Rasanya darah kami langsung membeku. "Deni di sini dari tadi," jawabku dengan suara gemetar.
Wajah Dito langsung pucat. "Tapi aku lihat ada yang berdiri di dekat kompor, terus dia kayak cuma diam aja sambil senyum..."
Kami langsung lari ke dapur dengan ponsel menyala. Saat sampai di sana, ternyata nggak ada siapa-siapa. Dapur kosong, cuma ada bayangan dari benda-benda yang berserakan di atas meja. Tapi ada yang aneh; di atas meja, ada piring yang berisi satu potong kue ulang tahun kecil dengan lilin yang masih menyala.
Dito menelan ludah, matanya menatap lilin itu dengan ragu-ragu. "Siapa yang naruh ini di sini?"
Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil dari sudut dapur. Kami semua menoleh dan melihat sosok anak kecil dengan baju lusuh dan rambut panjang acak-acakan sedang duduk di lantai, menatap lilin itu.
"Kalian lucu," katanya, suaranya kecil tapi jelas. "Aku juga mau main."
Kami semua terpaku, nggak tahu harus bagaimana. Lalu, Dito---dengan entah keberanian dari mana---mendekati anak kecil itu. "Kamu... mau ikut main petak umpet?"
Anak kecil itu mengangguk, senyumnya melebar. "Aku yang jaga ya?"
Dan, entah kenapa, kami semua langsung mengangguk. Rasanya aneh banget, tapi kayak ada yang memaksa kami untuk setuju.
Dito mulai menghitung sambil menutup matanya. Anak kecil itu berdiri dan mulai berjalan keluar dari dapur. Kami, tanpa berpikir panjang, ikut berlari mengikuti. Begitu kami semua keluar dari rumah dan melihat anak kecil itu berdiri di teras, kami langsung merasa aneh. "Sekarang giliran kamu sembunyi," katanya sambil tertawa.
Dito membuka mata, masih menghitung dengan semangat. Begitu dia sadar kami semua sudah di luar, dia langsung berhenti dan berbalik. "Eh, kenapa kalian keluar? Aku belum nemu kalian semua!"