Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Santri dalam Polemik

22 Oktober 2015   21:53 Diperbarui: 22 Oktober 2015   22:12 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah yang terjadi di tanggal 22 Oktober ini pun merupakan sejarah yang terjadi dan dimiliki NU.

Menurut saya, kedua alasan inilah yang sebenarnya membuat Muhammadiyah merasa ‘gerah’. Sementara alasan lain tentu saja hanya menjadi pelengkap untuk menolak kehadiran Hari Santri.

Pantaskah Dipolemikkan?

Kita tentu hapal dengan perbedaan yang terjadi di setiap pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Antara NU dan Muhammadiyah selalu terdapat perbedaan yang dengan diam kita terima meskipun hati terkadang kecewa. Umat Islam di Indonesia pada saat dalam situasi membingungkan seperti itu, harus berkiblat pada induk organisasi keagamaan, karena mereka mengklaim mereka lah yang benar.

Kita tentu ingat juga bagaimana upaya Amien Rais menjegal upaya Megawati menjadi presiden dengan menyodorkan Gus Dur melalui Poros Tengah, dan setelah itu menjadi inisiator untuk melengserkan Gus Dur meninggalkan istana. Para pendukung Gus Dur yang dari kalangan nahdliyin merusak sejumlah inventaris milik Muhammadiyah berupa bangunan sekolah dan badan sosial lainnya.

Kedua organisasi ini, seperti dua orang yang berbeda visi misi, menunjukkan sikap saling diam dan tak acuh, tapi tidak bermusuhan. Keduanya masih dalam tahap rukun dan santun untuk membangun ukhuwah keIslaman, mencapai satu tujuan, meski tidak selalu bergandeng tangan.

Nah, lalu kemunculan Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober, jelas menunjukkan bahwa hari itu akan identik dengan harinya NU, bukan Muhammadiyah. Tetapi hal ini tidak urgen untuk dipolemikkan. Kalau dipolemikkan, justru semakin terlihat adanya pengkotak-kotakan dalam organisasi Islam di Indonesia. Yang kita harapkan, justru dengan momentum hari santri, semua elemen akan saling bersinergi satu sama lain, saling mendukung untuk memajukan umat dalam persatuan meskipun dalam perbedaan keberagamaan masyarakat.

Masih Banyak yang Penting

Sesama umat Islam yang berada dalam satu kesatuan besar, marilah kita mendukung sepenuhnya Hari Santri. Masih banyak hal yang lebih penting kita lakukan, ketimbang memperdebatkan perlu tidaknya peringatan hari santri. Masih banyak hal yang perlu kita rembukkan, ketimbang memperdebatkan istilah santri atau non santri.

Selama ini, lihatlah, banyak pondok pesantren yang dianggap sebagai pendidikan alternatif dan tempat pembinaan anak-anak nakal, kurang cerdas, dan kurang mampu. Santrinya dianggap sebagai kelompok tradisional yang tidak berkembang. Mereka identik de­ngan pemikiran lokal dan tra­disional. Image masyarakat tentang pesantren dan santri ini harus diubah, dan perlu konsep yang baik untuk ke depan yang lebih maju.

Selain itu, program-program pemerintah harus banyak terserap oleh pesantren yang –mohon maaf—banyak bertahan hidup dengan perjuangan sendiri. Kalaupun ada, bantuan sangat minim

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun