Arya tiba lebih awal. Ia memesan dua cangkir kopi --- satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Maya. Ketika Maya akhirnya tiba, Arya melihat kelelahan di wajahnya, tetapi juga ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat Arya merasa sedikit lega. Mungkin itu adalah tekad yang terpancar dari mata Maya, atau senyuman tipis yang terukir di bibirnya.
"Terima kasih sudah mau bertemu," kata Maya dengan suara pelan, menatap secangkir kopi di depannya. "Aku... aku butuh waktu untuk berpikir, tentang banyak hal."
Arya hanya mengangguk. "Tentu saja, Maya. Aku mengerti."
Maya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku takut, Arya. Aku takut untuk percaya lagi. Setelah apa yang terjadi, aku merasa seolah-olah seluruh duniaku hancur. Tunanganku dulu adalah seseorang yang aku pikir bisa aku percayai sepenuhnya. Tapi dia... dia menghancurkan semua itu. Setiap kali aku merasa ingin membuka diri pada seseorang, aku teringat pada rasa sakit itu. Dan aku takut... aku takut kamu akan melakukan hal yang sama."
Arya mendengarkan dengan seksama, merasakan kesedihan mendalam di balik kata-kata Maya. "Aku mengerti, Maya. Aku tidak akan berpura-pura tahu bagaimana rasanya berada di posisimu. Tapi yang bisa aku katakan adalah, aku bukan dia. Aku tidak akan menyakiti hatimu. Aku di sini bukan untuk memaksa atau menuntut apa pun. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa ada seseorang yang bersedia menunggumu, tanpa syarat."
Mata Maya berkaca-kaca mendengar kata-kata Arya. Ia merasa tersentuh, tetapi juga bimbang. "Bagaimana jika aku tidak bisa berubah, Arya? Bagaimana jika aku tidak pernah bisa mempercayai siapa pun lagi?"
Arya mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Maya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Maya. Aku tidak mengharapkan kamu berubah dalam semalam. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada di sini, apa pun yang terjadi. Aku tidak meminta kamu untuk percaya padaku sekarang, atau besok. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu."
Air mata Maya mulai mengalir. "Kenapa kamu begitu baik padaku? Aku tidak pernah memberi apa pun padamu. Aku bahkan sering kali mengabaikanmu."
Arya tersenyum lembut. "Karena aku melihat dirimu, Maya. Aku melihat seseorang yang luar biasa, seseorang yang berani dan penuh cinta, meskipun kamu merasa hancur. Aku jatuh cinta pada dirimu yang sebenarnya, bukan pada bayangan atau harapan akan siapa kamu seharusnya. Dan aku percaya bahwa suatu hari nanti, kamu akan bisa merasakan cinta lagi."
Maya terisak, tetapi kali ini bukan karena rasa sakit, melainkan karena perasaan lega. Ia merasa seperti beban yang selama ini menekan dadanya mulai terangkat. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk mencintai lagi, tetapi setidaknya untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin saja ada harapan.
"Aku akan mencoba, Arya. Aku tidak tahu berapa lama yang kubutuhkan, tapi aku akan mencoba," kata Maya dengan suara bergetar.