Mohon tunggu...
Alip Riduan
Alip Riduan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa 43222010024/ Universitas MercuBuana

NIM: 43222010024 Jurusan: Akuntnsi, Kampus : Universitas Mercu Buana. Dosen pengampu: Prof. Apollo Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Besar 2 - Diskursus Gaya Kepemimpinan Visi Misi Semar Pada Upaya Pencegahan Korupsi

9 November 2023   09:42 Diperbarui: 15 Desember 2023   09:00 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama: Alip Riduan

NIM: 43222010024

Jurusan: Akuntansi

Kampus: Universitas MercuBuana

Dosen Pengampu: Prof. Apollo, M.Si.Ak

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi

Diskursus Gaya Kepemimpinan Visi Misi Semar Pada Upaya Pencegahan Korupsi

Sebelum Kita Masuk Lebih Dalam ke materi tentang "Diskursus Gaya Kepemimpinan Visi Misi Semar Pada Upaya Pencegahan Korupsi"Alangkah baiknya kita mengenal "apa" dan atau "Siapa" itu Semar? 

Apa dan/atau Siapa Itu Semar?

Asal usul Semar dalam konteks kejawen berkaitan erat dengan mitologi dan kepercayaan tradisional Jawa. Cerita-cerita tentang asal usul Semar tidak selalu tersistematis dalam naskah tertulis tetapi sering kali disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi. Asal usul semar menurut versi kejawen.

Dahulu kala, ada seorang pertapa yang sangat sakti bernama Ki Ageng Sela atau Ki Ageng Manarah. Ki Ageng Sela adalah tokoh kejawen yang dihormati dan memiliki ilmu kebatinan tinggi. Dalam pencarian spiritualnya, Ki Ageng Sela melakukan tapa brata (pertapaan) yang sangat lama dan mendalam.

Saat dalam pertapaan, Ki Ageng Sela mendapat wahyu atau petunjuk spiritual dari Sang Hyang Wenang (kekuatan ilahi atau kuasa yang tinggi dalam kepercayaan Jawa). Sang Hyang Wenang memerintahkan Ki Ageng Sela untuk mengejawantahkan bagian dari dirinya sebagai Semar, yang akan menjadi penolong dan pembimbing bagi manusia.

Sejak saat itu, Semar muncul sebagai sosok yang penuh hikmat dan kebijaksanaan. Dalam beberapa versi, Semar disebut sebagai saudara dari para dewa lainnya, seperti Batara Guru (Guru Bhatara), yang merupakan tokoh yang memiliki peran penting dalam mitologi Jawa.

Semar sering dihubungkan dengan konsep "Wali Songo" atau "Ojo Songo," yang merupakan sembilan tokoh spiritual yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Semar, dengan sifat-sifatnya yang penuh hikmat dan humor, dianggap memiliki peran dalam memberikan petuah dan nasihat kepada para Wali Songo.

Tokoh Semar dalam kebudayaan Jawa memiliki peran yang sangat khas dan mendalam, dan kaitannya dengan kepemimpinan dalam adat tradisional Jawa bisa dijelaskan sebagai berikut:

  1. Simbol Kebijaksanaan (Kangjeng Ratu Adil):

    • Dalam wayang kulit, Semar sering kali dihubungkan dengan sosok Kangjeng Ratu Adil, yang dianggap sebagai pemimpin bijaksana dan adil. Hal ini mencerminkan pentingnya kebijaksanaan dalam kepemimpinan tradisional Jawa. Seorang pemimpin diharapkan untuk menjadi sosok yang bijaksana dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah. Contoh Penggunaan: "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." (Dalam merencanakan, dalam melaksanakan, tetaplah memandang pada petunjuk yang luhur.)
  2. Nilai Kesederhanaan:

    • Semar sering kali digambarkan sebagai tokoh yang sederhana, dengan pakaian yang tidak mewah. Hal ini mencerminkan nilai kesederhanaan dalam kepemimpinan Jawa. Pemimpin diharapkan untuk tidak terlalu mencolok dalam gaya hidupnya dan bersikap rendah hati. Contoh Penggunaan: "Sedulur sikep, pribadi jumenengan." (Sesama manusia, kepribadian itu sama.)
  3. Keberagaman dan Toleransi:

    • Semar sering dianggap sebagai tokoh yang mewakili keberagaman dan toleransi. Kepemimpinan dalam adat Jawa menekankan pentingnya menghargai perbedaan dan memelihara kerukunan antarwarga. Contoh Penggunaan: "Bhinneka Tunggal Ika." (Berbeda-beda tapi tetap satu.)
  4. Kekuatan Spiritual (Kewibawaan):

    • Semar juga dikaitkan dengan kekuatan spiritual dan kewibawaan. Dalam konteks kepemimpinan, memiliki koneksi spiritual dan kewibawaan moral sangat dihargai sebagai landasan untuk memimpin. Contoh Penggunaan: "Kawula Gusti." (Hamba Tuhan.)
  5. Keteladanan dan Kesabaran:

    • Karakter Semar yang sabar dan penuh keteladanan menggambarkan pentingnya sifat-sifat ini dalam kepemimpinan tradisional Jawa. Seorang pemimpin diharapkan untuk menjadi teladan bagi masyarakatnya dan memiliki kesabaran dalam menghadapi cobaan. Contoh Penggunaan: "Sabar ora padha tedha." (Sabar tidak sebanding dengan memarahi.)

Dengan menggabungkan konsep-konsep ini, tokoh Semar menjadi representasi ideal dari kepemimpinan yang dihormati dan dipegang tinggi dalam adat tradisional Jawa. Kesederhanaan, kebijaksanaan, toleransi, dan koneksi spiritual adalah nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran-ajaran kepemimpinan yang dapat diambil dari kisah-kisah yang melibatkan tokoh Semar.

Dalam tradisi Jawa, terdapat nilai-nilai moral dan ajaran kepemimpinan yang sangat dihargai dan menjadi bagian integral dari budaya Jawa. Beberapa ajaran moral kepemimpinan dalam adat Jawa melibatkan nilai-nilai seperti:

  • Kesederhanaan (Ngudi Waluyo):

    • Dalam kepemimpinan Jawa, kesederhanaan dianggap sebagai nilai yang sangat penting. Pemimpin diharapkan untuk tidak sombong dan bersikap rendah hati. Sikap ini mencerminkan kebijaksanaan dan kearifan.
  • Kesetiaan (Setya Darma):

    • Pemimpin diharapkan untuk setia kepada nilai-nilai moral dan norma-norma adat yang telah ada. Kesetiaan ini juga mencakup kewajiban kepada rakyat atau bawahan yang dipimpin.
  • Keadilan (Dharmawangsa):

    • Pemimpin diharapkan untuk menjalankan pemerintahan dengan prinsip keadilan. Setiap kebijakan dan keputusan yang diambil seharusnya adil dan merata, tanpa memihak pada kelompok tertentu.
  • Kesetaraan (Samodra Darma):

    • Konsep kesetaraan dalam kepemimpinan Jawa menekankan bahwa semua warga, terlepas dari status sosial atau ekonomi mereka, memiliki hak yang sama. Pemimpin diharapkan untuk memperlakukan semua orang dengan adil.
  • Kewaspadaan (Karsa):

    • Seorang pemimpin diharapkan untuk selalu waspada dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Kewaspadaan ini melibatkan pemahaman mendalam terhadap situasi dan kondisi, serta antisipasi terhadap potensi masalah.
  • Kesabaran (Sabar):

    • Kesabaran dianggap sebagai kebajikan yang penting dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin diharapkan untuk tetap tenang dan sabar dalam menghadapi tantangan atau konflik, serta mampu menyelesaikannya dengan bijaksana.
  • Kerukunan (Rukun):

    • Kepemimpinan yang baik harus membangun kerukunan di antara masyarakat. Pemimpin diharapkan untuk mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kebersamaan.
  • Kerja Sama (Gotong Royong):

    • Konsep gotong royong, atau kerja sama, dianggap sebagai fondasi penting dalam kepemimpinan Jawa. Pemimpin diharapkan untuk mendorong kolaborasi dan saling membantu di antara warganya.

Gaya kepemimpinan Semar adalah sebuah konsep kepemimpinan yang diambil dari tokoh wayang Semar dalam budaya Jawa. Wayang Semar adalah salah satu tokoh dalam pertunjukan wayang kulit Jawa yang memiliki ciri khas berupa bentuk tubuh yang gemuk, cerdas, bijaksana, dan memiliki kearifan lokal yang dalam.

Gaya kepemimpinan Semar mencakup beberapa prinsip dan nilai-nilai yang bisa diambil sebagai pedoman bagi pemimpin. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Kebijaksanaan (Wisdom): Semar dianggap sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan memiliki pengetahuan yang mendalam. Seorang pemimpin harus bijaksana dalam mengambil keputusan dan memiliki pengetahuan yang cukup untuk menghadapi berbagai situasi.
  2. Empati (Empathy): Semar juga dikenal sebagai tokoh yang penuh empati terhadap orang lain. Seorang pemimpin harus mampu memahami perasaan dan kebutuhan bawahannya, serta berempati terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh mereka.
  3. Ketegasan (Firmness): Meskipun lembut dan penuh empati, Semar juga bisa tegas dalam mengambil keputusan yang penting. Seorang pemimpin harus memiliki keberanian untuk mengambil keputusan sulit dan tegas dalam menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan.
  4. Kekuatan Dalam Kelembutan (Strength in Gentleness): Semar menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukanlah ditunjukkan melalui kekerasan atau dominasi, tetapi melalui kelembutan dan kebijaksanaan. Seorang pemimpin yang kuat adalah yang dapat mengendalikan diri dan memimpin dengan kelembutan, bukan dengan kekerasan.
  5. Pembelajaran Seumur Hidup (Lifelong Learning): Semar juga merupakan simbol pembelajaran sepanjang hayat. Seorang pemimpin yang baik harus terus belajar dan berkembang, tidak pernah berhenti mencari pengetahuan baru dan meningkatkan keterampilan kepemimpinannya.

Filosofi gaya kepemimpinan Semar menekankan pentingnya kebijaksanaan, empati, ketegasan, kelembutan, dan pembelajaran seumur hidup dalam menjalankan kepemimpinan. Ini adalah nilai-nilai universal yang dapat diterapkan oleh pemimpin di berbagai konteks budaya dan organisasi.

Wayang memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Jawa. Wayang bukan sekadar pertunjukan seni tradisional, tetapi juga merupakan cerminan dari kearifan lokal, moralitas, dan spiritualitas dalam budaya Jawa. Berikut adalah beberapa makna dan peran penting wayang bagi masyarakat Jawa:

  • Pembelajaran Moral dan Kebijaksanaan: Cerita-cerita dalam pertunjukan wayang mengandung pelajaran moral dan nilai-nilai kebijaksanaan. Para tokoh dalam cerita wayang sering kali diambil dari epik-epik klasik yang mengajarkan tentang kebaikan, keadilan, dan kesetiaan. Pertunjukan wayang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik masyarakat Jawa tentang perilaku yang benar dan sikap-sikap yang dihargai dalam kehidupan sehari-hari.
  • Pemujaan dan Spiritualitas: Wayang juga memiliki dimensi spiritual dalam budaya Jawa. Dalam beberapa pertunjukan wayang, para penonton percaya bahwa roh-roh leluhur atau dewa-dewa hadir di dalam wayang, dan mereka memberikan penghormatan dan doa kepada mereka melalui pertunjukan ini. Wayang sering digunakan dalam upacara-upacara keagamaan dan ritual-ritual tradisional sebagai bentuk pemujaan dan penyembahan.
  • Pelestarian Budaya dan Identitas: Wayang adalah warisan budaya yang sangat penting bagi masyarakat Jawa. Pertunjukan wayang membantu dalam pelestarian bahasa Jawa, musik tradisional, dan kisah-kisah epik yang menjadi bagian integral dari identitas budaya Jawa. Melalui wayang, generasi muda dapat memahami dan menghargai warisan budaya nenek moyang mereka.
  • Hiburan dan Kesenian: Secara sederhana, wayang juga berperan sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat Jawa. Pertunjukan wayang menawarkan kesenangan dan hiburan bagi penonton, dengan kombinasi seni tari, musik, dan dialog yang khas. Wayang adalah bentuk kesenian yang mendalam dan kompleks, yang memberikan pengalaman estetika yang kaya bagi para penontonnya.
  • Komunikasi Sosial dan Kritik: Dalam pertunjukan wayang, para dalang sering menggunakan humor dan satira untuk mengkritik situasi sosial dan politik saat itu. Wayang menjadi medium ekspresi sosial yang memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan kritis melalui cerita-cerita yang dimainkan di atas panggung.

Cerita wayang tentunya berasal dari India, namun terdapat 4. 444 perbedaan mendasar. Kisah Mahabharata dan Ramayana di India dianggap benar-benar terjadi pada tahun dalam jalur mitos, legenda dan sejarah, sedangkan di Indonesia, kisah Mahabharata atau Ramayana menceritakan tentang sejarah perbuatan . kepribadian untuk mencapai tujuan hidup, baik fisik maupun mental. Salah satu perbedaan utama cerita wayang Mahabharata-Ramayana versi Indonesia dan India adalah adanya tokoh "Panakawan". Panakawan merupakan tokoh yang berperan sebagai pengasuh dan penasehat para pejuang.

Panakawan muncul dengan berbagai nama yang berbeda dan muncul di beberapa cerita. Keberadaan tokoh Panakawan ini dilakukan dengan berbagai medium, seperti relief candi dengan menggunakan stand batu, lukisan/gambar di atas kanvas atau kertas, stand kayu, dan kulit binatang yang masih bisa dilihat saat ini . Bentuk-bentuk tokoh Panakawan ini , dari yang tersebar di seluruh nusantara, masih ada yang memiliki bentuk unik, seperti badan yang tidak proporsional, dan cacat. Panakawan merupakan ciptaan khas manusia Jawa yang tidak ada dalam cerita asli India Mahabharata dan Ramayana. Mulyono (1989) menjelaskan perdebatan antara Serrureir dan Hazeu bahwa, Serrureir dalam bukunya Wayang Purwa een Wthnologische Studie (1896) menyatakan bahwa Semar dan anak-anaknya (panakawan) hanyalah imajinasi manusia saja.Jawa termasuk dalam cerita-cerita dari orang lain. negara. untuk mendramatisasi kisah kepahlawanan nenek moyang orang Jawa. Serrureir berpandangan bahwa Semar artinya tiruan berasal tokoh Widhusaka dari India, menggunakan alasan tidak ada tradisi banyolan di tanah Jawa di ketika itu. Tokoh Wiidhusaka asal india ini sama menggunakan Hanjworst (pelawak) asal Germania atau sama menggunakan polichinel atau Harlekijhj (badut) dari Itali.
namun, pendapat ini dibantah oleh Hazeu (1897) yg menjelaskan bahwa dalildalil Serrureir tidak dapat dipertahankan. Menurutnya, pertunjukan bayang-bayang pada Jawa yang dikenal dengan wayang diciptakan orang Indonesia, tokoh Semar jua orisinil Indonesia; menurutnya banyol atau komedi sudah acapkali diklaim pada tulisan-tulisan kuno (Mulyono,1989: 24-26).

Semar merupakan simbol dari sifat manusia. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari tokoh Panakawan ini. Hal ini sesuai dengan ciri khas masyarakat Jawa yang selalu mengajarkan segala sesuatu secara simbolik. Ada ungkapan klasik Jawa yang jelas menunjukkan hal tersebut, yaitu "Wong Jawa iku nggoning semu, siteman ing samudana, sesadone ingadu Manis". Artinya bahasa jawa tempat segala pasemon (simbol/simbol), semua disamarkan dengan tujuan agar indah dan manis. Mengekspresikan kemarahan adalah saru (tidak hormat). Sikap parmi rasa (pemeliharaan emosi) penting terutama dalam menjaga emosi orang lain (Hadiwijaya, 2010: 23).

Semar adalah karakter yang telah ada dalam tradisi wayang Jawa selama berabad-abad, dan asal usulnya mungkin sudah hilang dalam zaman kuno. Namun, karakter Semar telah berkembang dan menjadi sangat penting dalam pertunjukan wayang kulit Jawa.

Dalam naskah-naskah kuno seperti Mahabharata dan Ramayana, tidak ada deskripsi karakter Semar sebagai tokoh yang terpisah. Dia kemungkinan muncul sebagai salah satu dari para dewa atau tokoh cerita epik yang pelayannya. Namun, seiring dengan perkembangan seni wayang kulit Jawa, Semar muncul sebagai karakter yang mandiri dengan ciri khasnya sendiri, terpisah dari naskah-naskah epik Hindu.

Sebagian besar pengetahuan tentang Semar didapat dari tradisi lisan, turun temurun, dan praktik pertunjukan wayang kulit yang telah ada selama berabad-abad. Para dalang (pemain wayang) memiliki peran penting dalam mempertahankan dan menyebarkan cerita-cerita wayang, termasuk cerita tentang Semar. Mereka memperkaya dan mengembangkan cerita-cerita wayang melalui improvisasi, menciptakan kisah-kisah baru, dan menyelipkan lelucon dan humor dalam pertunjukan mereka.

Meskipun tidak ada sumber tertulis yang memberikan penjelasan lengkap tentang asal usul Semar, pengaruh dan nilai karakter ini sangat signifikan dalam budaya Jawa. Semar tidak hanya menjadi sumber hiburan dalam pertunjukan wayang kulit, tetapi juga melambangkan kebijaksanaan, kecerdasan, dan kelembutan dalam tradisi Jawa. Keberadaan Semar dalam budaya Jawa mencerminkan kearifan lokal dan filosofi yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui seni pertunjukan wayang.

Salah satu pendapat yang cukup terkenal adalah yang mengaitkan Panakawan dan Semar dengan Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Songo, para tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Namun, perlu dicatat bahwa ini adalah interpretasi lokal dan legendaris yang mungkin tidak memiliki dasar sejarah yang jelas. Tetapi terdapat pendapat lain tentang panakawan dan semar.

Menurut versi ini, Sunan Kalijaga dianggap sebagai tokoh yang menciptakan karakter Panakawan, termasuk Semar, sebagai bentuk transformasi dari tokoh-tokoh dalam kisah epik Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana. Sunan Kalijaga diyakini melakukan transformasi ini untuk mengajarkan nilai-nilai Islam dan moralitas kepada masyarakat Jawa tanpa menghilangkan budaya dan tradisi lokal yang sudah ada.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pendapat ini bersifat mitologis dan lebih berkaitan dengan tradisi lisan dan kepercayaan masyarakat daripada sejarah yang dapat didokumentasikan dengan baik. Sejarah dan asal usul Panakawan dan Semar tetap menjadi misteri, dan berbagai interpretasi lokal dapat ditemui di berbagai daerah di Jawa.

Budaya Jawa kaya akan mitos, legenda, dan tradisi lisan yang sering kali bersifat lokal dan berkembang seiring waktu. Oleh karena itu, wajar jika terdapat berbagai versi dan interpretasi mengenai asal usul karakter-karakter seperti Panakawan dan Semar dalam tradisi wayang kulit Jawa.

Pada masa Pra-Islam Semar didefinisikan sebaagai sosok yang dengan para dewa Hindu tertentu dan merupakan bagian dari cerita-cerita epik seperti Mahabharata dan Ramayana. Semar, bersama dengan karakter-karakter wayang lainnya, mungkin memiliki simbolisme dan makna dalam kepercayaan animisme, dinamisme, dan tradisi kepercayaan lokal Jawa pra-Islam.

Lalu, Setelah masuknya Islam ke Jawa, karakter Semar dan cerita-cerita wayang mengalami adaptasi agar sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam. Meskipun demikian, Semar tetap menjadi tokoh yang penting dalam seni wayang dan sering kali dianggap sebagai penjaga tradisi Jawa. Dalam beberapa versi cerita wayang kulit Jawa, terutama yang berkaitan dengan cerita-cerita Islamisasi, Semar mungkin memainkan peran yang lebih mendalam, mungkin sebagai tokoh bijaksana yang membimbing tokoh-tokoh utama dalam cerita tersebut. Setelah masuknya Islam, pertunjukan wayang juga mengalami perkembangan menjadi bentuk-bentuk pertunjukan wayang Islami. Dalam konteks ini, Semar dapat muncul dalam cerita-cerita wayang Islami yang mengajarkan nilai-nilai Islam.

Semar sebagai seorang yang rendah hati juga diserahi peran sebagai khatib sebagai konselor yang mengajarkan nilai-nilai luhur kepada kemanusiaan. Seno Sastramijaya meyakini konsep Semar dan Pandawa melambangkan gagasan Kawulo lan Gusti. Pandawa dapat ditinggalkan pada Semar jika melebihi batas kebenaran . Semar dikenal juga dengan julukan Semar Badranaya atau Nur Naya, angka artinya cahaya penuntun. Semar dalam hal ini dianggap memenuhi misi dakwah sebagai petunjuk jalan yang benar (Kresna, 2012: 287). -288).

Tentang asal usul Semar dalam cerita pewayangan diceritakan dalam beberapa serat. "Serat Paramayoga" merupakan karya sastra klasik Jawa yang ditulis dalam bentuk prosa. Karya ini merupakan bagian dari tradisi sastra Jawa yang memadukan unsur Hindu, Budha, dan Islam. Dalam "Serat Paramayoga", Semar berperan penting sebagai tokoh bijaksana dan penasihat yang memberikan bimbingan moral dan intelektual kepada tokoh-tokoh dalam cerita. Namun asal muasal Semar di "Serat Paramayoga" belum diketahui secara luas. Karya ini termasuk dalam genre sastra tradisional Jawa yang sering diturunkan secara lisan sebelum ditulis dan mempunyai akar yang sangat kuno dalam budaya Jawa. Oleh karena itu, asal usul Semar dalam konteks ini mungkin sudah hilang ditelan zaman. Berdasarkan tradisi lisan dan sastra Jawa, Semar sering diidentikkan sebagai tokoh yang muncul dalam berbagai teks klasik, seperti Mahabharata dan Ramayana, serta dalam tradisi wayang kulit. Namun dalam setiap karya sastra atau pertunjukan wayang, penafsiran terhadap tokoh Semar bisa berbeda-beda tergantung cerita yang disajikan dan peran yang diberikan oleh pengarang atau dalang. Dalam konteks "Serat Paramayoga", Semar mungkin diberi peran yang sesuai dengan pesan moral dan filosofis yang ingin disampaikan pengarangnya. Meski asal usulnya sulit ditelusuri, namun tokoh Semar tetap menjadi simbol kebijaksanaan, kecerdasan, dan kelembutan dalam tradisi sastra Jawa.

Alip Riduan
Alip Riduan

Namun, secara umum, tokoh-tokoh Panakawan dalam tradisi wayang kulit Jawa memiliki ciri-ciri khusus yang membuat mereka mudah dikenali. Beberapa ciri umum tokoh-tokoh Panakawan, termasuk Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, meliputi:

  • Bentuk Tubuh yang Kocak: Tokoh-tokoh Panakawan sering kali digambarkan dengan tubuh yang kocak, gemuk, atau aneh, yang menambah unsur humor dalam pertunjukan wayang.
  • Raut Wajah yang Unik: Wajah tokoh-tokoh Panakawan sering kali digambarkan dengan raut wajah yang unik, seperti hidung besar, mata lebar, atau bibir tebal, untuk menunjukkan karakter kocak mereka.
  • Pakaian yang Sederhana: Panakawan biasanya mengenakan pakaian yang sederhana dan sering kali terlihat tidak teratur, menambahkan kesan kocak dan lucu.
  • Peran sebagai Penghibur: Tokoh-tokoh Panakawan adalah penghibur dalam pertunjukan wayang. Mereka sering memainkan peran penting dalam menyajikan humor, memberikan nasehat bijaksana, atau menyelipkan komentar lucu dalam cerita.
  • Penampilan yang Kontras dengan Tokoh Utama: Panakawan sering memiliki penampilan dan karakter yang berlawanan dengan tokoh-tokoh utama atau dewa dalam cerita. Misalnya, sementara tokoh utama mungkin gagah dan serius, Panakawan cenderung ceria dan humoris.

Menurut Ki Ciptosangkono Untuk mengetahui kepribadian dan ciri-ciri tokoh wayang purwa dapat dilihat melalui Candra-panca. Candra-panca adalah konsep dalam seni wayang kulit Jawa yang mengacu pada lima kategori karakter atau sikap yang terkait dengan wajah tokoh wayang purwa. Menurut pandangan Ki Ciptosangkono, seorang dalang wayang terkemuka, untuk memahami karakter dan ciri-ciri tokoh wayang purwa, kita dapat mencermati melalui Candra-panca. Berikut adalah lima kategori Candra-panca beserta penjelasannya:

  • Limas (Bentuk Segitiga): Tokoh-tokoh wayang yang memiliki wajah berbentuk segitiga dianggap memiliki sifat-sifat ksatria atau pahlawan. Mereka biasanya cerdas, berani, dan memiliki semangat juang yang tinggi. Contoh tokoh dengan bentuk wajah segitiga adalah Arjuna dan Yudhistira.
  • Gendhing (Bentuk Bulat): Tokoh-tokoh dengan wajah bulat dianggap memiliki sifat-sifat lemah lembut, penyabar, dan memiliki jiwa seni. Mereka cenderung bijaksana dan penuh kasih sayang. Contoh tokoh dengan bentuk wajah bulat adalah Semar, Bima, dan Nakula.
  • Tuping (Bentuk Segiempat): Tokoh-tokoh dengan wajah berbentuk segiempat dianggap memiliki sifat-sifat jahat, cerdik, atau licik. Mereka mungkin merupakan antagonis dalam cerita wayang. Contoh tokoh dengan bentuk wajah segiempat adalah Rahwana dan Duryodana.
  • Lingga (Bentuk Silindris): Tokoh-tokoh dengan wajah berbentuk silindris dianggap memiliki sifat-sifat spiritual dan berkepribadian tinggi. Mereka sering kali melambangkan dewa atau roh spiritual dalam cerita wayang. Contoh tokoh dengan bentuk wajah silindris adalah Dewa Wisnu dan Dewa Siwa.
  • Nagendra (Bentuk Seperti Capit Ular Naga): Tokoh-tokoh dengan wajah berbentuk seperti capit ular naga dianggap memiliki sifat-sifat mistis, memiliki kekuatan magis, atau memiliki kebijaksanaan tertinggi. Mereka cenderung menjadi tokoh penasihat atau orang bijaksana dalam cerita wayang. Contoh tokoh dengan bentuk wajah seperti capit ular naga adalah Batara Guru.

Alip Riduan
Alip Riduan

Ajaran Semar, atau sering disebut "Pancadarma Semar" dalam bahasa Jawa, mencakup nilai-nilai moral dan kearifan lokal yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah ajaran Semar dalam bahasa Jawa:

  • Asmara Kasunyatan: (Artinya: Kebijaksanaan dalam Keberadaan) Ajaran pertama Semar mengajarkan kebijaksanaan dalam setiap langkah dan keputusan. Kebijaksanaan mengantarkan kita menuju pemahaman yang lebih dalam akan kehidupan.
  • Wiwit Sakalambhine: (Artinya: Integritas Seutuhnya) Ajaran kedua adalah tentang integritas. Integritas memandu kita untuk hidup dengan kejujuran dan moralitas yang tinggi. Dengan integritas, kita mempertahankan keutuhan diri dan kejujuran dalam tindakan.
  • Bakti Lan Bhakti: (Artinya: Pelayanan dan Pengabdian) Ajaran ketiga mengajarkan pentingnya pelayanan dan pengabdian kepada sesama manusia dan lingkungan. Dengan pelayanan yang tulus, kita menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan alam sekitar.
  • Ati Ning Susila: (Artinya: Hati yang Tenang dan Mulia) Ajaran ini menekankan pentingnya memiliki hati yang damai dan mulia. Dengan ketenangan hati, kita dapat menghadapi tantangan hidup dengan bijaksana dan kedamaian batin.
  • Ati Ning Laku: (Artinya: Hati yang Tulus dalam Perilaku) Ajaran ini mengajarkan ketulusan dalam tindakan dan perilaku. Dengan hati yang tulus, kita dapat menginspirasi orang lain dan memberikan dampak positif dalam kehidupan mereka.
  • Cara Ning Sukma: (Artinya: Jiwa yang Sederhana) Ajaran ini mengajarkan kesederhanaan jiwa. Dengan jiwa yang sederhana, kita memahami bahwa kebahagiaan tidak terletak pada materi, melainkan pada keberadaan, cinta, dan kedamaian dalam diri.

Ajaran Semar adalah panduan berharga dalam membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik, penuh dengan kebijaksanaan, integritas, dan pelayanan kepada sesama.

Ajaran Semar tentang sikap dan mental mencakup nilai-nilai yang mendalam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi wayang kulit Jawa, ajaran ini dikenal sebagai "Pancadarma Semar." Berikut adalah ajaran Semar tentang sikap dan mental dalam bahasa Jawa:

  • Ati Ning Susila: (Artinya: Hati yang Tenang dan Mulia) Ajaran ini mengajarkan pentingnya memiliki hati yang tenang dan damai dalam menghadapi segala situasi. Dengan hati yang tenang, kita dapat menjalani hidup dengan kedamaian batin dan kebijaksanaan.
  • Ati Ning Laku: (Artinya: Hati yang Tulus dalam Perbuatan) Ajaran ini mengajarkan keutamaan ketulusan dalam tindakan dan perilaku. Dengan hati yang tulus, segala perbuatan akan mendapatkan berkah dan keberkahan.
  • Cara Ning Sukma: (Artinya: Jiwa yang Sederhana) Ajaran ini mengajarkan kesederhanaan dalam jiwa dan perilaku. Dengan jiwa yang sederhana, kita dapat menghargai nilai-nilai kecil dalam kehidupan dan merasa puas dengan apa yang dimiliki.
  • Ngunduh Mantu: (Artinya: Menghormati Orang Lain) Ajaran ini mengajarkan pentingnya menghormati orang lain, terutama orang yang lebih tua atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Dengan menghormati, kita membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia.
  • Nyawiji Aji: (Artinya: Menjaga Martabat Diri) Ajaran ini mengajarkan pentingnya menjaga martabat diri dan kehormatan. Dengan menjaga martabat, kita dapat hidup dengan integritas dan kejujuran yang tinggi.
  • Sugih Ati: (Artinya: Hati yang Kaya) Ajaran ini mengajarkan kekayaan hati yang melampaui materi. Dengan hati yang kaya kasih sayang, kebijaksanaan, dan ketulusan, kita dapat mencapai kebahagiaan yang sejati.

Dengan mengamalkan ajaran Semar tentang sikap dan mental ini, manusia diharapkan dapat hidup dengan penuh kedamaian, kebijaksanaan, dan kebahagiaan dalam setiap langkah kehidupannya.

Semar, salah satu tokoh dalam tradisi wayang kulit Jawa, memiliki sejumlah atribut atau ciri khas yang membuatnya mudah dikenali. Beberapa unsur atribut yang dimiliki Semar dalam pertunjukan wayang kulit Jawa meliputi:

  • Bentuk Tubuh: Semar biasanya digambarkan sebagai tokoh yang gemuk dan berpostur tubuh bulat. Bentuk tubuhnya yang berbeda dari tokoh-tokoh lainnya membuatnya mudah dikenali.
  • Wajah: Wajah Semar biasanya berbentuk bulat dan penuh senyum. Matanya besar dan ekspresif, mencerminkan kebijaksanaan dan kelembutan.
  • Hidung: Hidung Semar sering kali digambarkan besar dan melengkung, memberinya tampilan yang khas dan menggemaskan.
  • Rambut: Semar memiliki rambut panjang yang sering kali diikat atau digelung, menambahkan karakter tradisional pada penampilannya.
  • Pakaian: Semar mengenakan pakaian sederhana yang sering kali terdiri dari kain tradisional Jawa, sering kali berwarna cerah dan mencolok. Pakaian Semar mungkin tampak kusut atau tidak rapi, menunjukkan sifatnya yang sederhana.
  • Selendang: Semar biasanya membawa selendang atau kain panjang yang digunakan melilitkan tubuhnya. Selendang ini dapat memiliki warna-warni yang mencolok dan sering kali menjadi ciri khasnya.
  • Peran dalam Cerita: Semar adalah karakter bijaksana dalam tradisi wayang kulit Jawa. Dia sering kali memainkan peran penasihat atau pembimbing bagi tokoh-tokoh utama. Peran ini mencerminkan atribut kebijaksanaan, kesetiaan, dan kelembutan yang melekat padanya.

Dalam tradisi wayang kulit Jawa, Semar memiliki berbagai sebutan atau nama lain yang mencerminkan ajaran moral dan kearifan yang terkandung dalam karakter tersebut. Beberapa sebutan atau nama lain Semar yang mencerminkan ajaran moral meliputi:

  • Dalang Kulit:

    • Kakang Semar: Dalam pertunjukan wayang kulit, Semar sering disebut sebagai "Kakang Semar." Kata "Kakang" digunakan untuk menyapa kakak atau orang yang lebih tua secara hormat, mencerminkan penghormatan terhadap kebijaksanaan dan pengetahuan yang dimiliki oleh Semar.
  • Ajaran Moral:

    • Penyambut Budi: Semar juga dikenal sebagai "Penyambut Budi," yang berarti orang yang menyambut tamu dengan hati yang tulus dan ramah. Sebutan ini mencerminkan ajaran tentang kehangatan, keramahan, dan kesetiaan dalam berinteraksi dengan orang lain.
  • Kearifan Lokal:

    • Kangmas Semar: Sebutan "Kangmas" adalah gelar kehormatan dalam budaya Jawa yang digunakan untuk menyapa orang yang bijaksana, memiliki pengetahuan, dan dihormati oleh masyarakat. "Kangmas Semar" mencerminkan penghargaan terhadap kebijaksanaan dan kepemimpinan Semar dalam cerita wayang.
  • Penyembuh dan Pelindung:

    • Pengasih Sarwa Bhuwana: Semar kadang-kadang dikenal sebagai "Pengasih Sarwa Bhuwana," yang berarti pelindung dan penyembuh segala makhluk di alam semesta. Sebutan ini mencerminkan sifat Semar yang penuh kasih sayang dan kepedulian terhadap keberadaan semua makhluk.
  • Simbol Kebaikan:

    • Larasati: Larasati adalah sebutan atau gelar kehormatan yang mencerminkan keelokan dan kebaikan hati. Dalam konteks wayang kulit Jawa, Larasati sering digunakan untuk menyapa Semar, menggambarkan kesempurnaan moral dan karakternya yang baik.

Dari berbagai berbagai kajian yang telah dilakukan, dapat dirumusan beberapa ajaran moral kepemimpinan dari sosok Semar antara lain:

  • Asal-usul: Semar merupakan keturunan dewa namun tidak pernah bangga dengan nenek moyang dan asal usulnya. Kenyataannya, berperan sebagai manusia kelas bawah, namun memiliki kekuatan sebagai manusia kelas atas.
  • Rambut Putih: Kuncung putih yang bersih dapat melambangkan kebersihan hati dan niat yang tulus dalam memimpin. Kepemimpinan yang jujur, bersih, dan transparan adalah contoh yang baik bagi masyarakat.
  • Muka Tengadah, Mata, dan Bibir: Muka tengadah menunjukkan keberanian menghadapi tantangan, mata yang tajam melambangkan ketajaman intelektual dan pengawasan, sedangkan bibir yang bijaksana menggambarkan kebijaksanaan dalam berbicara.
  • Hidung Sunthi: Hidung sunthi melambangkan kepekaan terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat. Seorang pemimpin yang baik harus peka terhadap kebutuhan rakyat dan siap mendengarkan masukan serta keluhan mereka.
  • Telinga: Telinga yang baik adalah simbol mendengarkan dengan seksama. Pemimpin yang baik harus mendengarkan pendapat dan masukan dari bawahan serta rakyatnya, serta bersedia melakukan perubahan jika itu untuk kebaikan bersama.
  • Tangan Nuding: Tangan yang terbuka dan tidak terkepal mencerminkan kemurahan hati, kesediaan untuk membantu, serta pelayanan kepada masyarakat. Kepemimpinan yang penuh kasih sayang dan empati mampu membawa perubahan positif dalam masyarakat.
  • Badan Bunder Seser (Ngropoh): Badan yang bulat melambangkan kelapangan hati dan kesediaan untuk menerima perbedaan. Pemimpin yang inklusif dan mampu menghargai keragaman adalah teladan yang baik.
  • Pocong Dagelan: Kemampuan untuk bersikap humoris dan tidak terlalu serius dalam menghadapi tantangan adalah ciri kepemimpinan yang adaptif. Humor juga dapat mengurangi ketegangan dan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman.
  • Pakaian Kampuh Poleng: Pakaian yang berwarna campuran mencerminkan keragaman dan keharmonisan. Pemimpin yang menghormati keragaman budaya dan agama dalam masyarakatnya akan memperkuat ikatan sosial dan menciptakan perdamaian.
  • Posisi Semar Jongkok sekaligus Berdiri: Pemimpin yang memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan perubahan, sambil tetap memiliki dasar yang kokoh dalam prinsip-prinsipnya, akan mampu membimbing masyarakat melalui berbagai tantangan.

Sebagai penutup artikel ini, penting untuk diingat bahwa pencegahan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga penegak hukum saja, namun juga tanggung jawab setiap individu dalam masyarakat. Kepemimpinan yang bijaksana, integritas yang tinggi dan kesadaran akan nilai-nilai etika adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang bebas korupsi.

Dengan menerapkan nilai-nilai kepemimpinan Semar yang meliputi kebijaksanaan, etika, dan empati, kita dapat membangun masyarakat yang bersih, adil, dan jujur. Mari kita berjanji bersama untuk menghindari tindakan korupsi sehari-hari, mengajarkan nilai-nilai integritas kepada generasi mendatang, dan menciptakan dunia yang lebih baik untuk semua.

Semoga artikel ini dapat memberikan wawasan dan inspirasi untuk terus memerangi korupsi, menuju masyarakat yang lebih beretika dan berkeadilan. Terima kasih atas perhatian Anda. Mari kita bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik tanpa korupsi.

Kuntjoro, I., & Dharmawan, A. (2010). Semar: Pemimpin yang Bijaksana dalam Wayang Kulit Jawa. Penerbit Kanisius.

Ardian Kresna, Punakawan Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2012)

Maharsi, Simbolisme dan keselarasan sosio --budaya Jawa dalam Lakon Wayang Babad Wanamarta: Kajian Sikap dan Pandangan Hidup Jawa, (Yogyakarta: Tesis Program Studi Antropologi Pascasarjana UGM Yogyakarta, 1999)

---------------,Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (Jakarta: Gunung Mas, 1974) Sunarto, Wayang Kulit Purwa dalam Pandangan Sosial Budaya (Yogyakarta:Arindo Nusa Media, 2009)

Suseno, Frans Magnes., Wayang dan Panggilan Manusia Jawa (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995)

Tuti Sumukti, Semar Dunia Batin Orang Jawa (Yogyakarta : Galang Pers, 2005)

Wispra, Ki., "Wayang Panakawan" dalam Majalah Pedhalangan Pandjangmas, Tahun III, No 10, 22 November 1955, hal 19.

Wispra, Ki., "Wayang Panakawan" dalam Majalah Pedhalangan Pandjangmas, Tahun IV, No 1, 31 Januari 1956, hal 13-14.

Zarkasi, Effendi. 1996. Unsur-Unsur Islam Dalam Pewayangan Telaah Terhadap Penghargaan Walisanga terhadap Wayang Untuk Media dakwah Islam. Solo: Yayasan Mardikintoko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun