Mari awali tulisan ini dengan berbagi latar belakang penulis sebagai siswa yang pada masanya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Selayaknya siswa yang menganggap dirinya bukan siapa-siapa atau bahkan apa-apa, saya bukanlah orang yang handal dalam bersosialisasi. Jangankan bicara panjang lebar, mengucap hai saja saya grogi.Â
Dalam ilmu psikologi kita mengenal 9 kecerdasan pada manusia, di mana salah satunya berbicara tentang kemampuan untuk memahami dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain atau yang kita kenal sebagai kecerdasan interpersonal. Jika dikaitkan dengan saya semasa SMA, maka saya bukanlah orang yang mempunyai kecerdasan tersebut.Â
Seiring dengan dinamika dan benturan-benturan kecil di sekolah dan organisasi, hal-hal semacam kemampuan komunikasi, manajemen konflik, dan manajemen situasi pun akhirnya turut membaik. Bekal sederhana yang saya punya inilah yang kemudian diawal menyelamatkan saya saat mengalami transisi dari siswa menjadi mahasiswa (Baca: Ospek).
Sekarang, bayangkan kembali ada seorang siswa yang tidak punya "bekal" sebagaimana sedikit banyak penulis alami ketika dihadapkan pada ospek yang tidak jelas arah dan muaranya kemana. Pada akhirnya mereka cuma mengalir saja, tak paham dibawa kemana oleh siapa. Bingung? Iya. Pusing? Tentu.
Sebagaimana sebuah perkenalan, maka sebaik-baik sebuah perkenalan adalah perkenalan yang menyenangkan. Begitupun dengan Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK). Singkatan ini mungkin tidak asing bagi beberapa pembaca, terutama untuk pembaca yang pernah atau masih berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Â
Pertama-tama, mari kita berandai bahwa kejadian sebagaimana yang saya tulis diatas benar-benar terjadi. Apakah dalam praktiknya hari ini ada? tentu, angkanya saja yang tidak pasti. Namun, yang menjadi masalah dan alasan mengapa saya memutuskan untuk membuat tulisan ini adalah karena pada faktanya hari ini PBAK tidak hanya memuat kepentingan kampus untuk mengenalkan budaya akademik.Â
Lebih daripada itu, PBAK malah condong sebagai ajang untuk saling menunjukkan taring organisasi ekstra kampus mana yang paling besar dan tajam.Â
Raksasa mana yang berkuasa akan punya pengaruh terhadap siapa saja yang mengisi bangku kepanitiaan, yel-yel bernada apa yang dinyanyikan, terlebih lagi mereka tentu punya akses terhadap segudang makanan (Baca: Maba).Â
Sementara itu, bagian lain dari persaingan ini akan berusaha untuk masuk dan mencuri makanannya diam-diam. Sebuah analogi yang berantakan, namun penulis berharap tidak mengurangi maksud yang hendak disampaikan.Â
Hal sebagaimana disampaikan oleh penulis sebelumnya tentu merupakan hal yang sangat biasa, sudah menjadi rahasia umum bahwa memang pada pelaksanaannya PBAK kental dengan praktik politik yang merupakan ujung tombak perkaderan di mana pada momen ini jelas bahwa beberapa kader dari berbagai macam organisasi secara persuasif mulai memetakan mahasiswa baru sebagai calon kadernya. Â
I have no problem with that. Peduli setan. Selama hal tersebut masihlah mengesampingkan kerakusan dan mengedepankan nilai keadilan serta keberlangsungan acara, menurut penulis sah-sah saja. Hal yang seharusnya menjadi perhatian bersama adalah bahwa jangan sampai PBAK sebagai ajang pengenalan, justru menjadi acara yang rusak atau bahkan menghilangkan esensi dari "perkenalan yang menyenangkan".Â