguasai teknologi, tapi lebih terlihat seperti kelas pemula. Mereka kalah bersaing dalam hal kemampuan menguasai teknologi dibanding siswa. Bisa jadi, guru-guru "old" jadi bahan olokan siswa, karena bila ingin ini itu di aplikasi, justru mereka yang banyak bertanya dan lambat mengerti.

Guru Milenial

Guru-guru dari generasi Y, yang penulis menyebut mereka dengan guru milenial,  harus memiliki smartphone yang cukup mahal, laptop, memiliki akun di banyak media sosial, dan memiliki pengetahuan tentang IT yang baik. Hal tersebut harus dimiliki dengan tujuan untuk mempermudah dan menunjang pekerjaan guru. Misalnya guru harus memiliki smartphone tujuannya mempermudah komunikasi antara orangtua, siswa dan guru. Laptop juga dapat menunjang, mempermudah, dan mempercepat pekerjaan guru. Media sosial juga harus dimiliki guru supaya tidak ketinggalan informasi yang terkini, dan untuk memperbanyak relasi.

Selain itu guru juga harus mempunyai pengetahuan dan kemampuan di bidang IT yang baik. Guru tidak boleh gagap teknologi karena hal itu dapat menghambat kegiatan belajar mengajar di kelas.

Seperti yang penulis katakan di atas, hampir tiap sekolah sudah memakai perangkat proyektor untuk membantu guru dalam mengajar. Hal tersebut digunakan selain mempermudah guru dalam mengajar, proyektor dapat membuat pembelajaran jadi lebih menarik dan tidak monoton. Guru yang seperti ini bisa membuat siswa akan termotivasi belajar yang lebih baik dan akhirnya dapat membantu mereka mencapai hasil belajar yang baik.

Eksistensi tenaga pendidik yang rata-rata berusia muda ini, diharapkan akan membawa perubahan bagi guru-guru yang sudah mulai menua, dimana mereka bisa mentransfer kemampuan dan pengetahuan terbarunya kepada yang senior.

Antara Gaya dan Jati Diri

Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal, yang mungkin terlupakan oleh guru milenial. Bahwa banyak dari mereka yang belum bisa melepaskan diri dengan identitas mereka sebagai anggota generasi milenial pada saat kepada mereka disematkan label "guru", yang bermakna digugu dan ditiru.  Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Banyak dari mereka yang masih terjerat dalam perilaku milenial, mengingat usia mereka juga masih muda.

Guru ini masih suka memposting hal-hal yang tidak mencerminkan kepribadian sebagai seorang guru, misalnya curhat, mengeluh, membully, perang komentar, dan lain-lain. Hal ini akan memberikan stigma negatif pada guru. Malah ada juga yang meng-upload konten yang tidak layak dikonsumsi siswa-siswanya, misalnya video tiktok yang mempertontonkan adegan kemesraan, mempertontonkan hal yang tidak diperbolehkan ke siswa, dan lain-lain.

Guru milenial terkadang menjadi generasi yang "kebablasan", menguasai teknologi yang dikuasai siswa, tetapi melupakan jati dirinya sebagai seorang guru. Perilaku kebablasan ini bisa menjadi alasan bagi siswa untuk melakukan sesuatu sama seperti yang dilakukan gurunya. Akibatnya, begitu ada sanksi yang diberikan ketika pelanggaran dilakukan siswa, mereka bisa protes, dan ini wajar sebagai ungkapan ketidakpuasan mereka terhadap peraturan. Sementara siswa diterapkan dengan berbagai aturan yang mengikat, sementara guru boleh melanggarnya.

Para guru milenial harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Jika ada nilai yang bertentangan dengan yang dianutnya, maka dengan cara yang tepat disikapi sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dan siswa atau masyarakat yang berakibat bisa terganggunya proses pendidikan bagi siswa.

Guru milenial juga harus menjadi teladan atau model bagi siswa yang semua yang menganggap ia sebagai guru. Memang mungkin terjadi penolakan oleh guru, namun setidaknya apa yang dilakukan oleh guru akan menjadi pembanding dengan  yang dilakukan siswa atau masyarakat. Setiap gerak gerik guru akan menjadi sorotan, mulai dari sikap atau perilaku, bicara dan gaya bicara, kebiasaan bekerja, sikap melalui pengalaman dan kesalahan, pakaian, ataupun hubungan kemanusiaan, bahkan gaya hidup guru akan menjadi perhatian publik.

Jika guru milenial ini mampu menjaga jati dirinya sebagai seorang guru, memiliki wawasan dalam pendidikan dan pembelajaran yang baik, ditambah dengan kemampuannya memahami "selera" siswa milenial, maka penulis yakin, guru inilah yang akan menjadi idola siswa. Guru-guru dewasa pun akan belajar padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun