"Bye bye Karawang.... I'll be coming here someday, I swear!"
Itulah teriakan lantangku saat baru saja melewati gerbang tol Karawang Barat. Sore ini akhirnya aku benar-benar meninggalkan kampung halaman Papah, dengan beragam rasa yang bercampur aduk dan membuat sesak dada ini. Ya, Tuhan. Ada apa denganku? Adakah rasa yang tertinggal di sana? Apakah yang membuatku enggan meninggalkan desa itu? Dan apakah sebenarnya niat awalku hingga memilih Karawang sebagai destinasi liburanku?
"Oh, God!" Kutepuk keningku, teringat sesuatu. "Pesan Papah... Desain ulang rumah Aki. OMG!"
Sungguh! Bukankah itu alasan yang membelokkan niatku yang dari awal ingin menghabiskan dua pekan liburanku ke Lembang hingga akhirnya malah memilih ke Karawang? Yang membuat Hendra si laki-laki romantis itu puas mengejekku sewaktu ngopi ganteng di Robista. Mengatakan bahwa tempat liburanku itu sama sekali tidak keren lah. Apa yang aku cari di situlah. Hingga kecurigaannya bahwa aku ke kampung halaman Papah itu hanya untuk mencari seorang mojang Karawang.
Ups! Dipikir-pikir, ejekan Hendra yang terakhir itu kejadian juga ternyata. Setelah lima tahun, Saudara-saudara. Bayangkan! Setelah perjodohan tanpa akhir yang terus-terusan dilakukan oleh si laki-laki romantis itu terhadapku. Setelah... ah. Kalian yang menyimak kisahku dari awal tentunya sudah bisa menebak siapa yang kumaksud di sini.
***
Hari kian beranjak malam. Dan aku masih juga di sini. Terjebak kemacetan panjang di tol dalam kota. Ah, andai saja kudengarkan saran dari Bi Isah tadi untuk berangkat agak siangan, tapi yaaa... sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Tinggal dikasih suwiran ayam, bumbu kuning, cakue, daun bawang, bawang goreng, sedikit kecap, sedikit sambel dan juga kerupuk. Hopla! Jadilah semangkok bubur ayam super lezat yang biasa mangkal di depan gang H. Sodiq. Hehehe.
Kruyuk kruyuk...
"Sialan, mana gue laper lagi. Ini jalanan kapan lancarnya sih? Udah satu setengah jam lho terjebak di sini. Dan itu masih jauh dari arah ke kontrakan gue di bilangan Jakarta Barat. Hoaaammm.... Apa untuk malam ini gue lebih baik nginep di kantor aja ya? Hm...."
Telolet telolet...
Bunyi klakson di belakang, kontan saja menyadarkanku dari lamunan. Rupanya jalan di depanku sudah mulai lancar. Segera saja Estilo putih kuajak terbang dengan kecepatan 80 km/jam, dengan maksud agar bisa segera sampai ke kantor. Malam ini sudah kuputuskan untuk menginap di kantor saja. Karena, kalau kupaksakan ke kontrakan juga, yang ada aku bisa kolaps di jalan dan takkan pernah sampai di tempat. Iiih.
Telolet telolet...
Ya Tuhan... itu bus eh bukan, itu truk pembawa... entahlah aku tidak bisa mengintip lewat kaca spion yang terpasang di depanku ini. Suara klakson yang sudah tidak nge-hits lagi itu berisik sekali dari tadi. Sudah tahu kan kalau jalanan ibukota malam ini macet parah. Mbok ya bisa bersabar sedikit kenapa. Jangan sampai hati yang sudah galau bertambah galau kuadrat hanya karena mendengar bunyi klakson yang masih saja ada orang yang memakainya.
Ah, iya. Gara-gara suara klakson truk yang ada di belakangku ini, entah kenapa aku jadi teringat lagi kejadian tadi pagi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) daerah Pedes, Karawang.
***
Pagi itu bersama Mang Subur--yang kebetulan lagi libur kerjanya--aku mengunjungi TPI yang tak begitu jauh jaraknya dari desa tempat aku menetap dua pekan ini. Walaupun Bi Isah sudah memperingatkan sambil ngomel-ngomel dan agar aku istirahat saja di rumah dan tidak perlu ikut Mang Subur ke TPI, tapi aku yang bandel tetap ngotot ikut.
"Kapan lagi atuh, Bi? Ntar sore kan saya udah balik ke Jakarta," kataku memberikan alasan. Dan langsung dihadiahi dua jempol oleh Mang Subur.
"Ya sudahlah. Terserah A Noval aja. Jangan ngeluh cape tapinya ya. Apalagi yang mo perjalanan jauh gini."
"Asyiaaappp...!" Aku pun memberi hormat ala Atta Halilintar kepada Bi Isah dan membuatnya hanya geleng-geleng kepala saja.
Akhirnya, Bi Isah pun menyerah. Aku dan Mang Subur ber-tos ria dan segera berangkat ke TPI.
***
Baru saja sampai di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di daerah Pedes.Â
Telolet telolet...
"Minggir woi, minggir. Preman tanah abang mo lewat nih. Ora minggir, tabrak sisan."
Dengan gaya bahasa campur aduk begitu, seorang perempuan berusia empat puluhan akhir yang berada di belakang kemudi sebuah truk yang berisi aneka ikan hasil tangkapan nelayan malam tadi berteriak lantang. Aku yang kaget segera menyingkir ke pinggir jalan.
"Hahaha... Kaget ye? Ngomong-ngomong, ente siape anak muda? Aye baru kali ini dah liat elu dimari,"Â sapa perempuan itu seraya melongokkan kepalanya ke luar jendela truk yang terbuka lebar.
"Eh, Mpok Atiek. Kabar baik, Mpok? Ini teh ponakan saya dari Jakarta. Namanya Noval. Udah dua minggu di sini. Ntar sore juga mo balik lagi ke Jakarta." Aku yang ditanya, eh malah Mang Subur yang jawab. Ngomong-ngomong, siapa tapi namanya? Mpok Atiek? Kayak nama artis saja.
"Bah! Baru tau kau kalo namaku seperti nama artis pelawak perempuan yang suka latah itu."
Eh, dia bisa mendengar suara hatiku?
"Tentu bisalah. Kapan-kapan aye ajarin ente dah biar bisa dengar ape nyang disembunyiin seseorang di dasar hatinya."
Argh! Pusing juga lama-lama aku mendengar gaya bahasa plus logat Mpok Atiek yang campur aduk ini.
"Hahaha. Mang Subur, ponakan kau ini lucu kali lah. Kapan-kapan aku jadi pengen ngobrol banyak ama dia," seru Mpok Atiek seraya tertawa terbahak-bahak. "Ah, sudahlah. Aku tinggal dulu sebentar ya. Aku mau antar ikan-ikan ini dulu ke bos besar. Nanti aku kembali lagi. Kuharap kau belum balik ke Jakarta, Anak Muda."
Kemudian dengan kecepatan penuh (Oh, God. Ini di pasar geto loh), Mpok Atiek pun kembali mengendalikan laju truknya sambil tak lupa membunyikan klakson truk super hebohnya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H