Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masyarakat dalam Jebakan Media Sosial

15 September 2020   07:25 Diperbarui: 15 September 2020   07:30 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa penusukan terhadap Syekh Ali Jaber pada saat menghadiri acara di Masjid Fallahudin Bandar Lampung, hari Minggu (13/9/20), menjadi perbincangan terhangat publik di hampir di seluruh media, termasuk media sosial.  Berita, potongan berita, video peristiwa, penangkapan pelaku, semuanya langsung terekspos beberapa saat setelah kejadian, termasuk keterangan wawancara dengan Kapolda Bandar Lampung, yang menyatakan bahwa menurut penuturan orangtua pelaku, anaknya menderita gangguan jiwa (baca: gila).

Keesokan harinya (Senin, 14/9/20), penulis terkejut membaca postingan-postingan terbaru di berbagai media sosial. Peristiwa penusukan itu semakin 'gurih' diberitakan dengan beragam komentar, dari masyarakat awam hingga para 'ahli'. Tentu saja, dari sudut pandang mana saja mereka memandangnya.

Nah, karena semua orang berhak berargumen, ada yang argumennya mendidik, mengajak berpikir jernih. Namun ada juga yang membuat seolah-olah kasus ini berada pada titik yang tidak pasti. Keadaan yang ending-nya dengan skenario yang mudah ditebak: berakhir tanpa tindak lanjut.

Terjadilah kesimpang-siuran opini. Berspekulasi kemana-mana. Ada yang mengatakan bahwa "orang gila" akan lebih mudah dibela, giliran ulama dikriminalisasi, meningkatkan kewaspadaan umat Islam dan ulama, pembunuhan terencana, sampai-sampai ada dugaan Neo PKI di balik penyerangan, hukum di negeri ini yang berpihak kepada orang gila, dan lain sebagainya. 

Ada yang mengatakan: jika korbannya ulama, maka pelakunya disebut orang gila. Jika korbannya pejabat, maka pelakunya disebut teroris. Bahkan ada juga yang mengatakan, bahwa peristiwa ini semacam "interupsi" rutin yang dilakukan agar peristiwa lain tertutup.

Kok sejauh itu? Hanya 1 (satu) hari, beragam pendapat telah dikeluarkan, yang semuanya bersifat dugaan, karena pihak yang berwenang sendiri masih sedang melakukan penelaahan terhadap kasusnya. Bukankah ini tindakan yang hanya untung-untungan? Ya, kalau itu benar. Tetapi kalau salah, hanya berujung fitnah.

Kehilangan Akal Sehat

Zaman sekarang menulis begitu mudah. Apa saja yang ada dalam pikiran, senantiasa dituliskan. Misalnya, buka media sosial, lalu menulis segala permintaannya kepada Tuhan, menuliskan kebanggaannya, maupun keluh kesahnya. Banyak orang lupa mengukur tingkat kepentingan tulisan. Apakah yang ia tulis bermanfaat untuk dia sendiri dan orang lain, apakah bisa memberikan solusi terhadap sebuah kasus, atau jangan-jangan malah menambah masalah baru.

Menulis seakan melepaskan beban yang menghimpit. Energi negatif akan mudah mengeluarkan unek-unek. Plong rasanya bila sudah dituliskan. Terlebih lagi bila menyangkut kekecewaaan, ketidakpuasan, ketidakberuntungan, kekhawatiran, ketakutan, dan lain sebagainya. Ini akan lebih menarik disuka dan dibagikan.

Bagi yang jago menulis, menuliskan tentang sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Menatap kegelisahan dan menuliskannya dengan gaya "human interest". Pembaca akan terasa ikut larut dalam kegelisahan, kegetiran, dan kesedihan yang dialami penulis sendiri atau yang dialami orang lain. Bahkan, dalam diamnya, pembaca terjebak untuk ikut dalam kebenaran yang subyektif. Padahal, bisa jadi yang diberitakan adalah kabar yang belum pasti, opini menyesatkan, atau bahkan fitnah.

Bagi yang tidak terbiasa menulis, akan men-share tulisan terebut ke berbagai platform yang lain. Mereka ini mudah dimanipulasi pikirannya, apalagi tidak mengetahui akar masalah yang sebenarnya. Muncullah komentar-komentar negatif. Isinya apa saja, yang penting diungkapkan. Bahkan, sekarang kita mengenal kata-kata "anjay", "anjir", atau juga "a*u", hanya dari kolom komentar pembaca.

Pengguna sekarang, malas membaca berita yang isinya panjang, suka yang instan, dan mudah mengambil kesimpulan. Lalu akhirnya, berita yang didapat, hanya berupa "potongan" atau cuplikan video, yang memang, ada yang mempengaruhi pembaca supaya mendukung. Dan mengambil kesimpulan dari peristiwa tersebut.

Demikian, sehingga masyarakat sangat mudah terprovokasi, "dijajah" hati nuraninya, untuk ikut mengaburkan nilai kebaikan, mengutamakan sesuatu yang dalam kondisi ketidakpastian, dan mengajak yang lain untuk meng-amini. Akan semakin tersebarlah berita yang tidak jelas ke pembaca.

Sinan Aral, profesor media dari Massachussetts Institute of Technology, dalam penelitiannya menemukan fakta mengejutkan bahwa ternyata kebohongan di media sosial lebih mudah, lebih luas, dan lebih cepat menyebar disbanding kebenaran (2018). Medhy Aginta Hidayat, dari Universitas Trunojoyo Madura mengatakan, karakter media sosial yang mudah diakses, berdaya jangkau luas dan interaktif, menggoda siapapun untuk memanfaatkannya sebagai media penyebar informasi yang belum pasti.

Pengguna media sosial sekarang ini juga tampak berkelompok-kelompok, apalagi sejak Pilpres beberapa waktu lalu. Informasi yang disampaikan oleh teman dekat atau kelompoknya cenderung lebih dipercaya. Lebih mudah bagi mereka untuk menyebar melalui ruang-ruang privat media sosial. Kondisi ini memunculkan apa yang disebut filter bubble, dimana mereka cenderung hidup dalam gelembung keyakinannya sendiri. Akibatnya,  banyak yang kehilangan akal sehat, dan terjadilah polarisasi masyarakat dalam realitas sosial.

Terjebak Spekulasi atau Investasi

Kalau penulis kaitkan dengan dunia ekonomi, maka tulisan saat ini ada yang berjenis tulisan spekulasi , adapula tulisan investasi. Spekulasi dalam istilah KBBI adalah pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan, tindakan yang bersifat untung-untungan. Sementara investasi adalah penanaman modal untuk mendapatkan keuntungan.

Tulisan spekulasi, banyak mewarnai media sosial, dan cenderung menghilangkan daya kritis seseorang. Pembaca akan terjebak dalam pusaran kata yang dirangkai tanpa diketahui atau belum diakui kebenarannya. Bahkan, akan cenderung melakukan kebohongan. Joseph Goebbel, Menteri Propaganda pada era Nazi Jerman, mengatakan: Sebarkan kebohongan secara berulang-ulang kepada public. Kebohongan yang berulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran.

Mereka ini, penulis menyebut mereka sebagai buzzer, akun-akun di media sosial yang tak memiliki reputasi untuk dipertaruhkan, hanya nama tapi tanpa tahu pemilik aslinya. Ingat kasus, kue klepon yang lebih Islami. Di situ tertulis nama akun, tapi setelah diselidiki tidak jelas siapa pemiliknya. Buzzer ini ada yang sengaja dibayar, ada juga yang sukarelawan. Tindakan dari kelompok ini adalah sifatnya untung-untungan. Mereka merasa menang kalau apa yang mereka populerkan dianggap sebagai kebenaran, tapi juga tidak merasa rugi kalau kebenaran mereka ditolak.

Sementara tulisan investasi, adalah tulisan yang memberikan modal untuk mendapatkan keuntungan berupa manfaat buat pembaca. Bukan sekadar opini, sikap (menggaris bawahi sikap setuju atau tidak setuju), atau mendeskripsikan masalah, tapi lebih pada mencari akar permasalahan, melakukan analisis, memberikan perspektif, dan bahkan memberikan solusi yang baik.

Tulisan investasi, akan membantu membatasi penyebaran tulisan spekulasi, mengekalkan batas antara kebenaran dan kebohongan. Pengguna bisa membedakan antara fakta dan opini, data atau gosip, dan kebenaran atau fitnah. Penulis investasi ini diharapkan membuat informasi jadi jernih, dan diterima akal sehat.

Pramoedya Ananta Toer mengatakan "menulis adalah bekerja untuk keabadian". Maka selagi masih ada waktu, mari kita meninggalkan jejak dengan karya yang bermanfaat, bukan terjebak dalam media penyebar kemudharatan. Hasil karya kita akan diwariskan kepada generasi penerus, dan nama kita pun tidak hilang dari peradaban. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun