Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Killer yang Dikenang Sepanjang Masa

25 November 2019   18:16 Diperbarui: 9 Desember 2019   20:42 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ngomongkeun soal guru mah abdi resepna ka guru-guru yang killer. Kunaon resep? Karena guru-guru killer itu terlihat eksotik dan juga nyentrik. Ada saja tingkahnya yang bikin kita terpana, kaget plus langsung mingkem tak berkutik. Bahkan hingga sekarang, ada dua orang guru/dosen killer yang masih nancep di hati saya.

Pertama, dosen penguji skripsiku. 

Siapa sih yang tidak mengenal beliau? Satu fakultas pasti langsung memberikan komentar-komentar--umumnya sih komentar negatif--tentang beliau. Walaupun kadang, yang memberikan komentar itu sama sekali belum pernah berinteraksi langsung dengan beliau. Wah, keren ya. Jadi dosen killer saja sudah bikin beliau ngetop, apalagi kalau tiba-tiba beliau berubah menjadi malaikat yang super duper baik hati. Hehehe.

Oya, nama beliau Zaitun, tapi mahasiswa di kampusku banyak yang memanggilnya dengan sebutan Bu Atun. Dan selama kuliah di Fakultas Peternakan, tepatnya di Jurusan Produksi Ternak, ada banyak kenangan yang saya ukir bersama Bu Atun. Mulai jadi mahasiswi terbaik di setiap mata kuliah beliau, sampai kemudian dipercaya menjadi asisten lab (laboratorium, red) asuhan beliau.

"Kamu itu kok doyan banget sih ngikutin saya. Kalo mahasiswa lain udah pada jaga jarak, kamu malah sengaja ngambil mata kuliah pilihan yang berhubungan dengan saya."

Hihihi... Rasanya mau ketawa saja waktu mendengar beliau ngomong begitu. Ya, si Ibu ge-er saja deh. Saya tuh bukannya sengaja mau ngikutin ibu, tapi memang sudah niat buat ambil skripsi yang berhubungan dengan reproduksi ternak--walaupun banyak ditakut-takuti senior bakal lama lulusnya kalau ambil skripsi tentang itu. Secara--masih kata senior, dosen-dosen mata kuliah itu terkenal killer-killer kabeh. Dan karena dosen mata kuliah tersebut sedikit--termasuk sang ibu nan cantik ini, jadi kesannya saya seperti ngikutin beliau.

Untungnya, zaman saya kuliah dulu, kita diberi kebebasan menentukan dosen pembimbing. Dan demi penghematan biaya penelitian, saya memang sengaja hunting dosen-dosen yang mempunyai proyek penelitian. Dan alhamdulillah, Bu Atun tidak termasuk di dalamnya.

Tapi tidak menjadi dosen pembimbing, bukan berarti bebas lepas gitu dari beliau. Saat tahu kalau beliau yang bakal menjadi dosen penguji skripsiku, ya Tuhan, sempat panas-dingin juga nih saya.

Masih ingat reaksi beliau saat saya mengasihkan undangan seminar hasil penelitian, "Hai, akhirnya kita ketemu lagi." Dengan senyum yang sedikit sinis gitu. Alamak!

Dan ketika sidang skripsi dimulai...

Jeng jeng jeng... sepertinya Bu Atun tahu kalau saya sudah panas dingin tak karuan dalam menghadapi sidang skripsi. Tapi kulihat beliau malah asyik ngerumpiin saya bersama dosen-dosen penguji yang lain. Ya, Tuhan. Yang ada saya makin deg-degan dong.

Tapi syukur alhamdulillah, Bu Atun sama sekali tidak menghambat langkahku--seperti gosip yang selama ini beredar. Bahkan di akhir sidang, si Ibu sempat memelukku seraya berkata, "Perfecto. Akhirnya jadi sarjana juga."

Ya, Tuhan. Saya sampai berkaca-kaca bila mengingat itu semua.

Terimakasih tak terhingga buat Bu Dr. Zaitun--maaf, Bu, saya lupa gelar-gelar pendidikan ibu--atas segala pembimbingan dan juga perhatiannya. Walaupun kesan yang beliau tunjukkan tetaplah killer, tapi selama kita tidak berbuat yang neko-neko, beliau pun akan respek terhadap kita.

Selain Bu Atun, masih ada satu lagi guru killer yang hingga kini masih terus membekas di hati saya. Bila Bu Atun itu dosen perempuan, sekarang kita akan bercerita tentang guru laki-laki.

Guru killer yang Kedua itu bernama Pak Alam.

Beliau itu guru olahraga sekaligus wali kelasku di kelas satu Sekolah Menengah Atas (SMA).

Ah, entah kapan lagi saya bisa bertemu dengan beliau. Kabar yang saya terima dari teman-teman SMA, katanya beliau sudah kembali ke pemiliknya, penguasa alam semesta, Allah SWT. Hiks.

Padahal dulu, ketika masih menjadi siswi putih abu-abu, saya sering banget merasa kesal sama beliau. Soalnya beliau itu guru olahraga--mata pelajaran yang paling tidak saya sukai dan tidak pula saya kuasai. Selain itu, beliau juga menjadi wali kelasku saat duduk di kelas I.1 SMU 10 Padang.

Bayangkan, sudah berapa kali saja saya ditegur beliau, karena tidak bisa melakukan smash saat bermain volli. Terus tidak bisa pula lempar lembing, bahkan untuk lari pun selalu menjadi sang juara dari belakang.

Saya sering kali menangis kalau sudah dimarahi beliau. Bahkan, saya masih ingat kata-kata beliau, "Kamu itu sebenarnya pintar. Nilai-nilai pelajaran kamu yang lain bagus-bagus, tapi kenapa olahraga kamu sama sekali gak bisa?"

Saya diam saja saat itu. Karena memang saya akui, olahraga itu bagaikan musuh bagiku. Jadi, mau bagaimanapun jenis olahraganya, saya takkan pernah suka dan takkan pernah bisa.

"Bapak jadi bingung mau ngasih nilai berapa di raportmu untuk pelajaran olahraga. Padahal Bapak ini wali kelasmu sendiri."

Kalau sudah begitu yang bisa kulakukan hanyalah menitikkan airmata.

"Oke. Biar nilai olahraga kamu gak merah, kamu bikin kliping tentang Sea Games yang sedang berlangsung saat ini. Bapak kasih waktu seminggu."

Saat mendengar kata-kata tersebut, entah kenapa saya jadi benar-benar menangis, karena merasa lega Pak Alam tidak memberikan hukuman yang macam-macam.

Terimakasih ya, Pak. Walaupun engkau sering kali saya buat kesal, tapi tak pernah sekalipun nilai merah mampir di raportku. Walaupun hingga kini saya tetap tak pernah suka sama olahraga, tapi semua didikan kerasmu akan selalu kukenang.

Kedisiplinanmu emang juara, Pak. Tapi sayang, saya masih juga menjadi muridmu yang bandel. Tak pernah ada rasa dendam dalam hati, malah kini saya merindukanmu, Pak Alam.

Semoga Allah mengampuni semua kesalahan semasa hidupmu, memberikan tempat terbaikNya untukmu, dan semoga kita dapat berkumpul kembali ke surgaNya yang jannah. Aamiin.

***

Pelajaran Moral: 

Saat masih berstatus murid, sebisa mungkin bila guru marah kepada kita, janganlah dendam, apalagi sampai mengadu ke orangtua. Guru marah itu pasti ada sebabnya. Dan mereka melakukan hal itu karena mereka sangat menyayangi anak muridnya. Guru pasti hanya ingin melihat anak didiknya berhasil melebihi dirinya. Dan bila melihat itu semua, rasa bangga selalu terselip di hati mereka.

Selamat Hari Guru Nasional. 25 November 2019.

***

Kota Pangkal Perjuangan

© Alin You

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun