Mohon tunggu...
Brilliant Dwi I
Brilliant Dwi I Mohon Tunggu... Freelancer - Memuat Opini yang

Mahasiswa Pendidikan UIN Jakarta | Acap membuat komik di Instagram @sampahmasyarakart | Sedang Belajar Menulis | #SalamAlinea

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bung, Sekolah adalah Hutan Rimba!

26 Agustus 2020   23:25 Diperbarui: 27 Agustus 2020   18:52 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu siswa menguap di sela upacara bendera pada hari pertama masuk sekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 243 Palembang, Sumatera Selatan, Senin (16/7). (ANTARA FOTO/Feny Selly)

Sepanjang sekolah dulu, tak sekalipun terpikir bahwa saya akan berkuliah di fakultas pencetak guru-guru. Ya mana sempat juga mikir ke arah sana. Anak-anak IPA biasanya memang terkenal kaku-kaku, dan saya salah satu diantara mereka. Dulu yang ada di kepala saya waktu memilih jurusan, ya cuman teknik, teknik, dan teknik saja.

Buat anak IPA macam saya, keterima di kampus negeri dengan jurusan teknik adalah sebuah prestasi tersendiri.

Ia semacam sertifikasi kelayakan anak IPA, gitu. Anda ingat scene dimana Spongebob mencoba masuk ke Salty Spitoon?

Sebelum masuk ke ring paling garang seantero Bikini Bottom itu, ia terlebih dulu diuji kelayakannya. Kalau lolos KKM kejantanan, ia boleh masuk.

Sialnya, Spongebob gak masuk-masuk karena memang dibanding ikan bertato hati itu, busa macam Spongebob jelas kalah.

In case anda gak paham seberapa kerennya jurusan teknik di mata anak IPA--apalagi kalau lolos jalur undangan--begini kira-kira reka adegannya kalau saya pinjam scene Salty Spitoon itu.

Mari kita berandai. Ceritanya ada anak IPA pingin masuk ke Salty Spitoon.

"Selamat datang di Salty Spitoon. Seberapa hebatkah kamu?" Tanya penjaga agak menantang.

"Seberapa hebatkah aku?" Jawab anak IPA itu. Si penjaga cuman mengangguk saja. Masih dengan tatapan ngeyek dengan tato 'Ibu' di dadanya.

"Selepas SMA, aku kuliah." Lanjut si anak IPA.

"Terus?" Sambar si penjaga.

"Di jurusan teknik!" Teriak si anak IPA sambil melotot ke arah si penjaga.

"Wow, oke silahkan masuk!" Jawab si penjaga kaget. Lantas ia langsung membuka pintu dan kembali berjaga.

Begitu kira-kira. Sebuah reka adegan aneh tapi semoga anda paham maksudnya. Percayalah bahwa disudut-sudut sekolah yang sepi, masih ada pemikiran usang macam itu.

Semakin ke sini saya semakin merasa beruntung karena dulu tidak lolos di jurusan teknik. Selain karena susah, menurut saya berkuliah di fakultas pendidikan itu menyenangkan dan agak-agak menantang.

Sebagai mahasiswa pendidikan, saya paham bahwa memang saya dicetak sebagai calon guru. Mulai dari penampilan, sampai pemikiran. Saya dirancang supaya setelah lulus bisa jadi orang yang digugu dan ditiru.

Kuliah pendidikan membuat saya sadar bahwa semua orang , bisa jadi orang cerdas. Tapi tidak semua orang cerdas bisa melakukan transfer ilmu.

Alasannya sederhana: mengajar itu sulit. Butuh kesabaran ekstra dan tekniknya rumit. Jangankan mengajar. Wong meniup gelembung saja perlu teknik, kok.

Dalam hal ini kampus juga gak main-main. Karena mengajar itu sulit, kampus juga serius mempersiapkan mahasiswanya agar siap mengajar.

Pertama-tama kampus memberikan setumpuk teori mengenai pendidikan. Mulai dari teori mengenai psikologi sampai perancangan kurikulum. 

Setelah lolos di teori, kampus juga membuat praktik mengajar kecil-kecilan. Semacam magang, tapi magang jadi guru. Magang mengajar di salah satu sekolah gitu deh. Kami menyebutnya PPKT (Praktik Profesi Keguruan Terpadu) atau PLP (Pranata Laboratorium Pendidikan).

Sampai dengan tulisan ini anda baca, saya masih dalam tahap pematangan teori. Belum sampai pada tataran praksis.

Tapi meskipun begitu, saya pernah punya pengalaman mengajar yang sampai dengan sekarang masih membekas di kepala. Itu bikin saya mikir kalok mengajar ternyata gak segampang yang saya lihat.

Seingat saya, hari itu sudah masuk pertengahan bulan ramadan. Saya juga baru semester dua, masih bocah kemarin sore di dunia ajar-mengajar.

Saya kebetulan diminta menjadi fasilitator sekaligus pemateri di sebuah kegiatan yang di selenggarakan oleh salah satu organisasi kepemudaan di Tangerang Selatan.

Sekilas memang tidak ada yang menarik dari kegiatan itu. Mirip dengan kegiatan-kegiatan di bulan ramadan pada umumnya.

Namun, ada satu hal yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk bergabung: Pesertanya anak-anak. Mulai dari bocah TK sampai anak-anak SD yang mulai kenal cinta.

Bekerja dengan anak-anak adalah dunia baru bagi saya. Biasanya, saya diminta untuk menghandle acara yang pesertanya remaja, yang notabene sudah agak bisa diatur.

Tapi kali ini, anak-anak. Kerjaan saya akan jauh lebih berat dan lebih menantang. Setidaknya ada beberapa kesulitan yang saya hadapi selama berpartisipasi dalam kegiatan itu.

Pertama, saya baru tau kalau anak-anak itu lebih sulit diatur dari yang saya pikirkan. Mudah bosan dan petakilan.

Sebagai pengajar, tentu memahami psikologi anak adalah sebuah kewajiban yang harus tuntas. Karena ini ada kaitannya dengan bagaimana perilaku anak di kelas yang kadang lebih random dan susah ditebak macam teka-teki harta karun.

Anak-anak SD, memang sedang menjalani fase eksploratif. Mereka memang sedang gemar-gemarnya mencari tau hal-hal baru di sekitar.

Imajinasi mereka kadang jauh di luar dugaan. Itulah mengapa, ketika belajar, beberapa dari mereka kadang sangat susah untuk fokus dan duduk anteng.

Saya sangat kewalahan dibuatnya. Bawaanya melulu emosi. Untungnya saya juga gak sampai batal puasa. Mungkin kalau hari itu saya di gaji, saya akan menuntut gaji yang sepadan dengan satu unit mobil beserta CD orisinilnya Raisa di dalamnya.

Setidaknya ini hal dasar yang perlu diketahui oleh pengajar pemula macam saya. Memperlakukan anak-anak tentu beda dengan orang dewasa. Ketika anak lari-larian saat KBM berlangsung, memarahi mereka bukan solusi.

Mereka yang masih bocah bila di hukum terlalu keras akan mengalami trauma psikologis yang biasanya membekas.

Ini artinya, pendekatan psikologi jadi penting dan gak boleh dinomor duakan. Percayalah, sekalipun anda gak jadi guru, anda akan tetap menemui fase ini saat punya anak.

Kedua, anak-anak menuntut pengajar untuk senantiasa kreatif. Hari itu bahkan saya sampai riset di internet bagaimana cara mengajar anak-anak.

Karena mereka mudah bosan, setiap materi berlangsung, saya pasti selingi dengan hiburan-hiburan dan metode yang beragam.

Dalam melakukan pembelajaran, pengajar dituntut untuk selalu menemukan metode mengajar mana yang cocok dan tidak membosankan agar transfer ilmu tetap berjalan. Tidak kaku dan kudu luwes. Ini yang kadang sering terjadi.

Beberapa dari pengajar kita, kadang justru memaksakan metode mengajar mereka di situasi siswa yang belum tentu sama. Bagi mereka mungkin itu jadi ciri khas.

Tapi buat siswa, itu berbahaya. Karena ya mana bisa kita memancing ikan laut dengan umpan kolam air tawar? Beda medan, ya beda perlakuan.

Ketiga, ketika sudah berhadapan dengan anak-anak, banyak hal diluar kepala akan terjadi. Ini yang paling bikin saya ngeh bahwa menjadi orangtua itu sulit.

Hari itu, selain mengajar, saya juga mendidik. Saya mengawal kegiatan bocah-bocah itu dari mulai bangun sahur sampai dengan berbuka, lalu tidur.

Memastikan saya tidak batal puasa saja sudah sulit. Lha ini saya juga diminta menjaga dan memastikan supaya bocah itu gak batal puasa.

Saya juga kudu jadi contoh yang baik kalau begitu ceritanya. Menjadi orang yang sabar, tidak pemarah, dan tidak mesuhan. Bagi orang kayak saya, itu sulit luar biasa.

Menurut saya, yang membuat mendidik menjadi istimewa dan bernilai pahala adalah kita sering berjumpa dengan momen-momen ngehek diluar kepala.

Misalnya saja, di kegiatan itu, saya terpaksa bangun dari tidur jam dua pagi, karena mendengar suara tangisan dari bocah yang kebelet boker tapi takut ke WC.

Mata saya merah, nyawa saya belum kumpul, tapi harus dengan penuh senyuman menonton dan mengawasi bocah itu anteng duduk di WC. Aseli, kalau diingat-ingat lagi mukak saya sebelas-dua belas sama zombie.

Bahkan saya hari itu menemukan kondisi dimana saat sedang asyik menjelaskan, ada bocah yang tidak mendengarkan dan malah dengan khidmat berbicara dengan pensil dan penghapus.

***

Sebenarnya, mengajar--siapapun subjeknya--itu sulit. Berkuliah di fakultas pendidikan membuka mata saya bahwa menjadi guru itu pekerjaan mulia. Itu karena gak semua orang tahan berhadapan dengan orang lain. Perlu kesabaran dan teknik yang mapan.

Kalaupun ada guru yang ngajarnya bikin bingung, khilaf menampar atau mencubit Anda, bagi saya itu cuman persoalan jam terbang dan peristiwa sial saja. Karena percayalah, siswa kita memang susah ditebak kelakuannya. Sekolah juga hutan rimba yang liar tapi punya aturan main yang tak boleh dilanggar.

Menjadi guru bagi saya adalah sebuah pekerjaan berat. Tugasnya melakukan pengorbanan untuk membentuk ekosistem hutan rimba. Ada singa, ada macan, ada orangutan. Tugas guru adalah memastikan mereka semua dapat makan dan bisa hidup sejahtera berdampingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun