Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

True Story (1) : Mama, Guru Bisnis Pertamaku

4 Desember 2015   14:55 Diperbarui: 7 Desember 2015   20:41 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi seorang guru, menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Setiap hari bisa menyaksikan para generasi penerus bangsa sedang berproses membentuk kepribadian dan wataknya. Terlebih bisa menjadi bagian dari proses itu, yakni membantu mereka melewati fase perkembangan fisik dan psikisnya. Apa yang mereka lakukan di saat ini, juga persis seperti apa yang pernah kulakukan di masa yang lalu. Bermain, bercengkerama, bahkan, membuka buku saat ulangan.

Tulisan ini hanya ingin berbagi dengan pembaca, tentang pengalaman masa kecil, yang tentu saja menginspirasi kuat kehidupan saat ini untuk menjadi "lebih baik".

----------------------------------------------------

Aku dilahirkan di Desa Mangkahui Kecamatan Murung Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah. Sebuah desa yang pada saat aku kecil adalah desa yang kaya dengan sumberdaya alam, terutama emas. Desa ini sontak menjadi begitu dikenal dimana-mana, karena beberapa pertambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat ada di sini. Sebut saja Nanep, Sarujan, dan Mahanyan. Bila ingin ke daerah pertambangan itu, maka desa Mangkahui lah pintu gerbangnya.

Masa kecil kulalui dengan bersekolah di SD Inpres Mangkahui hingga tamat tahun 1984. Di masa ini, aku tidak menyadari, kalau mama sudah mulai mengajariku untuk berdagang. Mulai dari menjual es keliling kampung, menjual gulali, menjual makanan ringan yang dijual di sekolah sewaktu istirahat, atau menjual es ke orang-orang yang bekerja di pertambangan emas pada saat liburan. Semuanya kulakoni dengan senang hati. Betapa senang bisa mendapatkan keuntungan sebesar 20 % dari modal.

Jiwa bisnis memang seakan sudah menjadi darah daging dalam keluarga kami. Orangtuaku sejak aku kecil sudah berdagang pakaian. Pada waktu itu di desa kelahiranku bisa dihitung dengan jari orang yang berjualan. Kebanyakan pekerjaan yang digeluti oleh penduduk kampung adalah bertani.

Mama, banyak berperan dalam dagangan ini. Beliau mengatakan, bahwa walau tidak bertani, tetapi tetap bisa mendapatkan beras. Kalau para petani ingin mendapatkan beras, maka mereka harus banting tulang memeras keringat bekerja di ladang, dari menanam padi sampai memetik buahnya. Sebaliknya, mama, hanya dengan melayani pembeli "tanpa harus mengeluarkan keringat" bisa mendapatkan uang. Dengan uang tersebut digunakan untuk membeli beras.
Tidak ada pekerjaan yang lebih mudah selain berdagang, begitu kata mama waktu itu.

Aku belajar berdagang setiap hari. Setiap membeli barang untuk dagangan yang waktu itu penjualnya adalah orang-orang Cina dan Banjar yang berdagang menggunakan kapal besar, aku selalu ikut bersama mama. Kapal Aneka Karya, Daya Karya, dan lain-lain adalah kapal yang khusus menjual barang yang dibawa dari Banjarmasin. Secara tidak langsung, mama lah, guru bisnis pertamaku.

Juru Foto Amatir

Lulus Sekolah Dasar di desa, aku melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri yang ada di ibukota kabupaten Barito Utara, yakni Muara Teweh.

Setiap kali pulang kampung, aku melakoni bisnis baru, jadi tukang foto amatir. Berbekal hobi memotret, aku mulai menjadikan hobi ini sebagai ladang bisnis. Aku keliling kampung menenteng tustel dan menjajakan jasa foto. Cuci cetak foto kubawa ke Muara Teweh dan hasilnya kukirimkan lewat kapal tujuan Mangkahui.

Bakat Menulis

Tanpa kusadari, ketika di Muara Teweh, aku telah kehilangan jiwa bisnis yang kumiliki sejak kecil. Di kota ini, kami belajar mandiri dengan tujuan utama belajar.

Memang aku sukses dalam belajar. Buktinya, aku selalu meraih ranking pertama kelas satu dan kelas dua. Kelas tiga, sebenarnya kuakui aku yang juara pertama, tapi karena wali kelasku pilih kasih dengan seorang rival beratku, aku ditaruh sebagai juara dua. Wali kelasku itu tinggal di rumah teman yang sekaligus menjadi rivalku meraih gelar juara, karenanya, mungkin telah termakan budi baik orang tua temanku itu, sehingga temanku yang menjadi juara pertama.

Tapi ada satu hal yang mengalami kemajuan dalam hidupku. Aku mulai mengenal dunia tulis menulis. Aku sering membaca Banjarmasin Post, Majalah Ananda, Majalah Bobo, Anita Cemerlang, Majalah Ria Film dan sebagainya.

Berbekal pengalaman membaca dan selalu membaca, aku mulai berpikir untuk membuat suatu karya yang bisa dibaca oleh banyak orang.
Karenanya, timbullah bakatku untuk menulis. Seperti kebanyakan orang, aku mulai membuat puisi sebagai kegiatan menulis pertamaku. Apa saja perasaan dalam hati, disalurkan lewat puisi. Puisi pertamaku muncul di Rubrik Dahaga Banjarmasin Post.

Selain menulis puisi, aku juga penyuka cerpen. Aku begitu salut dengan cerpen karya Zara Zettira, Gus TF Sakai, Adek Alwi, yang hampir setiap penerbitan Anita Cemerlang, cerpen mereka selalu dimuat. Di Anita Cemerlang, ada beberapa cerpenis yang berasal dari Banjarmasin, yaitu Nanny S, Lan Fang, dan Rudi Setyawan. Aku begitu mengagumi karya mereka, khususnya karya Lan Fang, yang begitu menggugah semangatku untuk ikut menulis cerpen. Aku mulai berpikir, bahwa aku juga bisa seperti mereka.

Aku mulai menulis cerpen. Cerpen pertamaku "Cintaku Tumbuh di Pantai Gosong" selesai ditulis, dan aku sungguh bahagia. Tetapi sayang, tak ada satupun penerbit yang menerbitkannya. Bulan demi bulan selalu kunanti pemuatannya, namun tak kunjung tiba. Aku masih berharap, bahwa cerpenku masih diseleksi redaksi.

Tetapi tidak pernah terbersit muncul rasa putus asa. Malah cerpenku semakin banyak kutelorkan. Kucoba pula menulis cerita mini yang kusesuaikan dengan isi Majalah Ananda. Alhamdulillah, cerita mini pertamaku "Gara-gara Ngintip" dimuat di Majalah Ananda terbitan Jakarta. Itupun setelah berbulan-bulan aku meneliti setiap penerbitan Ananda, kalau-kalau ada naskahku yang dimuat. Disaat aku bosan meneliti tulisanku, di saat itulah tulisanku dimuat. Sesudah itu, cerita miniku hampir setiap minggu kukirim ke Ananda. Beruntung, beberapa diantaranya dalam tempo yang tidak terlalu lama sering menghiasi Majalah Ananda.

Menginjak bangku SMA, aku pindah ke Banjarmasin. Di sini, bakat menulisku semakin lebih baik, sampai aku kuliah di Universitas Lambungmangkurat. Tulisanku tidak terbatas hanya di Majalah Ananda saja, tetapi semakin meluas. Di koran terbitan Banjarmasin saja, aku mulai rutin menulis di Banjarmasin Post, Dinamika Berita, dan Media Masyarakat.

Sedang di media massa di luar Banjarmasin, aku menulis di SKM Simponi (Jakarta), Sinar Pagi Minggu (Jakarta), Surya (Surabaya), dan Jawa Pos (Surabaya). Selain menulis puisi, aku juga menulis esai sastra, cerpen, artikel populer, dan lain-lain. Aku juga turut membidani lahirnya majalah mahasiswa "Suluh Pendidikan" FKIP Unlam.Di kalangan mahasiswa, aku dikenal sebagai penulis muda.
Dari hasil menulis, aku bisa menikmati hasilnya untuk biaya jajan, meski waktu itu koran Banjarmasin belum memberikan imbalan yang memuaskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun