**Chapter 3: Mengubah Rasa Takut Menjadi Cinta**
---
Arya duduk di meja kerjanya, menatap secangkir kopi yang hampir habis. Sudah berminggu-minggu sejak insiden malam itu di taman, dan sejak itu, Maya tidak pernah menghubunginya. Arya mencoba bersikap biasa, mengalihkan perhatian dengan bekerja lebih keras di agensinya, tetapi hatinya selalu tertuju pada Maya. Apakah Maya sedang baik-baik saja? Apakah ia terlalu memaksa? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar di pikirannya.
Meskipun begitu, Arya tidak menyerah. Ia tidak lagi berusaha menghubungi Maya setiap hari, tetapi ia ingin Maya tahu bahwa ia tetap peduli. Setiap kali ia mendengar Maya sedang sibuk dengan proyek baru, Arya akan mengirimkan secangkir kopi favoritnya melalui layanan pengantaran, atau seikat bunga dengan pesan singkat yang berisi kutipan dari buku-buku favorit Maya. Dia tidak menuntut balasan, tidak mengharapkan apa pun, kecuali bahwa Maya tahu dia masih ada, masih menunggu.
"Untuk hari yang melelahkan dan pikiran yang butuh penyegaran, semoga secangkir kopi ini bisa sedikit meringankan bebanmu. Tetap semangat, Maya." Begitu bunyi pesan singkat yang ia kirimkan bersama sekotak kopi cappuccino, salah satu favorit Maya.
Dan meskipun Maya jarang membalas pesan-pesan itu, Arya bisa merasakan perubahan kecil pada respons Maya. Maya tidak lagi sepenuhnya mengabaikan Arya. Kadang-kadang, Maya akan membalas dengan ucapan terima kasih, atau sebuah emotikon senyum, dan meskipun itu terasa seperti isyarat kecil, bagi Arya itu berarti banyak. Itu adalah tanda bahwa Maya mulai menerima keberadaannya.
---
Suatu hari, di tengah rutinitasnya yang padat, Arya menerima sebuah pesan dari Maya. Pesan yang tak ia duga akan datang.
"Arya, bisakah kita bertemu? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Jantung Arya berdebar kencang saat membaca pesan itu. Ia tak tahu apa yang akan dibicarakan Maya, tetapi ia merasa ini adalah kesempatan yang telah ia tunggu-tunggu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di kawasan Kemang, tempat yang tenang dan nyaman, jauh dari hiruk-pikuk kota.
Arya tiba lebih awal. Ia memesan dua cangkir kopi --- satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Maya. Ketika Maya akhirnya tiba, Arya melihat kelelahan di wajahnya, tetapi juga ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat Arya merasa sedikit lega. Mungkin itu adalah tekad yang terpancar dari mata Maya, atau senyuman tipis yang terukir di bibirnya.
"Terima kasih sudah mau bertemu," kata Maya dengan suara pelan, menatap secangkir kopi di depannya. "Aku... aku butuh waktu untuk berpikir, tentang banyak hal."
Arya hanya mengangguk. "Tentu saja, Maya. Aku mengerti."
Maya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku takut, Arya. Aku takut untuk percaya lagi. Setelah apa yang terjadi, aku merasa seolah-olah seluruh duniaku hancur. Tunanganku dulu adalah seseorang yang aku pikir bisa aku percayai sepenuhnya. Tapi dia... dia menghancurkan semua itu. Setiap kali aku merasa ingin membuka diri pada seseorang, aku teringat pada rasa sakit itu. Dan aku takut... aku takut kamu akan melakukan hal yang sama."
Arya mendengarkan dengan seksama, merasakan kesedihan mendalam di balik kata-kata Maya. "Aku mengerti, Maya. Aku tidak akan berpura-pura tahu bagaimana rasanya berada di posisimu. Tapi yang bisa aku katakan adalah, aku bukan dia. Aku tidak akan menyakiti hatimu. Aku di sini bukan untuk memaksa atau menuntut apa pun. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa ada seseorang yang bersedia menunggumu, tanpa syarat."
Mata Maya berkaca-kaca mendengar kata-kata Arya. Ia merasa tersentuh, tetapi juga bimbang. "Bagaimana jika aku tidak bisa berubah, Arya? Bagaimana jika aku tidak pernah bisa mempercayai siapa pun lagi?"
Arya mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Maya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Maya. Aku tidak mengharapkan kamu berubah dalam semalam. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada di sini, apa pun yang terjadi. Aku tidak meminta kamu untuk percaya padaku sekarang, atau besok. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu."
Air mata Maya mulai mengalir. "Kenapa kamu begitu baik padaku? Aku tidak pernah memberi apa pun padamu. Aku bahkan sering kali mengabaikanmu."
Arya tersenyum lembut. "Karena aku melihat dirimu, Maya. Aku melihat seseorang yang luar biasa, seseorang yang berani dan penuh cinta, meskipun kamu merasa hancur. Aku jatuh cinta pada dirimu yang sebenarnya, bukan pada bayangan atau harapan akan siapa kamu seharusnya. Dan aku percaya bahwa suatu hari nanti, kamu akan bisa merasakan cinta lagi."
Maya terisak, tetapi kali ini bukan karena rasa sakit, melainkan karena perasaan lega. Ia merasa seperti beban yang selama ini menekan dadanya mulai terangkat. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk mencintai lagi, tetapi setidaknya untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin saja ada harapan.
"Aku akan mencoba, Arya. Aku tidak tahu berapa lama yang kubutuhkan, tapi aku akan mencoba," kata Maya dengan suara bergetar.
Arya mengangguk, merasa hatinya hampir meledak oleh kebahagiaan. "Itu sudah lebih dari cukup, Maya. Aku akan menunggu, seberapa pun lama itu."
---
Minggu-minggu berikutnya terasa berbeda. Meskipun tidak ada perubahan besar yang langsung terjadi, Maya mulai lebih terbuka pada Arya. Mereka sering bertemu untuk makan malam atau sekadar minum kopi bersama. Maya mulai berbicara tentang hal-hal yang lebih personal, tentang masa kecilnya, tentang mimpinya yang belum tercapai, dan bahkan tentang luka-luka yang masih ia sembunyikan.
Arya selalu mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela, tanpa menekan. Ia memberikan Maya ruang untuk berbicara, untuk merasakan, dan untuk sembuh dengan caranya sendiri. Meski kadang-kadang Maya masih merasa takut, ia tahu bahwa Arya tidak akan pergi ke mana-mana.
Di sisi lain, Arya juga merasakan kegelisahan. Ia takut Maya tidak akan pernah bisa membuka hatinya sepenuhnya, bahwa mungkin Maya akan selalu melihat bayangan masa lalunya di setiap pria, termasuk dirinya. Tetapi setiap kali perasaan itu muncul, Arya akan mengingat senyum Maya, dan itu sudah cukup untuk membuatnya tetap berjuang.
---
Suatu sore, setelah mereka menghabiskan waktu bersama di sebuah taman kota, Maya menghentikan langkahnya dan menatap Arya dengan penuh keseriusan.
"Arya, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Maya dengan nada yang membuat Arya merasakan kegugupan yang aneh.
"Ada apa, Maya?" tanya Arya dengan lembut.
Maya menunduk, mengambil napas dalam-dalam, lalu menatap Arya lagi. "Aku... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi aku rasa aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang sudah lama aku pikir tidak akan pernah bisa aku rasakan lagi."
Arya merasakan detak jantungnya berdegup kencang. "Maya, kamu tidak perlu terburu-buru. Aku---"
"Tidak, Arya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mulai percaya. Sedikit demi sedikit, aku mulai percaya bahwa mungkin cinta itu ada. Dan mungkin... aku bisa merasakannya lagi. Tapi aku masih takut. Aku masih butuh waktu."
Arya tersenyum, merasa hatinya hampir meledak oleh kebahagiaan. "Itu sudah lebih dari cukup, Maya. Aku di sini, dan aku akan selalu ada di sini."
Maya meraih tangan Arya, menggenggamnya erat. "Terima kasih, Arya. Terima kasih sudah bersabar denganku. Aku tidak tahu apakah aku bisa mengatakan ini, tapi... aku rasa, aku mulai mencintaimu."
Arya terdiam, merasakan air mata kebahagiaan menggenang di matanya. Ia memeluk Maya dengan lembut, merasakan tubuh wanita itu yang masih sedikit gemetar. "Aku mencintaimu, Maya. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu."
Maya tersenyum di pelukan Arya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kehangatan yang sudah lama hilang dari hatinya. Perasaan takut itu masih ada, tetapi sekarang ia tahu bahwa ia tidak harus menghadapinya sendirian.
---
Beberapa bulan kemudian, hubungan mereka semakin kuat. Maya masih belajar untuk membuka dirinya, untuk mempercayai Arya sepenuhnya, tetapi dengan setiap hari yang berlalu, ia merasa semakin yakin bahwa Arya adalah orang yang benar-benar mencintainya, yang tidak akan pernah menyakitinya. Mereka berbicara tentang banyak hal, tentang masa depan, tentang impian, dan tentang kehidupan yang ingin mereka jalani bersama.
Suatu sore, di sebuah taman kecil yang penuh dengan bunga, Arya mengajak Maya berjalan-jalan. Mereka duduk di bangku taman, menikmati suasana yang tenang dan damai. Arya menggenggam tangan Maya dengan erat, dan untuk
 pertama kalinya, Maya merasa tidak ada ketakutan yang menahan hatinya.
"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu, Maya," kata Arya dengan lembut.
Maya menatapnya, merasa jantungnya berdebar-debar. "Apa itu, Arya?"
Arya mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya. Dengan hati-hati, ia membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah cincin yang sederhana namun indah. "Maya, aku tahu kita masih dalam perjalanan ini, dan aku tahu kamu masih belajar untuk mempercayai. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Maya, maukah kamu menikah denganku?"
Maya terdiam, menatap cincin itu dengan air mata yang mulai mengalir. Hatinya terasa hangat, penuh dengan perasaan yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Ia melihat ke dalam mata Arya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar siap.
Dengan suara yang bergetar namun penuh keyakinan, Maya menjawab, "Iya, Arya. Aku mau menikah denganmu. Aku mencintaimu."
Arya tersenyum, menahan air mata kebahagiaannya. Ia menyematkan cincin itu di jari Maya, dan mereka berdua berpelukan erat, merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Maya tahu, perjalanannya masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk melangkah maju, bersama pria yang benar-benar mencintainya.
Dan di sana, di tengah-tengah taman yang penuh bunga, mereka berdua memulai babak baru dalam hidup mereka, sebuah babak yang penuh dengan cinta, harapan, dan janji akan kebahagiaan yang abadi.
**End of Chapter 3**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H